Selasa, 24 Maret 2009

Berjiwa Besar Dalam Memilih


Inaugurasi Barrack Obama sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat ke 44 telah usai. Namun ada yang tetap menarik perhatian saya dari pesta demokrasi yang berlangsung di negeri Paman Sam itu. Jiwa besar yang mereka tunjukkan saat nama yang keluar sebagai ‘pemenang’ diumumkan dengan resmi sungguh membuat kagum. Walaupun saat kampanye, setiap kandidat bertarung habis-habisan, ketika keluar sang juara maka yang kalahpun dengan legowo memberi ucapan selamat. Tidak sekedar ucapan selamat saat perhitungan akhir suara telah keluar, tapi juga menunjukkan kebesaran jiwanya dengan hadir pada acara inaugurasi. Tidak ada wajah-wajah masam yang ditunjukkan selama acara berjalan. Semua tampak ikhlas dan gembira menyaksikan presiden terpilih mengucapkan sumpah janjinya kepada negara.


Etika para kandidat di ‘medan perang’pun menunjukkan sebuah peradaban cukup tinggi. Saat debat terbuka, mereka saling ‘menjatuhkan’ lawan dengan elegan, menggunakan fakta dan data serta mengemukakan keunggulan program yang ditawarkan secara jelas dan rinci. Beberapa kali memang terlihat adanya beberapa bentuk ‘black campaign’ yang tak terhindarkan. Mungkin dalam sebuah pertarungan tingkat tinggi seperti ini, tekanan yang demikian besar membuat emosi sempat ‘’terlepas’’ sejenak dari kontrol akal sehat. Tapi dengan cepat kritik rakyat lewat media mengembalikan akal sehat mereka untuk kembali beretika. Sehingga begitu masa kampanye berakhir, tidak ada lagi saling serang dan saling tuding (apalagi ‘black campaign’) yang ditujukan untuk menjatuhkan sang pemimpin pilihan rakyat. Sungguh menyenangkan melihat jalannya proses demokrasi yang demikian beradab.


Bagaimana dengan proses pesta demokrasi di republik ini? Dengan masgul terpaksa saya katakan masih jauh dari peradaban. Setiap kandidat berupaya menjatuhkan kredibilitas lawan dengan segala cara, mulai dari cara halus hingga kasar, yang elegan hingga ‘kampungan’, yang masuk akal dilengkapi data factual hingga emosional semata. Jalannya kampanye juga acap diwarnai dengan kericuhan, bahkan hingga berakhir dengan tawuran dan pertarungan antar massa pendukung masing-masing kandidat. Kekerdilan jiwa tidak hanya ditunjukkan kepada lawan tanding saja. Kritik rakyat hampir selalu dicurigai dan disikapi sebagai sebuah ancaman ketimbang masukan. Sehingga reaksi yang diberikan kerap berdasarkan emosi di luar batas. Tak jarang walau pesta demokrasi telah lewat, para mantan kandidat tetap berseteru, enggan bertegur sapa. Sikap mereka lebih mirip tingkah ‘anak kecil’ ketimbang seorang pemimpin. Kenapa bisa demikian? Kenapa proses demokrasi di republik ini sulit untuk berlangsung dengan beradab? Apa yang salah dengan budaya politik di negara ini?


Tampaknya budaya politik tidak legowo yang dianut hampir seluruh politisi bangsa ini disebabkan karena setiap kandidat yang kalah dalam pertarungan politik merasa seakan-akan kekalahan itu telah menghancurkan hidupnya. Sehingga seakan-akan rival mereka telah mematikan masa depannya. Bahkan kerap dimaknai sebagai penghancuran sebuah ‘dinasti’ politik yang telah dibangun turun temurun.


Hal ini dikarenakan sebagian besar politisi negara ini menggantungkan hidup dan masa depannya pada jabatan politik, menjadikan politik sebagai lahan mencari nafkah. Mereka hidup dari berpolitik dan bukan menjadikan politik sebagai media untuk mengaktualisasikan kemampuan diri serta menyumbangkan kemampuan dan keahlian demi kemajuan bangsa dan negara.


