Senin, 06 April 2009

Pandangan Hidup Islam Sebagai Framework Study Islam


Ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
1) Pendahuluan
Islam adalah nama agama yang lahir dari sebab turunnya wahyu ilahi kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian difahami dan disebarkan oleh akal dan intuisi manusia. Islam kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban baru dengan struktur konseptualnya yang kokoh dan universal. Perkembangan Islam keluar dari jazirah Arab merentasi berbagai suku bangsa di dunia dengan tanpa mengalami perubahan pada prinsip-prinsip dasarnya adalah diantara bukti bahwa Islam adalah agama untuk seluruh ummat manusia. Prinsip-prinsip dasar Islam yang telah turun sempurna itulah sebenarnya yang menjadi titik tolak perkembangan peradaban Islam dikemudian hari. Artinya Islam yang turun membekali manusia seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah kepadanya dan pada saat yang sama juga mengajarkan pandangan-pandangan (view) fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, iman, ilmu, amal, akhlak dan lain sebagainya. Dengan bekal seperti itu Islam kemudian merupakan agama (din) dan sekaligus peradaban (madaniyyah) nyang memiliki bangunan konsep (conceptual structure) yang disebut pandangan hidup (worldview). Pandangan hidup (worldview) memiliki peran sebagai cara pandang terhadap segala sesuatu dan secara epistemologis dapat berfungsi sebagai framework dalam mengkaji segala sesuatu. Dalam kaitannya dengan poin yang terakhir makalah ini akan mengupas pandangan hidup Islam sebagai sebuah konsep dan framework kajian Islam. Hal ini penting dilakukan sebab Islam telah dipahami dengan menggunakan pandangan hidup dan framework Barat seperti yang telah dilakukan oleh orientalis [1] ataupun Islamolog-Islamolog yang memilik cara pandang sendiri terhadap Islam.
[1] Kajian Edward Said terhadap orientalisme menghasilkan tiga kesimpulan bahwa 1) kajian orientalis tentang Islam lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient); 2) bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam; 3) bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” dalam The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, hal. 5.
2) Pengertian
Untuk memahami teori tentang pandangan hidup yang pertama-tama perlu dijelaskan adalah definisi atau pengertian pandangan hidup itu. Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis yang ber visi keduniaan. Namun terdapat agama dan peradaban yang memiliki spectrum pandangan yang lebih luas dari sekedar visi keduniaan maka makna pandangan hidup dalam konteks Islam diperluas. Karena dalam kosa kata bahasa Inggeris tidak terdapat istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas dari sekedar realitas keduniaan selain dari kata-kata worldview, maka cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspressi bahasa Inggeris) untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan dan keakheratan dengan menambah kata sifat “Islam”. Namun dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa atau agama maka beberapa definisi tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan disini. Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” [1] Hampir serupa dengan Smart, Thomas F Wall mengemukakan bahwa worldview adalah sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence).[2] Lebih luas dari kedua definisi diatas Prof.Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview.[3]
Ketiga definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Sebagai contoh akan disampaikan definisi worldview Islam oleh beberapa tokoh ulama zaman modern. Dalam tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic Vision), Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Islamic Principle), Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil wujËd (Islamic Worldview). Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral. Artinya agama dan peradaban lain juga mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview dll. Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata worldview, Vision atau Mabda’ maka makna etimologis dan terminologis menjadi berubah.
Manurut al-Mauwdudi, yang dimaksud Islami Nazariyat (worldview) pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.[4] Shaykh Atif al-Zayn mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah, kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai Din yang diturunkan melalu Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.[5] Sayyid Qutb mengartikan al-tasawwur al-Islami, sebagai akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.[6] Bagi Naquib al-Attas worldview Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).[7]
Definisi diatas menunjukkan dua makna yang saling melengkapi. Pertama, yang disampaikan al-Mawdudi dan Atif al-Zain, menekankan bahwa cara pandang Muslim terhadap segala sesuatu dimulai dari keimanan pada Tuhan yang direfleksikan dalam keseluruhan aktifitas kehidupan. Sedangkan kedua, yang disampaikan Syed M.N. al-Attas dan Sayyid Qutb, menekankan bahwa Islam telah mengandung gambaran dan cara pandang terhadap realitas (wujud). Bahkan al-Attas, seperti yang tertuang dalam karya-karyanya, melihat padangan hidup Islam secara metafisis dan epistemologis sehingga dapat menjadi basis bagi framework mengkaji segala sesuatu.
Dalam studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, [8] tapi dalam Islam pandangan hidup merujuk kepada makna realitas yang lebih luas, oleh sebab itu terma yang diperkenalkan al-Attas adalah ru’yat al-Islam li al-wujud “pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang wujud.[9] Oleh sebab itu ia menjelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup Islam itu,
….bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”.[10]
Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.[11] Ini berarti bahwa pandangan hidup Islam merupakan seperangkat konsep dasar (basic concept) yang berguna untuk melihat berbagai obyek kajian. Adapun konsep-konsep dasar itu dapat digambarkan dalam elemen pandangan hidup yang juga merupakan struktur konsep dibawah ini.
3) Pandangan Hidup sebagai Bangunan Konsep
Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup itu saling terkait erat dan merupakan kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan konsep yang terdapat dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Bangunan konsep itu terbentuk dalam alam pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental framework).[12] Secara epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a priori dan a posteriori.[13] Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Maka dari itu pandangan hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan.[14] Konsep-konsep yang terakumulasi itu sudah tentu melalui proses dan mekanisme mengetahui yang menerima dan menolak pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan hidup. Orang bisa saja mengetahui faham sekularisme, misalnya, tapi ia tidak mesti menerima faham itu dan menjadi sekuler.
Jika struktur konsep yang masuk kedalam pikiran seseorang itu dilacak secara alami maka maka akan kita bahwa konsep yang pertama kali masuk dalam pikiran seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya konsep hubungan antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kasus Islam bisa bertambah menjadi arti hidup dunia dan akherat), cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya.[15] Sesudah konsep hidup dan kehidupan berkembang dalam pikiran seseorang maka secara alami pula konsep mengenai dunia dimana manusia hidup akan terbentuk. Pandangan dan konsep mengenai dunia di sekitarnya ini akan melahirkan konsep ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan konsep yang lebih canggih lagi yaitu konsep nilai dan moralitas.Dari kombinasi itu semua konsep yang tidak kalah pentingnya adalah konsep tentang diri manusia itu sendiri.
Meskipun pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun ketika ia terstruktur dalam pikiran manusia dalam bentuk konsep-konsep ia dapat diindetifikasi. Professor Alparslan mengkategorikan struktur pandangan hidup menjadi lima bidang konsep:
1) Struktur konsep tentang kehidupan,
2) Struktur konsep tentang dunia,
3) Struktur konsep tentang manusia,
4) Struktur konsep tentang nilai dan
5) strutktur konsep tentang pengetahuan.[16]
Proses akumulasi struktur konsep diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, atau bahkan mungkin dalam beberapa aspek simultan, tapi yang penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsep. Kesatuan konsep ini berfungsi sebagai kerangka umum (general scheme) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, dan bahkan mendominasi cara berfikir kita. Maka dalam pengertian ini pandangan hidup merupakan framework berfikir. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan produk dari struktur konsep diatas.
Bagi seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep Tuhan akan masuk kedalam pandangan hidupnya.[17] Bagi al-Attas elemen pandangan hidup Islam adalah seluruh konsep yang terdapat dalam Islam. Diantara yang paling utama adalah Konsep tentang hakekat Tuhan, Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an), Konsep tentang penciptaan, Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia, Konsep tentang ilmu, Konsep tentang agama, Konsep tentang kebebasan, Konsep tentang nilai dan kebajikan, Konsep tentang kebahagiaan,[18] dsb. Disini konsep menurut al-Attas sangat penting dalam pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Konsep-konsep itu bagi al-Attas merupakan sistim metafisika yang dapat berguna untuk melihat realitas dan kebenaran. Sebab menurutnya sistim metafisika yang terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.[19] Dengan konsep seperti ini dapat dikatakan bahwa pandangan hidup adalah merupakan sebuah framework untuk mengkaji sesuatu.
4) Pandangan Hidup Islam sebagai Asas Epistemologi
Karena pandangan hidup telah menjadi konsep-konsep yang terstruktur dalam pikiran seseorang maka ia akan mempengaruhi proses berfikir seseorang atau dapat digambarkan sebagai vicious circle (lingkaran setan), dimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Kepercayaan terhadap pengetahuan tentang Tuhan, misalnya, membuat pengetahuan non-empiris menjadi mungkin (possible). Sebaliknya ingkar terhadap pengetahuan tentang Tuhan dapat berakibat pada menafikan pengetahuan non-empiris (metafisis). Demikian pula dalam masalah moralitas. Dalam kajian Thomas F Wall kaitan konsep dalam worldview dan moralitas sangat jelas, ia menyatakan:
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world. ..if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.[20]
Arti bebasnya, kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa disana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya, kita harus percaya bahwa ilmu dapat lebih dari apa yang dapat diamati [empiris, pen] dan disana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni alam supernatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan dan alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percayai tentang arti hidup, hakekat diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.
Kutipan diatas menjelaskan adanya kaitan antara worldview dengan realitas, ilmu dan moralitas. Secara konseptual hubungan pandangan hidup dengan epistemologi melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi, kosmologi dan aksiologi.
