Kamis, 05 Maret 2009

Memilih Calon Pemimpin Ideal

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

(Q.S. Al Maa’idah [5]: .

Pada tahun 2009 ini Indonesia akan menyelenggarakan hajatan akbar demokrasi yakni pemilihan umum legislatif dan presiden. Berbagai slogan dan kampanye sudah mulai ditemukan, baik kampanye dalam media elektronik, surat kabar, dan lainnya. Beberapa stasiun TV juga kerap menyelenggarakan acara debat caleg ataupun pemaparan visi & misi masing-masing partai. Kesemuanya tidak lain merupakan usaha mendapatkan simpati publik. Apabila kita perhatikan acara-acara tersebut, kita pasti bingung akan memilih siapa yang akan dijadikan pemimpin. Hal tersebut disebabkan semua calon menjanjikan visi dan misi yang sangat menjanjikan. Pemimpin yang di ataspun mulai turun berkeliling daerah, mendekati masyarakat bawah memberikan santunan dan sebaginya. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut tidak mereka lakukan sejak awal menjadi pejabat?

Dalam Islam pemimpin merupakan elemen yang sangat penting. Dalam terminologi Islam pemimpin biasanya disebut “imam” sedangkan hal yang menyangkut kepemerintahan disebut “imamah”. Urgensi seorang imam disebutkan dalam Alqur’an: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An Nisaa [4]: 59).

Hakekat seorang pemimpin adalah “khilafatunnubuwah” atau menggantikan posisi kenabian dalam menata dan mengatur urusan negara dan keduniaan (tadbiiru al-dunya) beserta urusan agama (khirasatu al-dien) tentunya. Hal tersebut seperti didirikannya kekhalifahan “khulafaur rasyidin” setelah Rasulullah SAW. Pada dasarnya menjadi seorang pemimpin adalah suatu yang sangat berat tangung jawabnya. Artinya sesorang yang mencalonkan dirinya menjadi seorang pemimpi berarti telah harus siap memikul beban berat tersebut. Beban tersebut adalah tanggung jawab nya di sisi Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan (permasalahan) rakyatnya (di sisi Allah).” 

Seorang pemimpin tidak hanya mempertanggungjawabkan kebijakannya di hadapan masyarakat yang dipimpinnya saja, akan tetapi juga mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT. Kebijakan-kebijakann yang pernah diambil harus dipertanggungjawabkan, terutama yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Sungguh besar dan berat untuk menjadi seorang pemimpin. Namun kita lihat sekarang di realita kehidupan. Orang-orang berbondong-bondong mencalonkan diri mereka untuk menjadi pemimpin. Dari tingkat kepala desa sampai presiden. Mekanismenya pun sangat unik, siapa yang berduit maka lebih berpotensi untuk terealisasi menjadi pemimpin. Obral duit atau serangan fajar, istilah sekarang telah menjadi rahasia umum. Semua telah mengetahui perihal seperti ini di belahan daerah manapun di Indonesia. Praktek seperti ini umum terjadi dari tingkat pusat sampai RT. Sedikit sekali pemimpin tanpa modal harta, dengan modal kepercayaannya menjadi seorang pemimpin. Mereka seolah-olah tidak mengetahui bahwa dibalik semuanya ada tanggung jawab kelak di sisi Allah.

Calon pemimpin seperti ini tidak boleh dipilih menjadi pemimpin umat. Jabatan adalah tujuannya, bukan sarana untuk mengabdi kepada rakyat yang dipimpin. Secara naluri pasti dia juga akan berusaha mengembalikan dana yang telah ia hamburkan. Dan pengembalian tersebut tidak hanya dari gajinya, karena tentu belum cukup untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan. Artinya, secara tidak langsung upaya-upaya tersebut merupakan bisnis politik. Mereka tidak mengurusi bagaimana rakyat dan negara bisa maju, tetapi memikirkan bagaiman modal yang dikeluarkan dapat kembali. Otak-otak seperti inlah yang merusak keutuhan bangsa dan tegaknya negara. Padahal seharusnya seorang pemimpin mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Di antara kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
Berbuat adil kepada seluruh elemen masyarakat, adil dalam aspek sosial, hukum dan adil dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi, tidak membedakan kerabat dekat dengan orang biasa, dan dapat dipercaya (amanah). Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al Maa’idah [5]: .
Menata dan mengarahkan umatnya untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan sehingga menjadi bangsa yang kuat, dan tidak mudah dimasuki dan diacak-acak Negara lain.