Dalam materi kampanye, hampir seluruh partai politik di republik ini hanya menyentuh aspek-aspek emosional dan fanatisme masyarakat dalam upaya meraih simpati. Sehingga tidak ada proses pembelajaran politik bagi rakyat negeri ini oleh para politisinya. Kurangnya penguasaan partai politik akan strategi dan pengetahuan berkampanye yang tepat sasaranpun kerap membuat materi kampanye menjadi boomerang.


Partai politik tidak memperhitungkan berkembangnya aspek-aspek intelektualitas masyarakat serta menguatnya civil society di beberapa elemen masyarakat. Peran Partai Politik justru kerap ‘meninabobokkan’ masyarakat dengan menumbuhsuburkan aspek-aspek fanatisme dan emosionalitas tak berdasar, sehingga tingkat kesadaran dan kecerdasan berpolitik masyarakat tidak berkembang.


Sementara di Amerika Serikat, walaupun penyentuhan aspek-aspek emosional memang tidak mungkin dihindarkan sama sekali, namun tetap mempertimbangkan kemampuan intelektualitas masyarakat yang meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga setiap partai politik dan kandidat telah siap menyodorkan program dan konsep yang jelas dan terinci dalam setiap kampanyenya (baik pada saat debat maupun dalam bentuk materi iklan). Kondisi ini membuat masyarakat terbiasa menilai pilihan yang dianggap baik, yang dapat memajukan bangsa dan negaranya lewat program-program yang dirasakan paling tepat.


Sebuah negara semaju Amerika Serikatpun dapat ‘salah memilih’ pemimpin bangsa. Seperti saat mereka terpaksa menelan kepahitan yang harus dituai sebagai hasil kepemerintahan Presiden George W Bush. Namun masyarakat di sana dengan cepat belajar untuk mencari sebab dan akar permasalahan yang menjadi dasar pertimbangan mereka untuk mencari sosok yang tepat, yang menawarkan konsep yang kuat sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan paling mendesak. Masyarakat yang belajar dengan cepat untuk menurunkan kadar fanatisme dan emosionalitas saat memilih, membuat Obama yang sempat mendapat ‘cibiran’ karena berasal dari golongan minoritas kulit hitam mendapat peluang untuk terpilih sebagai Presiden Afro-American pertama. Sikap partai politik juga mendukung berlangsungnya system demokrasi yang fair dan transparan yang membantu meningkatkan kesadaran dan kecerdasan berpolitik masyarakat.


Di republik ini, aspek transparansi justru kerap dihindarkan dan disamarkan. Perihal sumbang menyumbang dana kampanye adalah sebuah contoh nyata dari rendahnya kesadaran akan pentingnya transparansi. Tampak hal ini tidak lepas dari dasar berpikir yang melandasinya.


Pada hakikatnya menyumbang untuk sebuah kegiatan kampanye politik, selama dilakukan dengan jelas, transparan dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan adalah sah dan hak politik setiap warga negara. Adanya sumbangan politik yang jelas dan transparan, justru akan menggairahkan kehidupan berpolitik yang sehat dan mempersempit terjadinya transaksi politik dalam bentuk money politics. Tentu harus ada aturan yang jelas dalam pemberian sumbangan politik, seperti pencatatan donatur pemberi sumbangan dan besarnya sumbangan yang diberikan.


Penetapan plafon atas jumlah sumbangan juga diperlukan agar terhindar dari kewajiban ‘’hutang budi’’ pada pihak-pihak yang merasa telah menjadi penyandang dana terbesar, membuat sumber dana menjadi lebih proporsional. Kampanye Obama yang baru berlalu memberi gambaran yang cukup baik. Sekitar 90 % dama kampanye Obama berasal dari masyarakat secara individual dengan ambang batas yang telah ditetapkan.