Prinsip ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis tentang wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud Tuhan sebagai realitas tertinggi dalam Islam adalah sentral. Dalam Islam realitas alam fisik yang nampak (sensible world) dipandang sebagai realitas relatif yang berhubungan dan bergantung pada realitas metafisis yang absolut. Struktur ontologi yang dalam terminologi Islam dikategorikan menjadi Élam al-mulk dan Élam al-shahÉdah, menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidaklah sekedar persoalan indera dan akal yang analitis yang bidang operasionalnya dalam sains modern dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang tertinggi, sebab hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya realitas alam yang nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam sains Islam, pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan prediktif) tentang realitas alam berada dibawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan apresiatif tentang makna kedua alam itu.[21] (inna fi khalqi al-samawat) (QS….). Ini berarti bahwa bertambahnya ilmu tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu tentang alam transenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.
Prinsip kosmologis artinya adalah visi tentang struktur, proses dan fungsi realitas fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan al-Qur’an yang tidak diciptakan. Sebab keduanya mempunyai sistem ÉyÉt yang integral yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Alam semesta ini adalah kitab yang tak tertulis sedangkan al-Qur’an adalah kitab yang tertulis. Dalam hal ini al-Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari ayat-ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada manusia dan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek Realitas ini agar dapat memahami hakekatnya yang tertinggi”.[22] Karena susunan dan sistim kebendaan pada alam ciptaan adalah analog dengan susunan dan sistim kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia empiris harus diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu kesatuan organis yang merefleksikan al-Qur’an itu sendiri.[23]
Karena struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikan itu maka realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Ini berbeda dari pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran yang dibentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artificial. [24]
Pendekatan integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara ayat-ayat kawniyyah dengan ayat-ayat qauliyyah, inilah sejatinya framework epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan hidup Islam terkait secara konseptual dengan epistemologi. Untuk lebih detailnya ilustrasi berikut ini menunjukkan peran pandangan hidup terhadap cara pandang seseorang terhadap realitas alam nyata. Contoh yang paling sederhana adalah pandangan seorang pengamat peristiwa alam. Orang pertama mengatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang terjadi”; orang kedua menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang saya lihat”; orang ketiga menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan semua itu bukan apa-apa kecuali setelah saya menyebutnya”. Masing-masing cara pandang diatas menunjukkan pandangan tentang bagaimana kita mengetahui.
Di Barat cara pandang orang pertama disebut dengan cara pandangan realisme; yang kedua dinamakan anti-realisme dan yang ketiga dinamai realisme kritis. Penjelasannya adalah sbb: Realisme berdalih bahwa pemahaman terhadap cosmos adalah langsung dan akurat serta tidak dipengaruhi oleh presupposisi dari worldview ataupun pengaruh-pengaruh subyektif lainnya. Pandangan ini berdasarkan pada empat premis dasar 1) realitas obyektif dan independen itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan bebas dari pengamat 3) manusia yang mengetahui memiliki kemampuan kognitif untuk memahami realitas yang tetap ini tanpa dibebani oleh tradisi atau kecenderungan personal 4) kebenaran dan pengetahuan tentang alam adalah ditemukan dan pasti, dan tidak diciptakan dan relatif. Ringkasnya, bagi seorang realis menolak masuknya (interposition) apapun dari pikiran kedalam diri pengamat dan obyek yang diamati.
Sedangkan anti-realisme adalah pandangan yang memisahkan secara radikal apa yang ada disana dan berbagai pandangan tentang itu. Disini worldview mendominasi dan sistim kepercayaan tidak ada kaitannya dengan realitas, danbahkan realitas dianggap tidak ada. Pandangan ini dapat dicirikan menjadi empat 1) meski mengakui bahwa dunia yang nampak ini mungkin saja ada, ciri-ciri obyektifnya tetap saja kabur 2) pengetahuan manusia memilik kelemahan dalam memahami alam seperti apa adanya 3) apa yang dianggap realitas adalah sesuatu yang dibentuk secara linguistik, produk akal manusia yang idealistis dan 4) konsekuensinya, kebenaran dan pengetahuan tentang alam, tidak ditemukan (dicovered) dan pasti, tapi diciptakan (invented) dan relatif.
Adapun realisme kritis (critical realism) menerima realitas obyektif dan kemungkinan diperoleh ilmu yang dapat dipercaya tentangnya, bahkan juga mengakui adanya presupposisi yang menyertai manusia ketika mereka mengetahui sesuatu yang mendorong pembahasan kritis tentang esensi pengetahuan seseorang tentang itu. Proposisi aliran ini ada empat 1) realitas obyektif dan endependen itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan independen dari pengamat 3) seseorang yang tahu, memiliki kemampuan kognitif yang dapat dipercaya untuk mengetahui realitas yang tetap ini, namun pengaruh presupposisi dan pandangan hidup serta tradisi individu menjadi prasyarat dan merelatifkan proses mengetahui itu dan 4) karena itu kebenaran dan pengetahuan tentang alam, sebagiannya ditemukan dan pasti dan sebagian yang lain diciptakan dan relatif.[25]
Metode mengetahui dalam tradisi intelektual Barat seperti yang dipaparkan diatas dan juga metode-metode lain seperti metode rasional, empiris, dan kombinasi antara realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai asas-asas kognitif mempunyai kesamaan dengan tradisi keilmuan Islam. Namun kesamaan dengan realisme kritis dan juga metode-metode lain hanya dalam aspek-aspek eksternalnya saja. Keduanya menggunakan medium yang sama untuk mengetahui, seperti panca indera eksternal yakni indera raba, bau, rasa, lihat dan dengar, dan panca indera internal seperti indera umum, representasi, estimasi, retensi, rekoleksi dan imaginasi. Keduanya sama-sama bersandar pada akal sebagai alat dan sumber pengetahuan. Selain itu realisme kritis menggunakan pandangan hidup (worldview) untuk mengetahui sesuatu dan tidak bisa menerima realisme karena menafikan kaitan antara worldview dengan realitas dan juga berseberangan dengan anti-realisme yang melepaskan pandangan hidup dan kepercayaan dari realitas. Realisme kritis menggabungkan obyektifisme dan subyektifisme, mengakui alam nyata dan juga realitas manusia yang ingin mengetahui alam. Tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan kognitif manusia, tapi mengakui apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Perbedaannya akan nampak pada prinsip epistemologi yang dilatar belakangi oleh pandangan hidup. Jika realisme kritis mencoba menengahi cara pandang realisme dan anti-realisme, cara pandang dalam pandangan hidup Islam telah bersifat tawhÊdi (integral), tidak dichotomis, tidak membedakan antara obyektif-subyektif, tekstual-kontektual, historis-normatif, dsb. prinsip epistemologi tentang kesatuan subyektif-obyektif dalam Islam, misalnya, berdasarkan pada konsep manusia dalam Islam bahwa jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan dunia imaginasi. Artinya ketika seorang subyek yang memiliki pandangan hidup Islam akan melihat obyek sesuai dengan prinsip-prinsip ontologi dan kosmologi dalam Islam dan akan memahami obyek itu dengan cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Cara pandang yang dichotomis dalam cara berfikir Barat tidak dapat diterima dalam epistemologi Islam karena ia memisahkan dua hal yang saling berhubungan yang mengakibatkan timbulnya paham-paham ekstrim seperti materialisme dan idealisme atau metodologi-metodologi yang sama ekstrimnya seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme dan lain-lain.
Perbedaan prinsip epistemologis lainnya menurut Prof. Naquib al-Attas adalah dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran Tertinggi. Penerimaan ini, yang sudah tentu disertai pada keimana pada Tuhan, mempengaruhi cara pandang Muslim terhadap benda-benda ciptaan dan Penciptanya. Cara pandang inilah yang memberi kita asas bagi framework metafisis yang dapat menjelaskan filsafat sains sebagai sistim yang integral yang menggambarkan realitas dan kebenaran. Hal ini berarti bahwa dalam Islam ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan selain melalu media panca indera dan akal yang sehat, ia diperoleh dari berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan dari juga diperoleh dari intuisi.[26] Dengan kata lain epistemologi dalam Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi.[27]
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu al-Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir.[28] Seperti halnya kitab al-Qur’an, alam semesta ini juga mempunyai ayat-ayat yang jelas dan pasti (muhkamÉt) dan ada pula ayat-ayat yang mutasyabihÉt (ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang jelas dan pasti dipergunakan metode tafsir, sedangkan untuk memahami ayat-ayat yang ambigu digunakan metode ta’wil. Dalam pandangan al-Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih memerlukan ta’wil agar makna lebih umum dan lebih tinggi dapat diperoleh.
Jika metode ini ditrapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual, maka pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode tafsir itu dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan metode ta’wil. Jadi ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir dan tidak pernah berlawanan, sebab ta’wil harus didasarkan pada tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi ta’wil, jika tafsir terhadap suatu obyek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula. Penggunaan metode ini menurut al-Attas berkaitan dengan konsep realitas dalam Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari realitas yang artinya terbukti dengan sendirinya (self evident) oleh adanya pengelaman langsung indera hingga makna-makna yang abstrak yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat diindera kecuali dengan intuisi. Dalam hal ini al-Attas menyatakan:
… disana ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh intelek; dan mereka yang memiliki ilmu yang dalalm menerima itu semua apa adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah pandangan yang benar: artinya disana ada batasan-batasan dalam makna sesuatu dan tempat sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan kepentingannya.[29]
Islam mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat rasionalisme sekuler dan empirisisme filsafat dan sains modern yang merupakan produk pandangan hidup Barat tidak bisa dianggap sama dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi oleh konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan sebagainya.