Keberadaaan seorang pemimpin merupakan suatu kewajiban dalam Islam. Meskipun bukan wajib ain tapi wajib kifayah. Pemimpin diharapkan dapat menegakkan keadilan sosial, keadilan ekonomi, serta keadilan hukum. Urgensi tersebut dalam kitab klasik disebutkan untuk menghindari kesemenaan sebagian manusia kepada sebagian manusia yang lain. Tanpa adanya seorang pemimpin tidak akan tercipta ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan, yang hal tersebut merupakan maqaasid syariah yaitu kemaslahatan (jalbu naf’in wa daf’u dhararin). Dengan terealisasinya maslahah tersebut, selanjutnya masyarakat Islam mencapai kebahagiaan dunia beserta akhirat (al-falah fiddunya wal akhirah).

Partisipasi warga sebagai ahlul ikhtiar sangat diperlukan dalam penentuan seorang pemimpin. Warga Negara harus over-selective dalam menentukan calon legislatif mereka. Dalam kitab “as-Siyaasah wal akhkaamu al-Sulthaniyyah” disebutkan kriteria-kriteria seorang yang layak dijadikan calon pemimpin umat. Diantaranya adalah: adil, berakhlak mulia, pandai, sehat jasmani dan rohani, bervisi kuat dan amr bil ma’ruf wa nahyu anil munkar. Oleh karena itu memilih seorang pemimpin seperti memilih seorang pasangan hidup, harus seselektif mungkin, jangan memilih calon pemimpin yang berani menghamburkan uang sebelum menjadi pemimpin. Karena hakekat pemimpin adalah orang yang dipanuti, yang kita ikuti. Untuk memilih pemimpin yang baik dan ideal tidak cukup hanya mengandalkan mata kepala saja, dengan melihat janji-janji dan stimulus yang diberikan oleh para calon pemimpin. Kita juga harus menggunakan mata hati atau mata batin kita secara obyektif, bagaimana track-record atau sepak terjang seorang calon pemimpin tersebut selama ini, baik kehidupan pribadinya, maupun kehidupan sosial-kemasyarakatannya. Kalau pemimpin yang kita pilih baik, maka kita juga yang akan menikmati dan merasakan kebijakan-kebijakan pemimpin tersebut. Kalau kita hanya menggunakan mata kepala saja, dengan melihat materi saja dan mengabaikan mata hati, bisa jadi kita akan salah pilih. Dan kalau salah pilih maka kita sebagai masyarakat yang dipimpin akan menjadi korban. 

Berangkat dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita mempunyai peran signifikan dalam menentukan siapa dan bagaimana sosok yang akan memimpin kita. Baik buruknya pemimpin yang akan memimpin kita, sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita menggunakan mata hati kita untuk melihat secara jernih dan berpandangan ke masa depan. Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa ada dua macam pemimpin di dunia ini, yaitu pemimpin yang baik dan pemimpin yang jahat. Diriwiyatkan dari Hisyam bin Urwah dari Abi Shalih dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Akan memerintah setelahku sebuah pemerintahan. Pemimpin yang baik akan memerintah dengan baik dan pemimpin yang jahat akan memerintah dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah dan patuhilah yang benar.’

Semoga Allah memberikan kepada kita pemimpin yang benar-benar amanah dan dalam mengambil kebijakan selalu mendahulukan kemaslahatan umat atau masyarakat yang dipimpinnya. Karena pada dasarnya kewajiban pemimpin kepada rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan umat sebagaimana kaidah fiqhiyyah “tasharruful imaami ‘ala ra’iyyatihi manuutun bil maslahah,” artinya pada dasarnya tasharruf atau kebijakan seorang pemimpin harus memperhatikan bagaimana kemaslahatannya bagi umat. Semoga Allah membuka mata hati kita untuk dapat melihat seobyektif mungkin dan memberi petunjuk siapa calon pemimpin yang layak dan ideal untuk memimpin kita. Amin.

Wallahu a’lam.

PEMILU DALAM ISLAM : HAKIKAT DAN HUKUMNYA

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Mungkin pertanyaan kita yang mendasar adalah, apakah Pemilu (intikhabat) itu ada alam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi? Mari kita mengkaji satu persatu jawabannya.