Dalam sebuah system dan etika politik dimana fungsi control, prosedur checks & balances serta aturan-aturan main sudah jelas diatur dalam peraturan maupun perundang-undangan, maka setiap pelanggaran yang terjadi akan langsung mendapat hukuman dari rakyat. Hal ini terlihat pada system politik di Amerika Serikat, saat Gubernur Illinois memperjualbelikan kursi senator yang ditinggalkan oleh Barrack Obama, langsung mendapat reaksi keras dari rakyat dan media serta tindakan impeachment oleh parlemen setempat.


Dalam masyarakat dengan system politik yang sudah tertata dengan baik (well designed), telah terbangun kesadaran dan budaya berpolitik dengan pemahaman yang memadai. System politik yang menjamin kepastian dan transparansi membuat masyarakat yakin bahwa setiap sumbangan yang mereka berikan digunakan semata-mata untuk menggerakkan mesin demokrasi, yang akan kembali dalam bentuk peningkatan kemaslahatan seluruh rakyat.


Di negara ini, uang beredar menjelang kampanye dan pemilu begitu besar, tanpa ada kejelasan tujuan penggunaan dan pencatatan sumber dana yang transparan. Menurut seorang narasumber di sebuah talkshow politik, hingga saat ini dana yang telah digelontorkan para kandidat maupun partai-partai politik yang akan bertarung di pemilu tahun 2009, hanya untuk biaya iklan saja sudah mendekati 2,1 trilyun rupiah. Bahkan dalam tingkat pilkadapun, jumlah uang yang dikucurkan untuk mendanai kampanye para kandidat bisa mencapai 1/5 dari pendapatan daerah tersebut selama setahun, sebagaimana terjadi pada pilkada di Jawa Timur baru lalu.


Sebagian besar dana kampanye di republik ini lebih sering ditujukan untuk sekedar membeli suara rakyat bagi proses pemenangan kandidat. Dana kampanye yang seharusnya ditujukan untuk menggerakkan mesin demokrasi justru hanya menjadi alat transaksi politik, dengan tujuan jangka pendek meraih kemenangan. Setiap donatur memberi sumbangan politik dalam kerangka kepentingan individual. Sehingga setiap sumbangan yang diberikan selalu dimaknai sebagai pengembalian secara personal, yang justru membunuh semangat dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, penerima sumbangan yang terpilih, hampir dipastikan terikat dan terbebani dengan kewajiban ‘’balas budi’’ berupa pengembalian sumbangan kepada pemberi sumbangan, baik dalam bentuk natura maupun privilege atas sejumlah usaha.


Kondisi dan kenyataan tidak siapnya system politik yang mendukung berjalannya proses demokrasi yang fair dan transparan inilah yang membuat para kandidat tidak memiliki etika dan jiwa besar dalam menghadapi hasil yang diperoleh. Sungguh disayangkan karena negara ini justru memerlukan para pemimpin yang berkharisma, yang ditunjukkan lewat etika yang beradab. Tampaknya hal ini terjadi karena hampir seluruh kandidat yang terjun dalam kancah percaturan politik hanyalah memiliki karakter politisi semata.


Seorang yang hanya memiliki karakter sebatas politisi umumnya hanya mempunyai target jangka pendek, sekedar pemenangan pemilu untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini membuat kandidat yang bertarung tidak pernah siap dengan program dan konsep yang kuat dan terinci dengan arah pencapaian yang jelas. Dan setiap pemimpin yang terpilih terbiasa hanya menelurkan program-program yang bersifat instant, yang tidak menyentuh dan memperbaiki akar permasalahan. Sangat jarang ada pemimpin yang menggelar program yang bersifat komprehensif dan terintegrasi dengan baik.