Meskipun pengaruh pandangan hidup terhadap epistemologi sangat besar, namun pengaruhnya terhadap setiap disiplin ilmu berbeda-beda. David K Naugle dalam karyanya Worldview, History of Concept menyatakan:
..the epistemic implication of the worldview vary per discipline. Worldview seem to be least influential (which is not to say noninfluential) in the so-called exact and formal sciences, but are much more telling in the the humanities, the social science, and the fine arts.[30]
Artinya, implikasi epitemologis dari pandangan hidup berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Pandangan hidup nampak kurang berpengaruh (tidak untuk mengatakan tidak berpengaruh) dalam apa yang disebut ilmu eksak dan formal, tapi lebih banyak berpengaruh pada ilmu humniora, ilmu sosial dan seni halus. David juga menjelaskan impak asumsi-asumsi pandangan hidup nampak lebih berkurang dalam praktek ilmu Kimia dibanding ilmu sejarah, misalnya, dan bahkan lebih kurang lagi dalam bidang mathematika dibanding filsafat. Kecuali jika pembahasan menyangkut filsafat kimia atau matematika, karena yang dibahas bukan soal prakek ilmu ini tapi mengenai prinsip-prinsip utamanya atau filosofinya. Dalam kasus ini peran pandangan hidup sangat penting. Jika pandangan hidup tidak banyak berpengaruh terhadap sains keras (hard science) maka unsur realisme meningkat dan diskusi kritis mengenainya berkurang secara proporsional. Ketidak sepakatan diantara para praktisi bidang sains keras ini juga kurang meskipun mereka berbeda pandangan hidup.
5) Worldview Islam basis Peradaban
Jika pandangan hidup dibahas dalam konteks pembentukan peradaban, maka ia harus dikaitkan dengan tradisi keilmuan. Meskipun pandangan hidup Islam lahir dan berkembang menjadi sebuah peradaban, namun ia tidak didahuli oleh masyarakat ilmiyah (scientific society). Artinya pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat yang mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah. Konsep keilmuan dalam Islam tidak terdapat dalam masyarakat ketika Islam datang, tapi terdapat dalam wahyu yang dijelaskan oleh Nabi. Konsep-konsep dalam wahyu itu baru berupa konsep-konsep seminal yang hanya mempengaruhi kondisi berfikir (mental environment). Pandangan hidup Islam mulai disebarkan ketengah masyarakat oleh Nabi di Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan dan menyebarkannya kemasyarakat. Pandangan hidup yang lahir dengan cara ini disebut ‘quasi-scientific worldview’ sedangkan pandangan hidup yang lahir oleh adanya masyarakat ilmiyah dinamakan scientific worldview.[31] Yang terakhir adalah pandangan hidup Barat yang dilahirkan oleh scientific society. Oleh sebab itu pandangan hidup yang menguasai masyarakat Barat modern adalah pandangan hidup ilmiyah (scientific worldview).
Jadi pandangan hidup Islam lahir dari pancaran konsep-konsep fundamental yang terdapat dalam wahyu. Proses turunnya wahyu sendiri dari sejak di Makkah hingga Madinah ternyata menyimpan kronologi pembentukan ide dan pandangan masyarakat Muslim pada waktu itu. Kronologi dari sejak turunnya wahyu hingga terbentuknya tradisi intelektual dan peradaban Islam dapat dibagi menjadi tiga periode penting: periode pertama, dimulai dari periode Makkah disaat turunnya wahyu dan peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu itu. Periode ini penting karena hampir 75 % wahyu turun di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an). Karena itu dengan merujuk kepada konsep-konsep yang terdapat dalam wahyu maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam.
Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan lain-lain.[32] Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena sepertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah membentuk struktur konsep tentang dunia (world-structure) baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[33] Terminologinya mungkin sama tapi maknanya telah dirubah (di islamkan). Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum inda AllÉh atqÉkum).
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.[34] Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqÊdah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.
Periode kedua adalah periode ketika masyarakat mulai menyadari bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta’wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.[35]
Sejarah membuktikan bahwa masyarakat ilmuwan dalam bentuk kelompok belajar yang disebut AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah,[36] merupakan masyarakat yang berupaya untuk memahami wahyu. Sebab disitu kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. [37] Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam Islam.[38] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, ‘Abd AllÉh ibn Mas’Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong pengkajian terhadap ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh didukung oleh tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu.
Framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang di derivasi dari kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: ‘ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma’, qiyas, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta’wil, ‘alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil, haqiqah, ‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.
Dari keseluruhan istilah teknis tersebut istilah ‘ilm, yang berulang kali disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an,[39] adalah istilah sentral yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu pengetahuan wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian yang lebih luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat sentral adalah istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122) menggambarkan kegiatan pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman al-Qur’an dan hadith, yang keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan Fiqh berkaitan erat sekali.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma’bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn ‘Abd al-’Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja’far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi’i (204/819) dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa meskipun wahyu telah dijelaskan oleh Nabi, namun disana masih terdapat beberapa masalah[40] yang terbuka untuk difahami secara rasional yang dalam tradisi Islam disebut ra’y.[41] Jadi Fiqh (tafqquh) pada periode ini, bukan dalam pengertian hukum adalah kegiatan ilmiah untuk memahami ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dari sumber wahyu. Dalam kegiatan ini ummat Islam telah memiliki metode tersendiri dalam memahami wahyu baik dengan memahami makna ayat demi ayat, membandingkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat dengan dengan ra’y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh sudah dapat dikatakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi yang dibahas maka Fiqh, pada periode awal Islam dapat dianggap sebagai induk dari segala ilmu dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang lain. Lahirnya disilplin ilmu-ilmu Fiqih, kalam, hadith, tafsir, faraidh, falak, dlsb, membuktikan wujudnya tradisi ilmiah dalam Islam.
Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawÉbit) dan dinamis (mutaghayyirÉt), pasti (muÍkamÉt) dan samar-samar (mutashÉbih), yang asasi (uÎËl) dan yang tidak (furË‘). Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting didalamnya. Tak diragukan lagi jika tradisi intelektual dalam peradaban Islam dapat hidup dan berkembang secara progressif. Jadi peradaban Islam itu bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap wahyu yang kemudian berkembang menjadi tradisi intelektual yang melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam dan akhirnya menjadi peradaban yang kokoh. Disitu pandangan hidup atau worldview dan epistemologi sama-sama bekerja.
Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas.
Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka. [42] Pandangan hidup Barat terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian synthesis. Cara pandang mereka terhadap dunia juga berubah dari god-centered, kemudian god-world centered, berubah lagi menjadi world-centered dan kini menjadi man-centred. Perubahan-perubahan ini tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama dan tradisi intelektual Barat.
6) Worldview Sebagai framework Studi Filsafat Islam
Sejalan dengan pemaparan bahwa worldview adalah basis epistemologi dan peradaban Islam maka dapat disimpulkan bahwa worldview Islam dapat digunakan sebagai framework kajian berbagai disiplin ilmu dalam Islam. Seperti dijelaskan diatas bahwa pandangan hidup Islam yang diproyeksikan oleh al-Qur’an dengan konsep-konsep seminalnya telah menghasilkan komunitas ilmuwan. Komunitas ini kemudian melahirkan struktur konsep keilmuan yang diikuti oleh lahirnya berbagai disiplin ilmu. Dalam framework seperti ini maka jelas disiplin cabang-cabang dalam Islam termasuk filsafat Islam adalah produk dari pandangan hidup dan peradaban Islam.
Namun perlu digaris bawahi bahwa makna filsafat Islam kini tidak dapat lagi difahami sebagai filsafat Muslim peripatetik yang mengadapsi aliran Aristotelian-neo-platoisme. Sebab istilah filsafat itu sendiri dari sejak zaman kuno, pertengahan dan modern telah mengalami perbuahan makna dari konsepsi rasionalis, kritis dan akhirnya konsepsi positifis. Kini filsafat dalam Islam dapat difahami dari konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam yang diproyeksikan oleh al-Qur’an. Konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dsb. adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan kebenaran. Oleh sebab itu terma yang sesuai dengan itu adalah hikmah.[43] Jika konsep-konsep asasi dalam filsafat Islam berasal dari al-Qur’an maka asal usul filsafat harus ditelusuri dari dalam pandangan hidup Islam. Dan oleh sebab itu kajian filsafat Islam memiliki frameworknya sendiri. Namun, karena filsafat Islam tidak dikaji dari pandangan hidup Islam, maka framework yang dihasilkan tidak sejalan dengan makna filsafat Islam sendiri. Dalam sebuah buku filsafat Islam Henry Corbin menyatakan:
Filsafat Arab mulai dari al-Kindi, [orang bisa saja menambahkan : melalui penterjemahan karya-karya Yunani] mencapai puncaknya dengan al-Farabi dan Ibn Sina, mengalami serangan yang mengejutkan dari kritik al-Ghazzali dan melakukan upaya heroik untuk bangkit kembali lagi dengan [lahirnya] Ibn Rushd. Itulah.[44]
Framework seperti ini sangat umum dikalangan para orientalis dan banyak diikuti oleh cendekiawan Muslim dan menjadi kurikulum di perguruan tinggi Islam. [45] Dalam buku-buku pedoman Kurikulum Perguruan Tinggi Islam Indonesai pengkajian filsafat berangkat dari asumsi bahwa filsafat Islam adalah filsafat peripatetik dan filosof Muslim pertama adalah al-Kindi. Framework ini jelas mereduksi filsafat Islam hanya sebatas filsafat Muslim Aristotelianisme.