Benar, Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002: 41; Al-Khalidi, 1980: 95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Nah, di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (usl?agi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.

Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (usl?bukan metode (tharh). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi?l al-far?yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi?l al-?ashl Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah [9]: 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (usl?ang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang -dari perbuatan pokok- yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953: 116; Zallum, 2002: 205-206; Al-Mahmud, 1995: 106-107).

Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharh) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (usl?ang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:

Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: ShahMuslim, II/240; Majma? Az-Zaw⒩d, V/223-224; Nayl al-AwthⲬVII/183; Fath al-Bⲩ, XVI/240).

Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarh), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).

Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada? al-bai?ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan usl?ng bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.

Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhw⮵ll⨠?alayhim. Namun, pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (tharh) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002: 82).

Pemilihan Khulafaur Rasyidin

Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fmdh⒠?aqd al-khil⦡h) (Al-Khalidi, 1980: 114; 2002: 26). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in?iq⤬ yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-th②t (atau bay?ah ?ammah), yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002: 117-124).

Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah (ijr⒡t at-tansh, atau cara (usl?ang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002: 72-85):

Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtim⑩ oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsy bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyⲩ terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in?iq⤠bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-th②t oleh umumnya umat kepada khalifah.

Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyⲡh) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhl⦯?ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi: (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in?iq⤠untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-th②t oleh umat kepada khalifah.

Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut: (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-?ahd, al-istikhl⦩ bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah: (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyⲩ terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in?iq⤠kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-th②t oleh umat secara umum kepada khalifah.

Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in?iq⤠kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-th②t oleh umat secara umum kepada khalifah.

Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafaur Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1963: 137-140) dan Imam Abdul Qadim Zallum (2002: 84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhⳡbah (pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalifah ini terdiri dari 4 (empat) langkah:

(1) Para anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.

(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikh⢩ dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.

(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in?iq⤩ orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.

(4) Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.

Pemilihan Anggota Majelis Umat

Di samping Pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada Pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikh⢡t) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta?yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra?yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).

Mengingat Pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakalah, maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (?azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-?aqd al-ja?izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ?al⠡l-Mazh⨩b al-Arba?ah, III/148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (?azl al-khalh). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadh⒩ yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).

Samakah Pemilu dalam sistem Khilafah dengan Pemilu dalam sistem Demokrasi?

Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (usl?memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafk 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2).

Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-d?an al-hay⨬ secularism) (Al-Khalidi, 1980: 44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995: 23).

Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siy⤡h li asy-sya?b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siy⤡h li asy-syar? bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 37-38; Ash-Shawi, 1996: 69-70; Rais, 2001: 311).

Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5).

Jelaslah, pemilu dalam sistem Khilafah, walaupun ada kemiripan, tetap tidak sama dengan pemilu dalam sistem demokrasi saat ini. Ibaratnya adalah seperti babi dan sapi. Keduanya memang ada kemiripannya, misalnya sama-sama berkaki empat. Tapi yang pertama haram sedang yang kedua halal. Perbedaan-perbedaan pemilu dalam sistem demokrasi dan khilafah itulah yang wajib kita cermati, agar kita tidak terjerumus dalam dosa karena ikut-ikutan terlibat dalam praktik sistem demokrasi yang kufur. Wallahu a'lam. [ ]

Sumber : Majalah Al-Waie, tahun 2004. dan http://hati.unit.itb.ac.id/?p=77

Selasa, 03 Maret 2009

Sejarah Berdirinya STAIL

Sejarah dan Perkembangan STAIL  

Pesantren Hidayatullah Surabaya adalah Yayasan yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial yang berdiri pada Th. 1987 dan sampai sekarang berkembang dengan pesat. Dalam bidang Dakwah mengembangkan wilayah dakwah dengan membuka cabang-cabang baru di seluruh kota Kabupaten di Jawa & Nusa Tenggara. Tumbuhnya cabang-cabang baru tersebut menuntut Pesantren Hidayatullah Surabaya mempersiapkan para Da’i dan kiyai yang siap diterjunkan ke daerah-daerah untuk membina umat di daerahnya masing-masing.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas itulah para pendiri pesantren mendirikan Pendidikan Tinggi Islam (PTI), pada tahun 1994 sebagai lembaga pendidikan dan pengakaderan yang menggodok calon-calon da’i dan kiyai. Adapun para pendiri tersebut adalah :