Bagi seorang Politisi, politik untuk kekuasaan adalah tujuan, tempatnya menggantunkan hidup. Tidak demikian dengan karakter seorang Negarawan. Bagi seorang Negarawan, politik hanyalah media untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu aktualisasi diri dan sumbangsih dan pengabdiannya untuk membesarkan bangsa dan negaranya, sehingga kekuasan bukanlah sesuatu tujuan utama yang dikejar. Seorang Politisi menggantungkan hidup dari politik, tapi seorang Negarawan akan merasa ‘hidup’nya berguna dengan berpolitik. Perbedaan karakter dan tujuan hidup itulah yang membedakan etika dan jiwa besar antara politisi dan negarawan. Tujuan jangka pendek membuat seorang Politisi tidak dapat menerima setiap bentuk kekalahan dengan legowo. Padahal dalam setiap pertarungan pasti akan menyisakan hasil kalah dan menang yang sudah seharusnya disadari sejak awal.


Etika dan Jiwa Besar sejatinya mencerminkan karakter seseorang. Sehingga karakter dan tujuan seorang kandidat semestinya sudah dapat diterka dari etika dan jiwa besarnya dalam berpolitik.


Sudah saatnya negara ini memilih seorang Negarawan yang dapat membawa perubahan, kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pemilu untuk memilih pemimpin bangsa telah di depan mata. Maka akankah kita masih terperdaya pada janji-janji mereka yang hanya berkarakter politisi semata?

Pemimpin (Bukan) Saling Kritik



Akhir-akhir ini, para pemimipin kita kian jauh dari moral. Mereka terperangkap dalam perang propaganda. Kubu Yudhoyono mengklaim bahwa penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga tiga kali merupakan prestasi. Kubu Megawati membalasnya lewat iklan, itu bukan prestasi. Disebutkan, ”Rakyat Berhak Harga BBM Lebih Murah Lagi”. Iklan itu melengkapi pernyataan Megawati, rakyat diyoyo dan dibalas ”lebih baik bekerja ketimbang banyak bicara”.

Kedua kubu mengklaim, pernyataan lisan maupun iklan merupakan bentuk kritik. Padahal, jika dicermati, di sini tak terkandung unsur kritik yang dimaksud. Hakikat kritik bisa direnungkan dari pemikiran filsuf Driyarkara.

Driyarkara mengingatkan, yang dimaksud dengan kritik bukan tulisan, ucapan, atau perbuatan yang menjelek-jelekkan. Kritik adalah penilaian sehat berdasarkan alasan rasional tanpa sentimen dan sikap emosional. Yang menjadi obyek kritik adalah perbuatan manusia individu maupun manusia subyek kolektif.

Publik bisa menangkap, perang lisan maupun perang propaganda kedua pihak tak bisa menyembunyikan kandungan emosional. Siapa pun yang berbicara, dari mimik maupun gestur tubuh, menggambarkan emosi yang meletup-letup.

Alam demokrasi

Dalam alam demokrasi, kritik itu sesuatu yang lumrah. Rakyat bisa mengkritik pemimpinnya, sebaliknya rakyat bisa juga dikritik pemimpinnya. Bahkan, di jajaran pemimpin sendiri, sah saja untuk saling mengkritik. Entah itu pemimpin yang duduk di pemerintahan atau pemimpin politik yang ada di luar lingkaran kekuasaan. Apalagi oposisi, menyampaikan kritik merupakan ”kewajiban”. Saling lempar kritik menggambarkan keterbukaan demokrasi.

Para pemikir politik sering mengingatkan, di alam demokratis pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Atas tanggung jawab itu, rakyat wajib menilai, di antaranya mengadakan kritik. Inilah jalan menuju sebuah dialog, baik dialog vertikal (rakyat dan pemimpin) maupun dialog horizontal (antarpemimpin itu sendiri).

Ciri negara demokratis adalah adanya pemimpin dialogis, yakni mereka yang terbuka dan komunikatif. Dengan penuh kesabaran, pemimpin mau mendengar, bukan melulu menuntut didengar. Suara rakyat adalah inspirasi pemimpin sehingga tiap keputusan yang dibuat tetap menghormati peran warga negara. Suara oposisi layak dipertimbangkan, bukan dianggap hanya kesinisan pesaing yang kalah.