a) Framework orientalis
Pada umumnya para orientalis, dengan beberapa pengecualian,[46] sependapat bahwa geneologi filsafat dalam Islam harus dilacak dari Yunani, sebab menurut mereka filsafat tidak ada akarnya dalam tradisi intelektual Islam. Peter menyimpulkan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal dari Yunani (the stepsisters borne by the same mother).[47] Ueberweg dalam History of Philosophy juga menegaskan The whole philosophy of the Arabians was only a form of Aristotelianisme, tempered more or less with Neo-Platonic conceptions.[48] Dengan argumentasi lain De Boer, orientalis periode awal, dengan tegas menyatakan bahwa “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Filsafat dalam Islam hanyalah eklektisism yang terkait dengan hasil terjemahan karya Yunani, dan karena itu kajian kesejarahannya lebih merupakan assimilasi dari pada originasi.[49] Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam dimulai dengan pemaparan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur dengan porsi yang berlebihan. Jika De Boer mengasumsikan ketiadaaan metode dan sistim filsafat dalam Islam, maka Gustave E von Grunebaum menyinggung ketiadaan pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi dalam Islam, ia menulis begini:
Hellenisme memberikan bentuk pemikiran yang rasional kepada peradaban Muslim….bahkan dalam beberapa kasus menyediakan seperangkat konsep-konsep, dan pada banyak kasus menyuguhkan prinsip-prinsip klassifikasi. [50]
Tidak hanya filsafat, ilmu tasawwuf dalam Islam sekalipun, tetap dia anggap berasal dari aspirasi Yunani, kalaupun tidak bisa disebut transmisi kata per kata. Bahkan sistimatika tasawwuf dalam Islam menurutnya merupakan kelanjutan dari mistikisme dalam Kristen. Kalaupun ada sumbangan Muslim, itu hanyalah hasil dari upaya wajar yang lebih menonjol faktor manusianya ketimbang Islamnya. Jadi, menurutnya konsep-konsep filsafat Yunani itu telah dimodifikasi oleh Muslim, tapi elemen-elemen Yunani masih tetap dipertahankan.[51] Kalau Gustave mementahkan prestasi Muslim dalam bidang Tasawwuf dan filsafat M.W.Watt dalam bidang filsafat dan ilmu Kalam. Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, menurutnya, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani.[52] Sejalan dengan Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook menganggap formula perdebatan dalam ilmu Kalam diambil dari Yunani atau dari teks Syriac.[53] Tapi, mereka umumnya tidak memberikan bukti yang kuat tentang bagaimana proses pengambilan dari Yunani itu berlangsung. Watt sendiri mengakui bagaimana MutakallimËn berhubungan dengan Yunani hanya merupakan asumsi yang mash perlu dibuktikan.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Tapi ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran yang masuk Islam, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Lebih tegas lagi ia menyatakan bahwa Muslim pada abad ke 7 M mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.[54]
Pernyataan bahwa seluruh filsafat Islam (the whole philosophy of the Arab) merupakan pernyataan yang tidak ilmiyah karena tidak disertai bukti-bukti yang kokoh. Pernyataan Edward bahwa filsafat Islam berasal dari Kritsten Syria dan Yahudi juga demikian, sebab penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya.[55] Anggapan itu juga bertentangan dengan temuan Peter, bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka.[56] Ini berarti, menurut teori worldview Alparslan, mereka tidak mampu menyerap pemikiran Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka.[57] Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih. Proses ini diakui oleh penulis Barat lain sebagai “appropriaing and developing” tradisi Yunani kedalam “Islamic cultural milieu”.[58] Marmura, dalam hal ini menyatakan:
Thus, the falÉsifah did not simply accept ideas they received through the translations. They criticized, selected, and rejected; they made distinction, refined and remolded concepts to formulate their own philosophies. But the conceptual building block, so to speak, of these philosophies remained Greek. [59]
Disini pengakuan Marmura benar dan tepat, yaitu bahwa cendekiawan Muslim bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reormulasi konsep. Pengakuan serupa juga dilakuan oleh Sabra. Dalam kajiannya tentang filsafat dan sains Islam menyatakan:
Philosophy, in Islamic consciousness, has always been the “foreign” science par excellence (to use a current word for the disciplines of knowledge “acquired by Islamic civilization from antiquity), and it has retained its Greek name in an Arabicized form up to our own day. …..but the Arabicized name falsafah, is also a sign of successful naturalization.[60]
Meskipun Sabra mengakui keberhasilan proses naturalisasi filsafat Yunani ke dalam Islam dan Marmura mengakui adanya proses seleksi dan modifikasinya yang dilakukan oleh cendekiawan Muslim, namun satu hal yang mereka pegang secara konsisten adalah bahwa filsafat itu ilmu asing dalam Islam dan unsur-unsur Yunani masih terdapat didalamnya.
Dari pandangan para orientalis mengenai asal usul filsafat dalam Islam diatas dapat ditangkap suatu indikasi bahwa dibalik menafikan asal usul filsafat Islam itu adalah pengingkaran adanya sistim, konsep dan pemikiran rasional dalam Islam. Pemikiran rasional hanya dimiliki oleh Yunani. Implikasi logisnya, Islam tidak memiliki konsep dan sistim pemikiran. Selain itu terdapat sikap ambivalen dalam cara berfikir mereka. Ilmu Kalam dalam Islam tidak dikategorikan kedalam filsafat, sebab ia berdasarkan pada teologi atau berangkat dari doktrin-doktrin keagamaan. Namun disisi lain mereka menganggap para teolog Kristen pada abad pertengahan sebagai filosof. Berdasarkan pemahaman tentang asal usul filsafat Islam yang demikian itu maka akibatnya nama filsafat Islam tetap dikaitkan dengan filsafat Yunani.
b) Nomenklatur Orientalis
Anggapan tentang asal usul diatas ternyata berkaitan dengan penamaan filsafat Islam. Karena filsafat Islam dianggap berasal seluruhnya dari Yunani, maka penamaan filsafat Islam berangkat dari istilah yang dipakai untuk merujuk kepada aktifitas pemikir Muslim yang berkaitan filsafat Yunani. Oleh Karen itu nama untuk filsafat Islam selalu merujuk kepada istilah falsafah, yaitu istilah Yunani Philo dan Sophia yang di Arabkan (Arabicized). Atas dasar itu maka Sabra menyimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu asing dalam Islam, meskipun ia mengakui bahwa filsafat Yunani telah mengalami proses naturalisasi sebelum ia menjadi bagian dari ilmu Islam.[61]
Para orientalis seperti Montgomery Watt, Majid Fakhry, George Hourani, George Anawati, Henry Corbin, Michael Marmura, dan lain-lain menggunakan istilah Islamic Philosophy (Filsafat Islam), tapi makna sebenarnya masih tetap merujuk kepada makna falsafah. Kata sifat Islam atau Islamic tidak mencerminkan substansi Islam dalam filsafat.
Fakhry menggunakan istilah filsafat Islam tapi juga setuju dengan istilah Filsafat Arab, sebab alasannya, filsafat dalam Islam merupakan produk dari proses intelektual yang kompleks yang melibatkan peran serta bangsa-bangsa Syria, Arab, Persia, Turki, Barbar dan lain-lain. Tapi karena unsur Arab lebih dominan maka akan lebih mudah disebut dengan Filsafat Arab.[62] Anehnya, penulis-penulis Arab sendiri tidak pernah menggunakan istilah al-Falsafah al-Arabiyyah. Penekanan pada elemen Arab atau Yunani, agaknya menunjukkan suatu kesengajaan untuk menyembunyikan elemen Islam dalam filsafat. T.J.De Boer, malah memberi judul bukunya The History of Philosophy in Islam, yang bisa diartikan sebagai “Sejarah Filsafat [Yunani] dalam Islam”. Dalam buku Vergilius Ferm berjudul A History of Philosophical Systems, bab ke 13 tentang filsafat Islam diberi judul The Arabic and Islamic Philosophy, tapi didalamnya lebih banyak menggunakan istilah Arab philosophy.
Dalam sebuah Kamus tentang Islam yang diterbitkan pada sekitar tahun 1920-an, filsafat Islam dimasukkan kedalam entri Muslim Philosophy, Arabic falsafah or ilmu al-Íikmah. Penamaan ini agak aneh, sebab falsafah disamakan dengan Íikmah. ×ikmah disitu diartikan sama dengan Aristotelianisme yang dicampur dengan Neo-Platonisme.[63]
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran dan adapsi (appropriating) elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi fakta yang juga tidak dapat diingkari adalah bahwa cendekiawan Muslim telah menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen asing itu kedalam millieu peradaban Islam.[64] Namun perlu dicatat bahwa cendekiawan Muslim tidak akan mampu menjelaskan, menafsirkan, mengadapsi elemen penting dalam filsafat Yunani dan memasukkannya kedalam peradaban Islam, kecuali dengan bekal konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam (worldview) yang mereka miliki. Berbeda dari para pemikir Kristen yang tidak “berani” menggunakan pemikiran Yunani kecuali seteleh di modifikasi oleh pemikir Muslim. Albertus Magnus ( 1193-1280 M) misalnya menggunakan argumentasi tentang eksistensi Tuhan dari metafisika al-Farabi.
Dikalangan Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah dipakai sebagai sebutan yang diberikan kepada aktifitas ilmiyah pada sekitar abad ke 8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Namun, setelah proses, sebut saja, Islamisasi terjadi, nama falsafah difahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang lebih penting falsafah adalah ilmu tentang Wujud.[65] Ibn Taymiyyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-ÎaÍÊÍah. Definisi filsafat pun ia terima sebagai ilmu tentang Wujud. [66]
Ini berarti falsafah tidak lagi dipahami dalam kaitannya dengan pemikiran Yunani, tapi dipahami dalam arti luas dan bahkan dihubungkan dengan Íikmah. Istilah Íikmah disebut sekitar 20 kali dalam al-Qur’an itu sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri.[67]
Mungkin pernyataan Oliver Leaman bisa menggambarkan realitas ini. Ia manyatakan bahwa: “philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with (Greek) philosophy”. Menurutnya, filsafat Islam tumbuh dan berkembangan melalui prinsip-prinsip penalaran dibidang hukum. Assimilasi pemikiran asing menjadi suatu keharusan ketika terjadi ekspansi Islam yang begitu cepat, sehingga Muslim menguasai peradaban yang sangat canggih. Meskipun demikian, asimilasi tersebut dilakukan melalui proses Islamisasi.[68]
Artinya wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dsb. sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, ontologi dan cosmologi, dan masuk kedalam kategori filsafat ketimbang teologi per se.