 
NO NAMA KETERANGAN 
 1 Ust. Abdurrahman, SE Ketua Yayasan
 2 Ust. Drs. Hamim Tohari, M.Si Direktur LPI Luqman al-Hakim
 3 Ust. Husen Azis, M.Ag Ketua PTI
 4 Ir. El Venus Yahya Bendahara Yayasan


Pada awal berdirinya, STAI luqman al Hakim bernama PTI (Pendidikan Tinggi Islam) yang didirikan pada Tahun 1994. Ketika itu perkuliahan berjalan dengan menggunakan 100% kurikulum sendiri dan belum mendapatan status Terdaftar. Kurikulum tersebut dirancang untuk mencetak kader da’i yang siap diterjunkan ke cabang-cabang untuk membina umat di daerahnya.
Melihat perkembangan zaman, tuntutan sosial dan prospek out put mahasiswa, serta peluangnya untuk dapat mengikuti program pendidikan yang lebih tinggi (S2 & S3) mengharuskan PTI pada tahun 1997 berubah namanya menjadi STAIL (Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al Hakim), dan berusaha untuk mendapatkan status terdaftar serta berafiliasi ke Depag. Dengan asumsi bahwa program pengkaderan tetap dominan, dan mahasiswa sekaligus mendapatkan materi perkuliahan yang berisi kurikulum nasional. 
Alhamdulillah, pada tanggal 1 Juli 1998 STAI Luqman al Hakim mendapat SK menteri Agama (Dirjen Binbaga Islam) No. E/191/1998 untuk dua Jurusan :
a. Jurusan Dakwah, Program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
b. Jurusan Tarbiyah dengan Program Studi Kependidikan Islam (KI)
Selanjutnya STAIL memunculkan program Ekstensi S-1 sebagai wahana pendidikan bagi mereka yang sibuk dan masih menghendaki kuliah di luar jam kerja. Adapun jurusan dan program studi yang ditawarkan adalah:
a. Jurusan Dakwah, program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
b. Jurusan Tarbiyah dengan Program Studi Kependidikan Islam (KI)
Setelah itu berturut-turut dibukalah program Akta IV (SK No: 50.a/SK/KOP.IV/2002), dan Pendidikan Guru Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak (PGTK) sk No. 424/SK/KOP.IV/2003

 

LDK STAIL Menyonsong Kehidupan Baru

Sejatinya, Aktivis LDK STAIL adalah  para mahasiswa dan santri di Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim (STAIL) di bawah naungan Pesantren Hidayatullah Surabaya. Sebuah  Yayasan yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial yang berdiri pada Th. 1987 dan sampai sekarang berkembang dengan pesat.  di seluruh kota Kabupaten di Jawa & Nusa Tenggara. Sedangkan  STAIL Surabaya sendiri salah satu perannya mempersiapkan para Da’i dan kiyai yang siap diterjunkan ke daerah-daerah untuk membina umat di daerahnya masing-masing.

Awalnya para mahasiswa sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan kondisi kader muda mujahid muslim Indonesia, yang terkotak-kotak dalam bingkai organisasi. Semua merasa paling benar, dan sangat sulit untuk bisa mengajak mereka duduk dalam satu atap. Merespon kondisi tersebut, maka angkatan tahun 2004 membuat LDK (lembaga dakwah kampus) STAIL. LDK ini berafiliasi pada dua LDK utama, yakni FS-LDK & BK-LDK. Waktu mengikuti acara simposium nasional di IPB (Bogor), teman-teman STAIL turut serta, bahkan ketika FS-LDKN di Lampung pun temen-temen LDK dari STAIL juga turut serta. Pernah kami ditanya, STAIL kok ikut dua-duanya. Kami jawab “dua-duanya bagus dan tidak ada perbedaan, melainkan tekhnis dan pendapat yang tidak bersifat ushul”.