Driyarkara mengungkapkan, salah satu ciri pemimpin dialogis adalah terbuka terhadap kritik. Pemimpin dialogis selalu memperbaiki gaya kepemimpinannya berdasarkan kritik yang ada. Tujuan perbaikan itu adalah demi mendekatkan segala tindakannya dengan harapan rakyat.

”Language games”

Kritik mengikuti etika politik maupun tata krama berbahasa. Kritik yang ”manis” dikemas dalam language games. Istilah ini dikemukakan filsuf Ludwig Wittgenstein yang menyatakan, bahasa merupakan bagian dari kegiatan atau suatu bentuk kehidupan. Layaknya sebuah permainan, penggunaan bahasa mengikuti suatu aturan, di mana tak bisa sebebas-bebasnya tanpa aturan dimaksud.

Pada dasarnya, tak bisa dicampuradukkan antara penggunaan bahasa untuk kepentingan ilmiah dan kondisi santai. Bahasa untuk mengkritik tak bisa disamakan dengan bahasan kekesalan, apalagi sentimen. Kekacauan akan muncul jika diterapkan aturan permainan bahasa yang satu ke bentuk permainan lainnya. Dalam konteks ini, menjadi mustahil jika menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai konteks kehidupan manusia.

Etikus Franz Magnis-Suseno mengingatkan, dalam berpolitik dan berdemokrasi, tiap orang diyakini harus selalu berpegang teguh pada nilai moral dan etika (Kompas, 2/2). Ditegaskan Bernhard Sutor, etika politik sebenarnya tak melulu terkait dengan perilaku sang politikus. Etika politik memiliki tiga dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik. Atas dasar inilah etika politik berhubungan dengan praktik hukum, institusi sosial, hingga persoalan ekonomi.

Ketika politik mengikuti etika, niscaya segala kebaikan bisa diraih. Dalam dimensi tujuan terumuskan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai berdasarkan kebebasan serta keadilan. Kemudian, dalam dimensi aksi politik ini barulah peran pelaku menentukan sekali rasionalitas politik. Kata Sutor, rasionalitas politik itu mencakup kebijakan, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri.

Dari paparan itu bisa diketahui bahwa para pemimpin politik mengabaikan etika dan kurang ”manis” dalam mengkritik. Inilah yang mengakibatkan para pemimpin menganggap saling mengkritik yang sesungguhnya bukan kritik. Apa yang dilakukan para pemimpin kita adalah mencampuradukkan bentuk language games. Maksud hati mau mengkritik, yang keluar adalah olok-olok. Kemudian tercampur aduk emosinya. Justru emosi ini yang membimbing seseorang untuk menyerang lawan lewat bahasa (teks maupun lisan).

Akibatnya, khalayak sering dikejutkan dengan pola kritik yang kurang santun, vulgar, dan terkesan memojokkan. Disayangkan, para pemimpin memberi contoh buruk dalam melempar kritik. Tak ada solusi di balik kritik, tetapi sarat emosi. Dan, ini mengabaikan dimensi aksi politik, di mana perlu ada penguasaan diri.

Silakan masyarakat menilai, layakkah mereka itu menjadi pemimpin? Masyarakat selayaknya memakai logika untuk menangkap fenomena menyedihkan itu. Jangan sampai terperangkap dalam proyek pencitraan mereka sehingga bisa lebih rasional memilih pemimpin bangsa ini.

Etika Memilih Pemimipin



Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi taala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah, karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah dapat merusak "kesucian" politik.

Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan antarmanusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.

Kecuali itu, keberadaan masyarakat dan negara merupakan hal yang sangat penting dan mutlak dalam Islam. Karena itu, beberapa para ahli fikih politik Islam mengemukakan adalah suatu kewajiban bagi orang Islam untuk mendirikan negara. Dengan adanya negara bisa diciptakan sebuah keteraturan kehidupan masyarakat yang baik, sehingga pada gilirannya umat Islam bisa menyelenggarakan ibadah-ibadahnya dengan baik pula.

Bila hubungan antarmasyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dan muncul anarki yang sangat dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat mengganggu penyelenggaraan ibadah.