Terdapat kerancuan nomenklatur dikalangan orientalis. Disatu sisi mereka ingin berpegang pada nama falsafah yang merupakan kata Yunani yang di Arabkan, namun disisi lain mereka menyamakan filsafat Islam dengan filsafat Muslim, filsafat Arab dan juga Íikmah. Padahal penamaan itu membawa implikasi sendiri. Yang nampak rancu adalah ketika falsafah disamakan dengan Íikmah dan kemudian mengartikannya sebagai warisan dari Yunani.
Meski para orientalis memakai berbagai nama unuk filsafat Islam, namun mereka tetap konsisten pada pendapat bahwa filsafat dalam Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Penamaan dan pengertian filsafat Islam yang sedemikian itu, pada akhirnya menghasilkan framework kajian terhadap materi filsafat Islam. Untuk itu sebaiknya kita bahas framework orientalis dalam mengkaji filsafat Islam.
c) Konsekeuensi Framework orientalis
Framework kajian filsafat Islam para orientalis sudah tentu mengikuti prinsip asal usul dan nomenklatur seperti yang telah dikemukakan diatas. Asal filsafat Islam, seperti dinyatakan oleh Watt tumbuh dari hasil dua gelombang Hellenisme, yaitu periode penterjemahan dan periode munculnya filosof Muslim Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan lainnya.[69] Menurut Majid Fakhry bahkan bukan hanya dari Yunani, tapi juga dari India dan Persia.[70] Bagi penulis Kisten, seperti Edward Jurji, misalanya asal muasal filsafat Islam dikaitkan dengan latar belakang komunitas Kristen. Karena itu kajian filsafat Islam, menurutnya harus dimulai dari kajian situasi peradaban di Timur Dekat (yakni kawasan Timur Tengah sekarang). Di kawasan itu kajian terhadap warisan Yunani kuno menjadi semakin inten karena tersebarnya agama Kristen saat itu. Jadi, menurut Edward, sejarah filsafat Arab (yakni filsafat Islam) berakar pada pengikut gereja Nestorian dan Jacobite.[71] Framework semacam ini sangat umum dijumpai dalam tulisan sejarah filsafat Islam.[72]
Sebagai konsekuensi dari framework yang mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani ataupun Kristen, adalah menganggap konsep-konsep dan sistim pemikiran dalam Islam sebagai berasal dari dan didominasi oleh pemikiran asing. Ini dapat juga dibaca dari pemikiran Alfred Gullimaune yang secara tegas menyarankan agar framework, skop dan materi Filsafat Arab ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam.[73] Tidak dijelaskan bagaimana filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam. Tidak dielaborasi pula sistim apa saja dalam Islam yang didominasi oleh filsafat Yunani.
Jika pun yang didominasi itu adalah sistim pemikiran Muslim peripatetik, juga tidak dapat sepenuhnya diterima. Sebab, para filosof Muslim peripatetik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dsb juga telah merobah pemikiran Yunani agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Konsep-konsep Islam yang mendasar seperti konsep keesaan Tuhan (tawhid), konsep kehidupan dunia-akherat, konsep manusia, dsb meskipun bertentangan dengan konsep Yunani tetap dipertahankan. Jika konsep Yunani dominan dalam pemikiran Islam, maka Islam tidak dapat berkembang menjadi peradaban yang kuat dimasa itu. Karena tidak ada peradaban yang tumbuh dengan konsep peradaban lain, kecuali peradaban itu akan punah.
Selanjutnya, menggunakan framework seperti tersebut diatas juga membawa akibat pada penafian peran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dari pandangan O’Leary dalam karyanya Arabic Thought and Its Place in History.[74] Ia meletakkan pemikiran Arab hanya sebagai transmitter filsafat Yunani dari Hellenisme versi Syriac kedalam peradaban Barat Latin. Disini lagi-lagi, anggapan bahwa Muslim tidak mempunyai pemikiran rasional sangat menonjol. Tidak disadari bahwa proses mentrasmisikan suatu pemikiran memerlukan kerja rumit yang tidak hanya sebatas penterjemahan dan penjelasan. Ketika Muslim menterjemahkan teks-teks Yunani, didalam pikiran mereka telah terdapat pandangan hidup (worldview) yang teratur, rasional dan mampu menerima pemikiran dalam teks-teks yang diterjemahkan itu. Jika Muslim tidak mempunyai pemikiran rasional, mereka akan bersikap sama dengan para teolog Kristen yang tidak berani menterjemahkan Organon Aristotle, khawatir membahayakan keimanan mereka. Jika mereka mampu, tentu bangsa Syriac yang umumnya adalah penganut Kristen itu sudah maju mendahului ummat Islam dalam bidang filsafat dan sains. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Dari framework kajian diatas, sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Nampaknya frameworks kajian sejarah mereka berdasarkan pada hypotesis yang dijustifikasi dengan teori. Namun hypotesa dan teori boleh jadi tidak relevan dengan realitas alam pikiran Islam, meskipun secara kronologis boleh jadi benar. Mengapa hypotesa dan teori oritentalis tidak relevan, mungkin bisa dirujuk kepada kesimpulan Edward Said bahwa orientalisme adalah merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat sehingga menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. Selain itu meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa kepentingan, namun ia berfungsi untuk tujuan politik.[75]
Apa yang seringkali dilupakan oleh para orientalis adalah bahwa Islam adalah pandangan hidup (worldview) yang sangat menghargai penggunaan akal dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat tumbuh menjadi suatu peradaban yang maju dan terbuka untuk “meminjam” unsur-unsur asing tanpa kehilangan identitas dirinya.
d) Framework Pemikir Muslim
Sesungguhnya falsafah adalah cabang pengetahuan dalam khazanah intelektual Islam, namun falsafah tidak dapat disebut sebagai nama Filsafat Islam. Hal ini dapat dilihat ketika falsafah yang berasal dari Yunani masuk kedalam tradisi intelektual Islam para ulama yang umumnya fuqaha menolaknya, terutama ilmu mantiq (logika),[76] karena berkaitan dengan metafisika.[77] Ada pula ulama, seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi yang menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan. Yang lain lagi seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dsb. menerima falsafah dan memodifikasinya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam.
Namun penolakan dan penerimaan para cendekiawan Muslim diatas bukan hanya sekedar karena filsafat itu berasal dari ilmu asing, tapi lebih karena adanya beberapa prinsip dalam “filsafat” yang dianggap bertentangan dengan Islam. Ibn Taymiyyah yang termasuk diantara yang penolak keras “filsafat” ternyata juga menerima “filsafat”, tapi dengan prasyarat, yaitu asal berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Filsafat yang demikian itu ia sebut al-falsafah al-ØaÍÊÍah (filsafat yang betul) atau al-falsafah al-ÍaqÊqiyyah (Filsafat yang sebenarnya).[78] Imam Al-Ghazzali sendiri sebenarnya juga tidak menolak filsafat, tapi mengkritik prinsip-prinsip berfikir para filosof. Jadi para ulama menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep-konsep dalam Islam. Selain itu juga karena mereka percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dari konsep asing itu. Ini berarti bahwa para ulama menganggap bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Dari kritik al-Ghazzali terhadap falsafah dan penerimaan istilah Falsafah al-Sahihah Ibn Taymiyyah menunjukkan bahwa filsafat Islam bukanlah falsafah yang berasal dari Yunani. Maka dari itu mengaitkan asal usul filsafat Islam secara menyeluruh dengan filsafat Yunani akan membawa konskuensi logis bahwa kegiatan ilmiyah dalam Islam tidak ada sebelum periode penterjemahan karya-karya Yunani. Demikian pula memberi nama filsafat Islam dengan melulu merujuk kepada pengertian Yunani juga akan membawa akibat yang sama. Padahal jika kita cermati pemikiran Islam periode awal akan kita temukan tidak kalah dari pemikiran spekulatif Yunani pada periode awal di Ionia. Jika di Ionia pemikiran spekulatif mereka membahas masalah kejadian alam semesta dan asal usul segala sesuatu, ummat Islam bahkan membahas masalah-masalah Tuhan, alam semesta, moralitas, hari akhir dan lain-lain yang dalam filsafat Yunani termasuk dalam bidang metafisika.
Jadi framework yang mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani menurut C.A.Qadir jauh dari benar. Sumber aspirasi yang asli dan riel para pemikir Muslim, menurutnya, adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanya memberi stimulasi dan membuka jalan untuknya. Karena itu fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[79]
Pandangan serupa juga dapat ditemua dalam DirÉsÉt fÊ al-Falsafah al-IslÉmiyyah, karya ‘Abd al-LaÏÊf Muhammad. Menurutnya dalam Islam telah ada pemikiran filsafat yang disebut Íikmah dan ketika ummat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani mereka mengembangkannya, tapi masih tetap berangkat dari konsep Íikmah. Jadi, menurutnya, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani kedalam Islam, tapi ×ikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.[80]
Tanpa menafikan adanya hubungan antara filsafat Islam dan Yunani MM Sharif mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”.[81] Ini adalaah pernyataan yang cukup adil, artinya meskipun didalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani, tapi filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Barat sendiri yang juga mengandungi unsur Yunani, Islam dan Kristen, tetap saja disebut Filsafat Barat dan dikaji menurut framework Barat.
