Kamis, 05 Maret 2009

Memilih Calon Pemimpin Ideal

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

(Q.S. Al Maa’idah [5]: .

Pada tahun 2009 ini Indonesia akan menyelenggarakan hajatan akbar demokrasi yakni pemilihan umum legislatif dan presiden. Berbagai slogan dan kampanye sudah mulai ditemukan, baik kampanye dalam media elektronik, surat kabar, dan lainnya. Beberapa stasiun TV juga kerap menyelenggarakan acara debat caleg ataupun pemaparan visi & misi masing-masing partai. Kesemuanya tidak lain merupakan usaha mendapatkan simpati publik. Apabila kita perhatikan acara-acara tersebut, kita pasti bingung akan memilih siapa yang akan dijadikan pemimpin. Hal tersebut disebabkan semua calon menjanjikan visi dan misi yang sangat menjanjikan. Pemimpin yang di ataspun mulai turun berkeliling daerah, mendekati masyarakat bawah memberikan santunan dan sebaginya. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut tidak mereka lakukan sejak awal menjadi pejabat?

Dalam Islam pemimpin merupakan elemen yang sangat penting. Dalam terminologi Islam pemimpin biasanya disebut “imam” sedangkan hal yang menyangkut kepemerintahan disebut “imamah”. Urgensi seorang imam disebutkan dalam Alqur’an: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An Nisaa [4]: 59).

Hakekat seorang pemimpin adalah “khilafatunnubuwah” atau menggantikan posisi kenabian dalam menata dan mengatur urusan negara dan keduniaan (tadbiiru al-dunya) beserta urusan agama (khirasatu al-dien) tentunya. Hal tersebut seperti didirikannya kekhalifahan “khulafaur rasyidin” setelah Rasulullah SAW. Pada dasarnya menjadi seorang pemimpin adalah suatu yang sangat berat tangung jawabnya. Artinya sesorang yang mencalonkan dirinya menjadi seorang pemimpi berarti telah harus siap memikul beban berat tersebut. Beban tersebut adalah tanggung jawab nya di sisi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan (permasalahan) rakyatnya (di sisi Allah).” 

Seorang pemimpin tidak hanya mempertanggungjawabkan kebijakannya di hadapan masyarakat yang dipimpinnya saja, akan tetapi juga mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT. Kebijakan-kebijakann yang pernah diambil harus dipertanggungjawabkan, terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Sungguh besar dan berat untuk menjadi seorang pemimpin. Namun kita lihat sekarang di realita kehidupan. Orang-orang berbondong-bondong mencalonkan diri mereka untuk menjadi pemimpin. Dari tingkat kepala desa sampai presiden. Mekanismenya pun sangat unik, siapa yang berduit maka lebih berpotensi untuk terealisasi menjadi pemimpin. Obral duit atau serangan fajar, istilah sekarang telah menjadi rahasia umum. Semua telah mengetahui perihal seperti ini di belahan daerah manapun di Indonesia. Praktek seperti ini umum terjadi dari tingkat pusat sampai RT. Sedikit sekali pemimpin tanpa modal harta, dengan modal kepercayaannya menjadi seorang pemimpin. Mereka seolah-olah tidak mengetahui bahwa dibalik semuanya ada tanggung jawab kelak di sisi Allah.

Calon pemimpin seperti ini tidak boleh dipilih menjadi pemimpin umat. Jabatan adalah tujuannya, bukan sarana untuk mengabdi kepada rakyat yang dipimpin. Secara naluri pasti dia juga akan berusaha mengembalikan dana yang telah ia hamburkan. Dan pengembalian tersebut tidak hanya dari gajinya, karena tentu belum cukup untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan. Artinya, secara tidak langsung upaya-upaya tersebut merupakan bisnis politik. Mereka tidak mengurusi bagaimana rakyat dan negara bisa maju, tetapi memikirkan bagaiman modal yang dikeluarkan dapat kembali. Otak-otak seperti inlah yang merusak keutuhan bangsa dan tegaknya negara. Padahal seharusnya seorang pemimpin mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Di antara kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
Berbuat adil kepada seluruh elemen masyarakat, adil dalam aspek sosial, hukum dan adil dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi, tidak membedakan kerabat dekat dengan orang biasa, dan dapat dipercaya (amanah). Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al Maa’idah [5]: .
Menata dan mengarahkan umatnya untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan sehingga menjadi bangsa yang kuat, dan tidak mudah dimasuki dan diacak-acak Negara lain.