Etika memilih elite politik

Memilih seorang pemimpin alias mencoblos dalam pemilihan umum (pemilu) adalah hak setiap individu atau warga. Namun, menjelang pemilu 2009 ini, sebagian masyarakat mencoba melakukan pemboikotan pemilu. Gerakan boikot pemilu ini kemudian dikenal sebagai golongan putih atau golput. Fenomena golput bukan hal baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Gerakan golput sebenarnya telah dimulai pada pemilu 1971. Ketika itu, pemilu yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru tersebut diikuti 10 partai politik (parpol), yang justru "direstui" oleh rezim Soeharto. Dan, setelah pemilu 1971, jumlah parpol yang boleh hidup di dunia politik Indonesia menjadi 3 parpol: PPP, Golkar, dan PDI. Munculnya gerakan golput pada pemilu 1971 tersebut, karena pemerintah dianggap melanggar dan gagal dalam membangun asas-asas demokrasi.

Belakangan ini, ketika masyarakat Indonesia hendak menghadapi pesta demokrasi (pemilu) 2004, fenomena golput kembali dibicarakan.

Memang, sejak 1998 lalu, Indonesia telah mengalami beberapa perubahan menuju demokrasi. Partai politik didirikan dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, banyaknya partai politik itu tidak dibarengi dengan kualitas elite alias pemimpin politik, yang kemudian dikenal dengan gerakan antipolitisi busuk. Dan, golput pun kembali menjadi pilihan alternatif. Artinya, munculnya gerakan golput pada pemilu 2004 ini, karena masyarakat atau elite politik gagal memberikan alternatif pemimpin yang baik, jujur, dan akhlaqul karimah.

Yang menjadi masalah, kalau memang ada golput di dalam masyarakat, lalu kepada siapa kita menyerahkan urusan negara ini, dan mekanisme apa yang akan dilakukan dalam suatu pemilihan pemimpin? Dengan demikian, sebenarnya di dalam golput sendiri ada persoalan bagi masyarakat. Bahkan, tidak hanya golputnya yang menjadi masalah, tetapi ada yang lebih substansial, yaitu mekanisme apa yang bisa menyelamatkan negara untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, ketertiban politik, dan lain-lain.

Islam menyayangkan sikap-sikap golput atau tidak berpartisipasi dalam pemilihan pemimpin. Sebagai agama rahmatan lil 'alamin, Islam sangat mementingkan suatu kepemimpinan dalam sebuah negara. Bahkan, setelah Nabi Muhammad wafat timbul persoalan politik yang berkaitan dengan pergantian kepemimpinan. Mekanisme pemilihan pemimpin memang tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi SAW tidak memberikan pedoman khusus atau model-model kepemimpinan bagi umat Islam.

Selama beberapa tahun sepeninggal Rasulullah, umat Islam mengalami beberapa model kepemimpinan, antara lain, kepemimpinan model khilafah dan dinasti.

Belakangan ini, dinamika politik semakin berkembang, dan muncul bentuk-bentuk negara, seperti republik, aristokrasi, dan lain-lain. Dinamika politik yang luar biasa itu didorong oleh semangat teologi Islam, yang menyebutkan bahwa "Hai, orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS Al-Nisaa [4]:59).

Realitas politik dan adanya semangat teologi Islam tersebut mendorong para filosof dan para ahli etika politik Islam untuk membuat aturan-aturan pemilihan seorang pemimpin pemerintahan demi terwujudnya negara ideal dalam beberapa karya tulis. Misalnya, Al-Farabi dalam karyanya, Al-Madiinah Al-Faadhilah, Ibnu Maskawih dalam bukunya Tahziib Al-Akhlak, dan Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkaam Al-Shultaaniyah. Ini artinya, para pemikir Islam menyadari betapa Islam memperhatikan dalam menciptakan dan mengembangkan negara ideal.