Dari sini kita dapat melihat suatu framework yang berbeda dari framework orietalis yaitu bahwa akar filsafat Islam bukanlah filafat Yunani, tapi adalah konsep-konsep kunci dari wahyu. M. Iqbal bahkan mengatakan bahwa spirit Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani.[82] Sementara Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya.[83] Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu kemudian diintegrasikan kedalam peradaban Islam, khususnya jika hal itu berkaitan dengan Íikmah dalam pengertian yang universal.[84] Jadi adalah salah jika berfilsafat dalam Islam itu berarti menganut paham skeptisisme, keraguan dan aktifitas manusia yang individualistis yang melawan Tuhan.[85]
Dengan prinsip asal usul seperti itu maka filsafat Islam dapat di definisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Maka dari itu nama filsafat Islam benar-benar merujuk kepada sumber Islam dan bukan sumber Yunani. MM. Sharif lebih suka menyebut Muslim Philosophy (filsafat Muslim) daripada Islamic Philosophy (Filsafat Islam). Karena itu buku sejarah filsafat Islam yang ia edit itu diberi judul A History of Muslim philosophy. Nama ini digunakan agar pemikiran filosof Muslim yang bertentangan dengan ajaran, kepercayaan dan konsep-konsep Islam tidak disebut sebagai filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap sebagai idealisme yang menjadi norma yang dapat digunakan untuk mengevaluasi filsafat Muslim. Jadi filsafat Islam adalah tujuan dan aspirasi masa depan.[86] Namun, sebenarnya menggunakan nama Filsafat Islam sebab hal itu justru menjunjukkan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang lahir pandangan hidup Islam.
Framework para pemikir Muslim diatas menunjukkan peran Islam yang dominan dibandingkan peran filsafat Yunani. Ini nampaknya sangat sesuai untuk digunakan dalam pengkajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam. Disini filsafat Islam tidak hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur’an, hadith dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat didalamnya. Oleh sebab itu framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahasan dari konsep al-Qur’an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik pengikut peripatetik maupun pengkritiknya), dan tasawwuf.
e) Framework Alternatif
Framework kajian filsafat Islam semestinya sejalan dengan pandangan para pemikir Muslim kontemporer seperti yang disebutkan diatas. Filsafat Islam dipahami sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam yang konsep-konsep dasarnya berakar pada al-Qur’an dan hadith yang kemudian ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama sehingga menggambarkan struktur konsep yang berbeda dari filsafat Yunani. Karena sumber pemikiran filsafat Islam adalah wahyu, maka kajian sejarah filsafat Islam dimulai dari konsep-konsep seminal (seminal concepts) dalam al-Qur’an dan dilanjutkan dengan kajian terhadap pemahaman, penafsiran, penjelasan dan pengembangan konsep-konsep tersebut oleh para pemikir Muslim.
Dalam kaitannya dengan disiplin filsafat Islam, aktifitas memahami, menafsirkan, menjelaskan dan mengembangkan konsep-konsep dalam al-Qur’an dapat digambarkan dalam bidang yang kemudian disebut kalam, falsafah dan hikmah.
1) Kalam, adalah istilah oleh kebanyakan ilmuwan diartikan sebagai ilmu yang mempertahankan asas-asas agama dan seringkali disebut teologi. Tapi sebenarnya kalam lebih luas daripada itu, sebab selain mendiskusikan isu teologis juga membahas problem-problem filsafat. Oleh sebab itu para orientalis memberi berbagai macam kepada kalam, seperti philosophical theology, Islamic theology, atau philosophy of kalam. Jika di Abad Pertengahan Barat menyebut teolog mereka sebagai filosof, maka umat Islam dapat pula menyebut para mutakallimun sebagai filosof.
2) Falsafah, nama ini adalah terjemahan murni dari Philosophia dan istilah ini dikaitkan dengan Muslim paripatetic (Mashsha’i). tokohnya yang terkenal adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Rushd, Ibn Tufayl and Ibn Bajah dsb. Tapi sebenarnya Muslim Paripatetics ini dalam pengertian Aristotle hanyalah teolog, sebab mereka hanya mengembangkan teologi Aristotle.
3) al-Hikmah, berarti ‘wisdom’, sedikit berkaitan dengan istilah ‘philosophy’, tapi lebih luas dari “philosophy”, sebab al-Hikmah tidak hanya bersumber pada akal manusia, tapi pada wahyu. Oleh sebab itu bidang kajian al-Hikmah lebih luas daripada filsafat.
Jika pembagian diatas kita terima, maka filsafat Islam bukan hanya terbatas pada falsafah dan pendekatan atau framework mempelajari filsafat Islam harus dirubah. Untuk merubah framework pengkajian filsafat Islam kita perlu menekankan dua hal: Pertama, definisi dan pengertian filsafat Islam; Kedua, proses lahirnya filsafat Islam
Pertama karena filsafat berbeda dari ilmu (sciences) maka materi kajian (subject matter) filsafat Islam lebih luas dari ilmu apapun dan karena itu definisi filsafat yang mencakup seluruh pemikiran filsafat tidak mudah. Untuk mengatasi kesulitan ini dan sebelum mendefinisikan filsafat, kita lihat tujuan utama para filosof dalam pemikiran mereka. Tujuan mendasar mereka ada dua: 1) Membangun sistim filsafat dan 2) mengevaluasi sistim atau mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sistim tersebut. Berdasarkan pada dua tujuan filosof tersebut maka jelaslah bahwa materi kajian (subject matter) filsafat adalah sistim.
Sebagai suatu sistim pengetahuan maka filsafat mempunyai cirri-ciri utama diantaranya tersusun secara logic (logically organized). Menggunakan metodologi khusus (methodological) dan menerapkan teori yang berdasarkan observasi, analisa, sintesa dan pengalaman (eksperimen). Jadi, arti filsafat bedasarkan pada pandangan ini adalah kajian tentang pembentukan (constructing), penilaian (evaluating) atau pembahasan (discussing) masalah yang berkaitan dengan sebuah sistim pemikiran dengan pendekatan ilmiyah yang tersusun, metodologis dan teoritis.
Kedua untuk menentukan framework filsafat Islam diperlukan gambaran tentang kemunculannya dan tokoh yang membawanya. Kelahiran dan perkembangan suatu pemikiran selalu dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan peradaban yang menaunginya. Sebab, perlu dicatat, ilmu tidak dapat berkembang tanpa latar belakang peradaban, dan ilmu dalam peradaban manapun tidak dapat berkembang tanpa adanya struktur konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) sebelumnya. Yang dimaksud dengan struktur konsep keilmuan adalah jalinan konsep-konsep yang memungkinkan adanya tradisi keilmuan, termasuk istilah-istilah keilmuan (scientific terminology) dalam berbagai bidang. Susunan konsep ini disebut dengan pandangan hidup (worldview). Dalam sejarah Islam kita temukan banyak sekali konsep-konsep penting, seperti ilm, hikmah, kalam, ra’y, ijtihad, sahih, khata’, sawab, batil dsb., yang kesemuanya itu disebut dengan struktur ilmu pengetahuan (knowledge structure).
Jika filsafat Islam dikaji dari konsep-konsep yang berasal dari peradaban Islam, maka filsafat Islam dan filsafat Yunani jelas berbeda. Yang pertama bersumber dari wahyu sedangkan yang kedua bersandar pada akal. Berdasarkan konsep pandangan hidup diatas maka Filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Qur’an dan Sunnah yang dalam perkembangan selanjutnya bersentuhan dengan konsep-konsep asing.
i). Tujuan Kajian Filsafat Islam
Tujuan Pengkajian Filsafat Islam adalah untuk memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami konsep-konsep penting dalam pemikiran filsafat Islam. Selain itu juga memberikan kecakapan kepada mahasiswa untuk merujuk konsep-konsep penting filsafat dari konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an dan Hadith, sehingga dengan begitu ia mampu menjelaskan konsep-konsep yang pernah ada dalam dalam khazanah intelektual Islam sesuai dengan situasi masa kini. Untuk menggambarkan framework ini maka kajian filsafat Islam merujuk kepada framework Sejarah Filsafat Islam diatas. Untuk tingkatan Sarjana S1, tidak seluruh materi diberikan dalam 1 semester, namun framework kajiannya tetap merujuk kepada framework Sejarah dibawah ini. Selain itu kajian teks diarahkan untuk mengkaji konsep-konsep penting yang terdapat dalam Madhhab-madhhab filsafat Islam, baik dari Kalam, falsafah maupun tasawwuf.
ii) Topik pembahasan disusun sbb:
I. Pengertian dan obyek kajian Filsafat Islam
II. Tradisi Pemikiran Spekulatif Periode Awal
A. Konsep-konsep penting dalam al-Qur’an (konsep teologi, ontologi, epistemologi, cosmology)
B. Kajian pemikiran tentang hikmah periode sahabat dan tabiin.
C. Awal Tradisi pendidikan Ashab al-Suffah
III. Konsep pandangan hidup Islam dan Sejarah kelahiran ilmu dalam Islam
A. Lahirnya disiplin ilmu dalam Islam Fiqih, Tafsir, Hadith, Sejarah, Nahwu dsb
B. Lahirnya pemikiran spekulatif ( Kharijiyah, Qadariyyah, Murji‘ah, Shiah)
IV. Munculnya pemikir spekulatif periode awal
A. Dari kalangan tradisionalis (Urwah ibn Zubyar, al-Zuhri, Ibn Ishaq)
B. Dari kalangan ulama dibidang hukum (Qadi Shurayh, Ja‘far al-Sadiq, Abu Hanifah, Malik Ibn Anas, Abu Yusuf)
C. Dari kalangan teolog (Hasan al-Basri, Wasil Ibn Ata’, Jahm Ibn Safwan, Ghyalan al-Dimashqi)
V. Kelahiran madhhab-madhhab Filsafat
A. Madhhab Sunni (al-Ash‘ari, al-Maturidi)
B. Madhhab Mashsha’un, Peripatetik Muslim ( al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina)
C. Madhhab Sufi (al-Muhasibi, Abu al-Qasim al-Junyad, al-Bistami)
D. Filosof Naturalis (Ibn al-Rawandi, Zakariyya al-Razi)
E. Madhhab Ikhwan al-Safa
VI. Perkembangan dan Reorientasi Pemikiran Filsafat
A. Kritik Madhhab Sunni terhadap Madhhab Mashsha’un (Kritik al-Ghazzali terhadap filsafat Ibn Sina)
B. Kritik Ibn Rushd terhadap filsafat al-Ghazzali
C. Kritik Fakhr al-Din al-Razi terhadap Ibn Sina
VII. Perkembangan Madhhab Sufi
A. Madhhab Wahdat al-Wujud Ibn Arabi
B. Madhhab Filsafat Illuminasi al-Suhrawardi
C. Madhhab Filsafat Wujudiyyah Mulla Sadra
VIII. Tren Pemikiran filsafat Islam Modern[87]
II. Kajian Teks Filsafat Islam
Topik Kajian:
Kajian teks ditujukan agar mahasiswa memahami konsep-konsep tertentu dalam teks-teks yang menjadi sumber pemikiran filsafat Islam dan teks-teks filsafat Islam, khususnya konsep-konsep dalam masalah Tuhan, alam, manusia, ilmu, etika dsb.