Keberadaaan seorang pemimpin merupakan suatu kewajiban dalam Islam. Meskipun bukan wajib ain tapi wajib kifayah. Pemimpin diharapkan dapat menegakkan keadilan sosial, keadilan ekonomi, serta keadilan hukum. Urgensi tersebut dalam kitab klasik disebutkan untuk menghindari kesemenaan sebagian manusia kepada sebagian manusia yang lain. Tanpa adanya seorang pemimpin tidak akan tercipta ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan, yang hal tersebut merupakan maqaasid syariah yaitu kemaslahatan (jalbu naf’in wa daf’u dhararin). Dengan terealisasinya maslahah tersebut, selanjutnya masyarakat Islam mencapai kebahagiaan dunia beserta akhirat (al-falah fiddunya wal akhirah).

Partisipasi warga sebagai ahlul ikhtiar sangat diperlukan dalam penentuan seorang pemimpin. Warga Negara harus over-selective dalam menentukan calon legislatif mereka. Dalam kitab “as-Siyaasah wal akhkaamu al-Sulthaniyyah” disebutkan kriteria-kriteria seorang yang layak dijadikan calon pemimpin umat. Diantaranya adalah: adil, berakhlak mulia, pandai, sehat jasmani dan rohani, bervisi kuat dan amr bil ma’ruf wa nahyu anil munkar. Oleh karena itu memilih seorang pemimpin seperti memilih seorang pasangan hidup, harus seselektif mungkin, jangan memilih calon pemimpin yang berani menghamburkan uang sebelum menjadi pemimpin. Karena hakekat pemimpin adalah orang yang dipanuti, yang kita ikuti. Untuk memilih pemimpin yang baik dan ideal tidak cukup hanya mengandalkan mata kepala saja, dengan melihat janji-janji dan stimulus yang diberikan oleh para calon pemimpin. Kita juga harus menggunakan mata hati atau mata batin kita secara obyektif, bagaimana track-record atau sepak terjang seorang calon pemimpin tersebut selama ini, baik kehidupan pribadinya, maupun kehidupan sosial-kemasyarakatannya. Kalau pemimpin yang kita pilih baik, maka kita juga yang akan menikmati dan merasakan kebijakan-kebijakan pemimpin tersebut. Kalau kita hanya menggunakan mata kepala saja, dengan melihat materi saja dan mengabaikan mata hati, bisa jadi kita akan salah pilih. Dan kalau salah pilih maka kita sebagai masyarakat yang dipimpin akan menjadi korban. 

Berangkat dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita mempunyai peran signifikan dalam menentukan siapa dan bagaimana sosok yang akan memimpin kita. Baik buruknya pemimpin yang akan memimpin kita, sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita menggunakan mata hati kita untuk melihat secara jernih dan berpandangan ke masa depan. Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa ada dua macam pemimpin di dunia ini, yaitu pemimpin yang baik dan pemimpin yang jahat. Diriwiyatkan dari Hisyam bin Urwah dari Abi Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Akan memerintah setelahku sebuah pemerintahan. Pemimpin yang baik akan memerintah dengan baik dan pemimpin yang jahat akan memerintah dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah dan patuhilah yang benar.’

Semoga Allah memberikan kepada kita pemimpin yang benar-benar amanah dan dalam mengambil kebijakan selalu mendahulukan kemaslahatan umat atau masyarakat yang dipimpinnya. Karena pada dasarnya kewajiban pemimpin kepada rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan umat sebagaimana kaidah fiqhiyyah “tasharruful imaami ‘ala ra’iyyatihi manuutun bil maslahah,” artinya pada dasarnya tasharruf atau kebijakan seorang pemimpin harus memperhatikan bagaimana kemaslahatannya bagi umat. Semoga Allah membuka mata hati kita untuk dapat melihat seobyektif mungkin dan memberi petunjuk siapa calon pemimpin yang layak dan ideal untuk memimpin kita. Amin.

Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. pemuda adalah pemimpin masa depan kan?
    tapi bagaimana keadaan pemuda kita sekarang, sungguh memilukan sekali.
    semoga mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar dan akan menjadi pemimpin masa depan. aamiiin

    BalasHapus