Memasuki abad 20 ini, umat Islam tetap dan terus dituntut untuk mendirikan sebuah negara ideal. Untuk merealisasikan tuntutan itu, umat Islam dihadapkan pada beberapa pilihan sistem politik, antara lain demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu mekanisme untuk memilih seorang pemimpin. Meskipun beberapa negara Islam telah menjalankan proses demokrasi, dan belum berhasil, tetapi mekanisme demokrasi tetap diandalkan sebagai mekanisme yang baik. Sebab, di dalam mekanisme demokrasi terdapat sistem check and balance-nya, memperkuat civil society, mewujudkan good governance, taushiyah, dan lain yang, selalu berproses dan membutuhkan kesabaran, ketangguhan, dan lainnya untuk bisa maju ke depan.

Jahiliyah politik: melanggar etika

Secara sederhana, jahiliyah itu kita artikan sebagai sebuah kebodohan, bisa juga tidak peduli pada kebenaran. Dalam konteks situasi politik kita sekarang-dalam batas-batas tertentu, hal-hal yang bersifat jahiliyah itu memang sering terjadi di dalam dunia politik kita. Kebodohan dalam berpolitik terjadi, misalnya, menduduki kantor-kantor partai politik, melakukan kekerasan, tokoh politiknya asal main pecat kalau ada anak buahnya beda pendapat, atau tidak bermusyawarah dengan baik-padahal Islam mengajarkan, "Hendaknya kamu bermusyawarah di antara kamu. " Hal-hal tersebut cerminan jahiliyah.

Fenomena seperti itu memang susah kita elakkan, karena manusia memiliki hawa nafsu yang tidak terkendali yang menjadi bagian dari dirinya. Setiap orang bisa lebih dikuasai oleh hawa nafsunya, apalagi menyangkut politik dan berhubungan dengan kekuasaan. Ada kata-kata seorang politisi asal dari Inggris yang menyebutkan, bahwa the power tends to corrupt. Apalagi kalau kekuasaan itu absolut yang tidak bisa dikontrol dengan check dan balance, maka akan lebih merusak lagi.

Karena itulah maka sesuai dengan prinsip Islam, kita harus melakukan tausiyah bi al-haq wa bi al-shabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran). Apalagi pada masa sekarang, ada kecendrungan di dalam dunia politik kita, bahwa kita sering kehilangan kesabaran, yang bisa dalam bentuk tindakan anarkis, golput, tidak mau memilih dalam pemilu. Hal-hal tersebut menggambarkan realitas jahiliyah dalam politik kita.

Realitas jahiliyah politik bisa dapat kita lihat dari adanya sekelompok orang yang menginginkan adanya satu partai tunggal bagi umat Islam. Keinginan itu tidak mungkin bisa terjadi dan terwujud dalam politik kita. Pada masa-masa awal Islam saja, kita melihat adanya kelompok Muhajirin dan Anshar yang bertentangan dalam pemilihan siapa yang menjadi pemimpin setelah Nabi wafat. Pengelompokan itu harus kita sikapi sebagai suatu sunnatullah. Yang penting adalah penyikapan secara bijak, toleran, dan tidak hanya memandang hizb (partai/golongan) kita sendiri sebagai yang paling baik, benar, yang bisa mengantarkan ke surga. Wallahu a'lam.

Senin, 23 Maret 2009

Tentang Kisah Israiliyat



Israiliyat adalah berita-berita yang diambil dari Bani Israil, Yahudi (kebanyakannya) atau dari kalangan orang-orang Nashrani.

Berita-berita ini terbagi menjadi 3 kategori:

Pertama, Berita Yang Diakui Islam Dan Dibenarkannya (Ini adalah haq)

Contohnya, seperti yang diriwayatkan al-Bukhari dan periwayat selainnya, dari Ibn Mas’ud RA, ia berkata, “Seorang rabi Yahudi datang menemui Nabi SAW seraya berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami menemukan bahwa Allah SWT menjadikan seluruh langit di atas satu jari, seluruh bumi di atas satu jari, pepohonan di atas satu jari, air dan tanah di atas satu jari dan seluruh makhluk di atas satu jari, lalu Dia berfirman, ‘Akulah al-Malik (Raja Diraja).’ Rasulullah SAW tertawa mendengar hal itu hingga tampak gigi taringnya membenarkan ucapan sang rabi tersebut, kemudian beliau membaca ayat, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.az-Zumar:67)