1. Kajian teks sumber filsafat Islam al-Qur’an, Hadith dan Qaul Sahabah
2. Kajian teks-teks dalam tradisi kalam
3. Kajian teks-teks filsafat Yunani (Plato dan Aristotle)
4. Kajian teks-teks dalam tradisi falsafah
5. Kajian teks-teks dalam tradisi tasawwuf
Mengingat bahwa filsafat Islam adalah kajian mengenai sistim pemikiran yang terdiri dari konsep-konsep, maka kemampuan bahasa Arab menjadi prasyarat bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini.
Mengkaji pemikiran filsafat manapun sebenarnya adalah mengkaji pandangan hidup dan suatu pandangan hidup adalah sistim pemikiran yang terdiri dari konsep-konsep penting suatu peradaban. Jika pandangan hidup adalah suatu bangunan pemikiran yang terdiri konsep-konsep, maka ketika suatu pandangan hidup dipahami secara filosofis ia menjadi sistim filsafat dan yang nampak bukan lagi pandangan hidup tapi adalah sistim filsafat tersebut. Oleh karena itu memahami filsafat Islam dari pandangan hidup Islam berarti memahaminya dengan pendekatan sistemik (systemic approach). Dengan pendekatan ini maka sebagai sebuah sistim, filsafat Islam dapat digunakan untuk memahami sistim-sitim filsafat lain seperti filsafat Barat dan bahkan dapat dipakai untuk mengkritik dan juga mengadapsi konsep-konsep asing kedalam millieu filsafat dan pemikiran Islam.
KesimpulanIslam adalah agama dan pandangan hidup yang mempunyai konsep-konsep kunci yang berasal dari dalam tradisinya sendiri dan berbeda secara diametris dari konsep-konsep dalam pandangan hidup lainnya. Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam itu dibingkai dalam susunan yang sistemik dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya serta membentuk suatu keseluruhan yang integral, maka ia akan menjadi asas epistemologi dan bahkan dapat menjadi framework kajian berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam.
[1] Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles Sribner’s sons, New York, n.d. 1-2
[2] Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, 532.
[3] Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.
[4] Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) 14, 41.
[5] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ, Beirut, 1989, hal. 13.
[6] M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslamÊ, DÉr al-ShurËq, tt. Hal. 41
[7] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, 2
[8] Ninian Smart, Worldview, 2
[9] Ia tidak diterjemahkan menjadi Nazrat al-Islam li al-kawn, karena nazar lebih bersifat observasi spekulatif dan al-kawn lebih merupakan pengalaman indrawi atau dunia nyata yang kasat mata. S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[10] S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[11] Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur, ISTAC 1996, 29.
[12] Alparslan, “The Framework” 6. Cf. Alparslan, Islamic Science, 10.
[13] Pengetahuan a prioriadalah pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berfikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa observasi atau pengalaman khusus. A posteriori adalah pengetahuan yang tidak dapat diperoleh secara a priori.
[14] Alparslan, “The Framework”, 6-7.
[15] Thomas F Wall, Ninian Smart, al-Attas menyinggung konsep-konsep tentang kehidupan sebagai elemen pandangan hidup. Lihat, Thomas F Wall, Thinking.. , 16; Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9; S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[16] Alparslan, Islamic Science, 20-26.
[17] Dari enam elemen penting pandangan hidup Thomas Wall salah satunya adalah konsep Tuhan lainnya adalah 1) Ilmu, 2) Realitas, 3) Diri, 4) Etika, 5) Masyarakat, lihat Thomas F Wall, Thinking.. , 16; Sementara itu Smart dalam konteks agama-agama menyebut doktrin keagamaan sebagai salah satu pandangan hidup, selain itu adalah 1) Mitologi, 2) Etika, 3) Ritus, 4) Pengalaman dan Kemasyarakatan, lihat Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9,
[18]S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[19] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix.
[20] Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem p. 60
[21] Adi Setia, al-Attas’ Philosophy of Science, an extended outline, makalah diskusi Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS, Sabtu, 21 juni, 2003, Kuala Lumpur, Malaysia. Hal. 7.
[22] Al-Attas, Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, Kuala Lumpur, Ministry of Culture, 1986, hal. 460.
[23] Adi Setia, ibid, hal. 9
[24] Al-Attas menyebut pandangan ini sebagai “artificial coherence” karena ia tidak bersifat alami dalam konteks hakekat fitrah manusia, karena itu sifatnya selalu berubah dengan perubahan sosial.
[25] Lebih detail lihat Gerald Vision, Modern Anti-Realism and Manufactured Truth, International Library of Philosophy, ed. Ted Honderich (New York: Routledge, 1988).
[26] Intuisi, menurut al-Attas bukan hanya berarti pamahaman langsung oleh subyek yang mengetahui tentang dirinya, dalam kondisi sadar, tentang diri orang lain, tentang dunia luar, tentang kebenaran, nilai, rasional dan universal. Intuisi juga merupakan pemahaman, langsung tanpa perantara tentang kebenaran agama, tentang realitas dan wujud Tuhan, realitas eksistensi sebagai lawan dari realitas esensi, intuisi pada tingkat yang tertinggi adalah intuisi tentang wujud itu sendiri. Lihat al-Attas, Prolegomena, hal. 119
[27] al-Attas, A Commentary on the Hujat al-ØsiddÊq of NËr al-DÊn al-RÉnirÊ: being an exposition of the salient point of distinction between the position of the theologians, the philosophers, the Sufi dan the pseudo-Sufi on the ontological relationship between God and the world and related questions, Ministry of Education and Culture, Kuala Lumpur, 1986, 464-465.
[28] Al-Attas, The Concept of Education in Islam; A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1991, hal. 7 ff; Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir al-Attas ini dalam “The Question of Methodology in Islamic Science” dalam Tawhid and Science: Essay on the History and Philosophy of Islamic Science, (Penang dan Kuala Lumpur, Secretariat for Islamic Philosophy and Science, dan Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991; buku ini diterbitkan kembali sesuai dengan aslinya dengan judul The History and Philosophy of Islamic Science, (Cambridge, Islamic Text Society, 1999, 13-38.
[29] Al-Attas, Islamic Philosophy of Science, 31-32; lihat juga Prolegomena, 138
[30] David K Naugle, Worldview, History of Concept, William B Eerdmanss Publishing, Grand Rapid, Michigan / Cambridge, UK, 2002, hal. 328.
[31] Alparslan, Islamic Science, 19
[32] Alparslan, Islamic Science, 71-72.
[33] Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan menunjukkan sistim kata yang menjadi unsure pokok dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam. Contoh yang diberikan disini adalah kata Allah yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam sistim kata pada masa pra-Islam Allah tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral, Allah adalah tuhan dalam hirarki tuhan-tuhan yang lain. Penjelasan lebih detail lihat Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung, New Edition, Kuala Lumpur, Islamic Book Trust, 2002, 36-38.
[34] Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan di Makkah dan Madinah Lihat Abu Ammaar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the Qur’aan, Birmingham, al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999, 100-101.
[35]Alparslan, Islamic Science, 81
[36] Khalifah melaporkan catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya’ al-’Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, vol.1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad Ali al-Subayh, n.d. see Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah, 1/104.; lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, 81.
[37] Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini, menurut AbË Nuaym berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Materi yang dikaji memang masih sangat sederhana, tapi karena obyek kajiannya berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks ia merupakan benih-benih kajian pada periode selanjutnya. Lihat Abu Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha’ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2 vols. (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1953, 2/70; lihat juga Abu Nu’aym, Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya’, 10 vols, Egypt:al-Sa’adah Press, 1357, 1/339, 341.
[38] AbË Nu’aym mencatat bahwa Sa’Êd ibn ‘Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar. Ibid, 1/341.
[39] Dalam al-Qur’an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata ‘ilm, tidak termasuk kata-kata derivatifnya, dari 91 ayat itu 67 daripadanya diwahyukan di Makkah dan sisanya, 24 ayat, di Madinah.
[40] ‘Abd al-HalÊm MahmËd menyebutkan bahwa ada dua hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an: Pertama, masalah yang berkaitan dengan zat Tuhan (dhat Allah), hakekat sifat Tuhan, hubungan antara esensi dan sifat, rahasiaNya tentang qadr dan problem-problem lain yang diluar jangkauan akal manusia. Kedua, masalah-masalah khusus yang berhubungan cabang-cabang (furË’) yang jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an hanya menjelaskan asas umum shari’ah (al-usul al-‘amah li al-tashri’ ) dan beberapa hal yang khusus. See ‘Abd al-HalÊm MahmËd, al-TafkÊr al-Falsafi fi al-IslÉm, Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d. hal.108-109.