LDK STAIL juga pernah berupaya untuk meminimalisir kondisi split LDK tersebut. Namun sebagai kampus kecil tak besar yang dapat kami lakukan. Dalam forum FS-LDKD II di UBAYA pun akhirnya disepakati untuk mendirikan forum kajian mahasiswa yang kala itu kami sebut PUSAT KAJIAN ISLAM MAHASISWA (PKIM). Kajian ini terus dilanjutkan oleh generasi penerusnya namun sempat beberapa bulan vakum. Dengan izin Allah Angkatan 2008-2009 kini muai mengaktifkan lagi kajian tersebut.  Bahkan semacam ini akan terus berjalan karena pihak PUSKOMDA LDK Surabaya telah membuat giliran perkampusnya. kajianini selanjutnya aakn langsung diisi oleh para senior tokoh Suara Hidayatullah (SAHID).

 Akhirnya Kami berharap dan selalu berdoa semoga dengan kegiatan kajian tersebuat dapat lebih mengakrabkan lagi dengan teman- teman di kampus luar.


Senin, 02 Maret 2009

Datangnya Sebuah Alasan

Banyak orang yang kreatif. Buktinya saat mereka tersudut mereka mampu menyebutkan 1001 alasan untuk menutupi kesalahan mereka. Begitu juga saat mereka gagal melakukan sesuatu mereka pandai mendapatkan alasan. Bahkan saat mereka tidak mau melakukan sesuatu mereka juga jago mengatakan alasan untuk tidak melakukannya padahal apa yang harus mereka lakukan itu adalah untuk kebaikan mereka. Namun ada sesuatu yang mungkin membuat Anda tercengang tentang kapan datangnya sebuah alasan.

Mungkin Anda tidak akan setuju. Mungkin artikel ini bisa disebut kontroversi. Namun inilah kenyataanya yang perlu Anda ketahui jika Anda ingin memperbaiki diri sendiri. Kebanyakan orang menyangka alasan yang mereka buat adalah datang sebelum tindakan. Tahukah Anda, bahwa alasan itu justru datang setelah keputusan atau tindakan dibuat. Sekali lagi bukan sebelumnya.

Alasan itu muncul sebagai pembenaran atas tindakan dan keputusan yang telah Anda ambil. Bisa saja alasan yang dikatakan itu benar tetapi bisa juga salah. Namun baik alasan itu benar atau salah, datangnya setelah keputusan atau tindakan yang Anda ambil. Sebenarnya Anda sudah memiliki pemicu keputusan dan tindakan yang sudah ada didalam diri Anda jauh sebelum alasan tersebut Anda buat.

Apa itu? Tindakan dan keputusan Anda sebenarnya sudah memiliki picu utama yang berada dalam pikiran bawah sadar Anda. Anda memiliki suatu pola pikir atau mindset, nah keputusan dan tindakan Anda sebenarnya diarahkan oleh pola pikir Anda yang berada dipikiran bawah sadar. Tindakan dan keputusan Anda akan sesuai dengan pola yang sudah ada.

OK, mungkin Anda bisa mengubah suatu keputusan. Misalnya Anda sudah memutuskan tidak akan membeli suatu produk, kemudian Anda membaca penjelasan tentang produk tersebut dan Anda mengubah keputusan menjadi membelinya. Tetap saja keputusan Anda menjadi membeli produk tersebut digerakan oleh pikiran bawah sadar Anda. Saat Anda membaca penjelasan produk tersebut kemudian Anda mengikutinya karena dua kemungkinan:

1. Penjelasan tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan pola pikir Anda sehingga bisa Anda terima dan masuk ke dalam pikiran bawah sadar memperkuat pola pikir yang sudah ada sehingga Anda membeli produk tersebut. Jika awalnya Anda menolak, karena belum semua informasi tertangkap oleh pikiran bawah sadar.
2. Yang kedua, bisa jadi penjelasan tentang produk tersebut mampu memodifikasi pola pikir yang ada dalam pikiran bawah sadar Anda. Sehingga terbentuk suatu pola pikir baru yang memungkin Anda untuk membeli produk tersebut.

Kalau disimpulkan ialah semua keputusan dan tindakan Anda berdasarkan pola pikir yang ada dalam pikiran bawah sadar Anda. Pola pikir ini akan membentuk suatu mekanisme otomatis dalam diri Anda. Bisa memicu mekanisme sukses otomatis bisa juga mekanisme gagal otomatis, tergantung pola pikir Anda. Agar mekanisme yang muncul adalah mekanisme sukses otomatis, maka Anda harus memastikan bahwa pikiran Anda memiliki pola pikir yang positif atau indah (Beautiful Mind).

Mekanisme yang mana yang bekerja pada diri Anda saat ini?