Kedua, Berita Yang Diingkari Islam Dan Didustakannya (Ini adalah bathil)

Contohnya, seperti yang diriwayatkan al-Bukhari, dari Jabir RA, ia berkata, “Orang-orang Yahudi mengatakan, ‘bila suami menyetubuhi isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir bermata juling.’ Lalu turunlah firman Allah SWT, “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS.al-Baqarah:223)

Ketiga, Berita Yang Tidak Diakui Islam dan Tidak Pula Diingkarinya (Ini wajib untuk berhenti membicarakannya)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Ahli Kitab biasanya membaca taurat dengan bahasa Ibrani lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada umat Islam. Maka Rasulullah SAW berkata, ‘Janganlah kalian benarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya tapi katakanlah (firman Allah SWT), ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.’” (QS.al-‘Ankabut:46)

Tetapi berbicara mengenai jenis ini dibolehkan bila tidak khawatir membuahkan larangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku, sekali pun satu ayat, dan berbicaralah mengenai Bani Israil sesukamu. Barangsiapa yang mendustakanku secara sengaja, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.al-Bukhari)

Kebanyakan berita yang diriwayatkan dari mereka tersebut tidak banyak manfa’atnya bagi kepentingan agama seperti penentuan apa warna anjing Ashaabul Kahfi dan sebagainya.

Ada pun bertanya kepada ahli kitab mengenai sesuatu dari ajaran agama kita, maka hal itu haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian tanyakan kepada ahli kitab mengenai sesuatu pun sebab mereka tidak bisa memberi hidayah kepada kalian sementara mereka sendiri telah sesat. Jika kalian lakukan itu, berarti (antara dua kemungkinan-red.,) kalian telah membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Sesungguhnya, andaikata Musa masih hidup di tengah kalian, pastilah ia akan mengikutiku.’”

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA, bahwasanya ia berkata, “Wahai kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian bertanya kepada ahli kitab padahal kitab yang Allah turunkan kepada nabi kalian itu adalah semata-mata informasi paling baru mengenai Allah yang tidak pernah lekang. Allah telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab telah mengganti kitabullah dan merubahnya lalu menulisnya dengan tangan mereka sendiri. Lalu mereka mengatakan, ‘Ia berasal dari Allah agar mereka membeli dengannya harga yang sedikit. Tidakkah melalui ilmu yang dibawa-Nya, Dia melarang kalian untuk bertanya kepada mereka (ahli kitab)? Demi Allah, kami sama sekali tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian mengenai apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Sikap Ulama Terhadap Israiliyat

Para ulama, khususnya ahli tafsir berbeda pendapat mengenai sikap terhadap Israiliyat ini:

1. Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dengan dirangkai dengan sanad-sanadnya. Pendapat ini berpandangan bahwa dengan menyebut sanadnya, berarti ia telah berlepas diri dari tanggung jawab atasnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir ath-Thabari.

2. Di antara mereka ada yang memperbanyak berbicara tentangnya dan biasanya menanggalkan sama sekali sanad-sanadnya. Ini seperti pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir ats-Tsa’alabi. Hanya saja, al-Baghawi memproteksinya dari dimuatnya hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat yang dibuat-buat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebut ats-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari di mana ia menukil apa saja yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir baik yang shahih, dha’if mau pun yang mawdhu’ (palsu).

3. Di antaranya mereka ada yang banyak sekali menyinggungnya dan mengomentari sebagiannya dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya seperti yang dilakukan Ibn Katsir.

4. Di antara mereka ada yang berlebih-lebihan di dalam menolaknya dan tidak menyebut sesuatu pun darinya sebagai tafsir al-Qur’an seperti yang dilakukan Muhammad Rasyid Ridha.

(SUMBER: Ushuul Fit Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.53-55)