[41] Bukti yang sering dirujuk untuk ini adalah Hadith tentang persetujuan Nabi terhadap Mu‘Édh bin Jabal untuk menggunakan ra’y dalam menyelesaikan masalah yang timbul dimasyarakat, jika al-Qur’an dan Hadith tidak menyebutkan penyelesaian masalah itu secara eksplisit. Musa, Yusuf, Usul al-Tashri’ al-Islami,Dar al-Ma’arif, Cairo, 1964, hal. 11.
[42] al-Attas, SMN, Prolegomena, lihat “Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., “Opening Address, The Worldview of Islam, an Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and Contemporary Contexts, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, 28-29.
[43] Alparslan Acikgence, A Concept of Philosophy in the Qur’anic Context, The American Journal of Islamic Social Sciences, 11: 2.
[44] Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Willard R Trask (Irving Texas: Spring Publication, Inc., 1980) hal. 13.
[45] Lihat misalnya materi kuliah Filsafat Islam dalam Topik Inti Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam 1988, Departemen Agama RI, Direktoreat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1988; Kurikulum Program Studi Barbasis Komtperensi Jurusan Aqidah Filsafat, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005; Kurikulum dan Silabi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Wilayah IV, 2004; Kurikulum dan Silabi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Wilayah IV, 2004; Kebijakan Akademik dan Kelembagaan Tentang Kurikuluml Berbasis Kompetensi, Perguruan Tinggi Agama Islam, Direktorat Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Perguruan TInggi Agama Islam, Departemen Agama, Jakarta, 2005.
[46] Oliver Leaman misalnya menyatakan bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Lihat Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985, hal.5.
[47] Peter, F.E., Aristotle and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, New York University Press, (New York, 1968) hal. xxi-xxiii. Juga Richard Walzer, “Islamic Philosophy” dalam Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy, Oxford,: Bruno Cassirer, 1962, hal. 1-28. Lihat juga Gustave E.von Grunebaun, Islam and Medieval Hellenism: Social and Cultural Perspectives, Variorom Reprints, (London 1976), hal.25.
[48] Seperti dikutip oleh Thomas Patrick Hughes dalam, Dictionary of Islam, Being A Cylopaedia of the Doctrines, ritets, ceremonies and custom, together with the technical and theological terms, of the Muhammadan Religion, London W.H.Allen & Co, 1927, s.v. Philosophy Muslim, hal. 452.
[49] De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, Curzon Press, Richmond, U.K., 1994, pp. .28-29,309. The emphasize on translation see Myers, Eugene A., Arabic Thought and The Western World, Fredrick Ungar Publishing Co, New York, 1964, hal. 7-8.
[50] Gustave E. von Grunebaum, Islam and Medieval Hellenism: Social and Cultural Perspectives, di edit dan diberi Pendahuluan oleh Dunning S Wilson, diberi pengantar oleh Speros Vryonis, Jr. Variorum Reprints, London, 1976, hal. 25.
[51] Ibid
[52] Wat, M.W, Formative Period of Islam, University Press, Edinburgh, 1969, hal. 183.
[53] Lihat M.Cook, “The Origin of Kalam” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 43 (1980): 42-43.; lihat juga M.Abdul Haleem, “Early Kalam” dalam Seyyed Hossein Nasr et al, ed. History of Islamic Philosophy, Routledge, London, 1998, vol.I,72-73
[54] Lihat dalam Vergilius Ferm, A History of Philosophical System, Rider and Company New York, 1950, hal. 159-160
[55] The Harper Collins Dictionary of Religion, HarperSan Fransisco, 1986, 533
[56] Peter, F.E. Aristotle and The Arabs, hal. 57.
[57] Acikgenc, Alparsalan, Islamic Science Towards Definition, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, pp.14-15.
[58] The Harper Collins Dictionary, hal. 533
[59] Michael Marmura, dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Mircea Eliade, MacMillan Publishing Company, New York, Collier Macmillan Publisher, London, hal. 268, s.v. “Falsafah”
[60] Sabra, A.I., “Science and Philosophy in Medieval Islamic Theology”, dalam Zeitschrift fur Geschichte der Arabish –Islamichen Wissenschaften, 1995, hal.2.
[61] Ibid.
[62] Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, Columbia University Press, (New Tork, 1983), p.xv.
[63] Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, Being A Cyclopaedia of the Doctrines, rites, ceremonies and custom, together with the technical and theological terms, of the Muhammadan Religion, London W.H.Allen & Co, 1927, s.v. Philosophy Muslim, hal. 452.
[64] The Harper Collins Dictionary, hal. 533
[65] Al-Kindi, On First Philosophy, quoted by A.F.El-Ehwany in A History of Muslim Philosophy (Wiesbaden, 1963), vol.I. hal.42; Ibn SÊnÉ, UyËn al-×ikmah, Cairo, 1326 AH, hal.30.
[66] Ibn Taymiyyah, MinhÉj al-Sunnah, ed.R.SÉlim, Maktabah al-Khayyat, t.t. vol. I, p. 261. Wujud yang ia maksud disni adalah Tuhan, oleh karena itu filsafat baginya adalah ilmu tentang Tuhan.. Hanya saja Ibn Taymiyyah tidak sepakat dengan mereka dalam soal titik awal (starting point) pencarian tentang wujud. Bagi filosof ilmu tentang wujud maksudnya adalah ilmu tentang realitas sesuatu dan harus dicari melalui realitas tersebut. Ilmu tentang Tuhan harus dicari melalui ciptaannya. Namun bagi Ibn Taymiyyah pencarian tentang Wujud tidak bisa dilakukan melalui wujud yang diciptakan. Ilmu tentang Tuhan, menurutnya harus dicari melalui Tuhan (wahyu).
[67] Nasr, S.H.Philosophy Literature and Fine Art, King Abd Aziz University, (Jeddah) hal. 4. Tentang Íikmah lihat Encyclopedia of Islam, s.v; Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, Leiden, E.J.Brill, 1970, hal. 35-40. Lihat juga Carmela Baffioni, “Defining Íikmah”, Some preliminary Notes” Symposium Graeco-arabicum II, Archivum-Arabicum: 2, Amsterdam, 1989, hal. 1-9.
[68] Oliver Leaman, An Introduction, pp.5-6
[69] Watt, M.W, Islamic Philosophy and Theology, University of Edinburgh Press, Edinburgh, 1985, pp.33-64; 69-128.
[70] Fakhry, Majid, A History, p.viii-ix.
[71] Lihat dalam Vergilius Ferm, A History of Philosophical System, hal. 160; bandingkan Michael Marmura “Falsafa” dalam The Encyclopedia of Religion, 268
[72] Radhakrishnan, History of Philosophy, Eastern and Western, George Allan & Unwin Ltd. London, lihat “Islamic Philosophy”, Bab XXXII, hal.120-149.
[73] Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” in The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948, p.239.
[74] O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963.p.viii.
[75] Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” hal. 5.
[76] Diantara yang menolak logika adalah Hasan ibn Musa al-Nawbakhti (w.300 A.H./912). Ia adalah pemikir Muslim awal yang sezaman dengan Thabit ibn Qurrah (d.288 A.H/900). Bukunya Kitab al-Ara’ wa al-Diyanat menunjukkan kerancuan logika Aristotle. Yang menarik al-Nazzam (d.231 A.H/845) dan al-Jubba’i (d.303 A.H/915) tokoh Mu‘tazilah yang dianggap rationalis itu juga menolak filsafat Aristotle. Kritik terhadap filsafat Aristotle yang lain datang dari Abu Zakariyya al-Razii (d.313 A.H./925), dan Ibn Hazm al-Andalusi (d.456 A.H./1063), tapi al-Razii setuju dengan ide-ide Pythagoras. Selain itu Hibat Allah Ibn ‘Ali Abu al-Barakat al-Baghdadi (d.548 A.H/1155) pengarang buku Kitab al-Mu‘tabar fi al-Hikmah juga menentang filsafat Aristotle. Lihat M.M.Sharif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz Wiesbaden, 1966, pp. 804-805.
[77] Tokohnya yang terkenal dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah, lihat Ibn Taymiyyah al-Radd ala al-Mantiqiyyin, di edit oleh .R.’Ajam, vol.II, Dar al-Fikri al-Lubnani, Beirut, 1993. hal. 84-86..
[78] Ibn Taymiyyah, MinhÉj al-Sunnah, hal. 258.
[79] Qadir, C.A., Philosophy and Science in The Islamic World, Routledge, (London 1988) hal..28.
[80] ‘Abd al-LaÏÊf Muhammad, DirÉsÉt fÊ al-Falsafah al-IslÉmiyyah, Maktaba al-NahÌa, (Mesir 1978) hal. 4-5.
[81] M.M. Sharif, (Ed), A History of Muslim Philosophy, Low Price Publication, Delhi, vol., 1995, hal. 4.
[82] Qadir, Philosophy, hal.71
[83]Nasr,S.H. Science and civilization in Islam, Cambridge, Islamic Text Society, (1987), hal. 7.
[84]Nasr, S.H. Islamic Studies, Librairie Du Liban, Beirut, (1970) hal. 112.
[85] Ibid p.5
[86] M.Saeed Sheikh, Reorientation of Islamic philosophy, Pakistan Philosophical Congress, (Lahore, 1964). P.1; bandingkan Qadir, Philosophy. hal. 70
[87] Bandingkan Alparslan Acikgence, “The Framework for A History of Islamic Philosophy”, Journal al-Shajarah, ITAC, vol. I, no. I, 17-19; idem, A Concept of Philosophy in the Qur’anic Context, The American Journal of Islamic Social Sciences 11: 2, 155-182; idem, “Towards An Islamic Concept of Philosophy” Proceeding of the Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context. 1-5 August 1994, Kuala Lumpur: ISTAC 1996, 535-569.