Selasa, 24 Maret 2009

Berjiwa Besar Dalam Memilih


Inaugurasi Barrack Obama sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat ke 44 telah usai. Namun ada yang tetap menarik perhatian saya dari pesta demokrasi yang berlangsung di negeri Paman Sam itu. Jiwa besar yang mereka tunjukkan saat nama yang keluar sebagai ‘pemenang’ diumumkan dengan resmi sungguh membuat kagum. Walaupun saat kampanye, setiap kandidat bertarung habis-habisan, ketika keluar sang juara maka yang kalahpun dengan legowo memberi ucapan selamat. Tidak sekedar ucapan selamat saat perhitungan akhir suara telah keluar, tapi juga menunjukkan kebesaran jiwanya dengan hadir pada acara inaugurasi. Tidak ada wajah-wajah masam yang ditunjukkan selama acara berjalan. Semua tampak ikhlas dan gembira menyaksikan presiden terpilih mengucapkan sumpah janjinya kepada negara.


Etika para kandidat di ‘medan perang’pun menunjukkan sebuah peradaban cukup tinggi. Saat debat terbuka, mereka saling ‘menjatuhkan’ lawan dengan elegan, menggunakan fakta dan data serta mengemukakan keunggulan program yang ditawarkan secara jelas dan rinci. Beberapa kali memang terlihat adanya beberapa bentuk ‘black campaign’ yang tak terhindarkan. Mungkin dalam sebuah pertarungan tingkat tinggi seperti ini, tekanan yang demikian besar membuat emosi sempat ‘’terlepas’’ sejenak dari kontrol akal sehat. Tapi dengan cepat kritik rakyat lewat media mengembalikan akal sehat mereka untuk kembali beretika. Sehingga begitu masa kampanye berakhir, tidak ada lagi saling serang dan saling tuding (apalagi ‘black campaign’) yang ditujukan untuk menjatuhkan sang pemimpin pilihan rakyat. Sungguh menyenangkan melihat jalannya proses demokrasi yang demikian beradab.


Bagaimana dengan proses pesta demokrasi di republik ini? Dengan masgul terpaksa saya katakan masih jauh dari peradaban. Setiap kandidat berupaya menjatuhkan kredibilitas lawan dengan segala cara, mulai dari cara halus hingga kasar, yang elegan hingga ‘kampungan’, yang masuk akal dilengkapi data factual hingga emosional semata. Jalannya kampanye juga acap diwarnai dengan kericuhan, bahkan hingga berakhir dengan tawuran dan pertarungan antar massa pendukung masing-masing kandidat. Kekerdilan jiwa tidak hanya ditunjukkan kepada lawan tanding saja. Kritik rakyat hampir selalu dicurigai dan disikapi sebagai sebuah ancaman ketimbang masukan. Sehingga reaksi yang diberikan kerap berdasarkan emosi di luar batas. Tak jarang walau pesta demokrasi telah lewat, para mantan kandidat tetap berseteru, enggan bertegur sapa. Sikap mereka lebih mirip tingkah ‘anak kecil’ ketimbang seorang pemimpin. Kenapa bisa demikian? Kenapa proses demokrasi di republik ini sulit untuk berlangsung dengan beradab? Apa yang salah dengan budaya politik di negara ini?


Tampaknya budaya politik tidak legowo yang dianut hampir seluruh politisi bangsa ini disebabkan karena setiap kandidat yang kalah dalam pertarungan politik merasa seakan-akan kekalahan itu telah menghancurkan hidupnya. Sehingga seakan-akan rival mereka telah mematikan masa depannya. Bahkan kerap dimaknai sebagai penghancuran sebuah ‘dinasti’ politik yang telah dibangun turun temurun.


Hal ini dikarenakan sebagian besar politisi negara ini menggantungkan hidup dan masa depannya pada jabatan politik, menjadikan politik sebagai lahan mencari nafkah. Mereka hidup dari berpolitik dan bukan menjadikan politik sebagai media untuk mengaktualisasikan kemampuan diri serta menyumbangkan kemampuan dan keahlian demi kemajuan bangsa dan negara.


Dalam materi kampanye, hampir seluruh partai politik di republik ini hanya menyentuh aspek-aspek emosional dan fanatisme masyarakat dalam upaya meraih simpati. Sehingga tidak ada proses pembelajaran politik bagi rakyat negeri ini oleh para politisinya. Kurangnya penguasaan partai politik akan strategi dan pengetahuan berkampanye yang tepat sasaranpun kerap membuat materi kampanye menjadi boomerang.


Partai politik tidak memperhitungkan berkembangnya aspek-aspek intelektualitas masyarakat serta menguatnya civil society di beberapa elemen masyarakat. Peran Partai Politik justru kerap ‘meninabobokkan’ masyarakat dengan menumbuhsuburkan aspek-aspek fanatisme dan emosionalitas tak berdasar, sehingga tingkat kesadaran dan kecerdasan berpolitik masyarakat tidak berkembang.


Sementara di Amerika Serikat, walaupun penyentuhan aspek-aspek emosional memang tidak mungkin dihindarkan sama sekali, namun tetap mempertimbangkan kemampuan intelektualitas masyarakat yang meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga setiap partai politik dan kandidat telah siap menyodorkan program dan konsep yang jelas dan terinci dalam setiap kampanyenya (baik pada saat debat maupun dalam bentuk materi iklan). Kondisi ini membuat masyarakat terbiasa menilai pilihan yang dianggap baik, yang dapat memajukan bangsa dan negaranya lewat program-program yang dirasakan paling tepat.


Sebuah negara semaju Amerika Serikatpun dapat ‘salah memilih’ pemimpin bangsa. Seperti saat mereka terpaksa menelan kepahitan yang harus dituai sebagai hasil kepemerintahan Presiden George W Bush. Namun masyarakat di sana dengan cepat belajar untuk mencari sebab dan akar permasalahan yang menjadi dasar pertimbangan mereka untuk mencari sosok yang tepat, yang menawarkan konsep yang kuat sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan paling mendesak. Masyarakat yang belajar dengan cepat untuk menurunkan kadar fanatisme dan emosionalitas saat memilih, membuat Obama yang sempat mendapat ‘cibiran’ karena berasal dari golongan minoritas kulit hitam mendapat peluang untuk terpilih sebagai Presiden Afro-American pertama. Sikap partai politik juga mendukung berlangsungnya system demokrasi yang fair dan transparan yang membantu meningkatkan kesadaran dan kecerdasan berpolitik masyarakat.


Di republik ini, aspek transparansi justru kerap dihindarkan dan disamarkan. Perihal sumbang menyumbang dana kampanye adalah sebuah contoh nyata dari rendahnya kesadaran akan pentingnya transparansi. Tampak hal ini tidak lepas dari dasar berpikir yang melandasinya.


Pada hakikatnya menyumbang untuk sebuah kegiatan kampanye politik, selama dilakukan dengan jelas, transparan dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan adalah sah dan hak politik setiap warga negara. Adanya sumbangan politik yang jelas dan transparan, justru akan menggairahkan kehidupan berpolitik yang sehat dan mempersempit terjadinya transaksi politik dalam bentuk money politics. Tentu harus ada aturan yang jelas dalam pemberian sumbangan politik, seperti pencatatan donatur pemberi sumbangan dan besarnya sumbangan yang diberikan.


Penetapan plafon atas jumlah sumbangan juga diperlukan agar terhindar dari kewajiban ‘’hutang budi’’ pada pihak-pihak yang merasa telah menjadi penyandang dana terbesar, membuat sumber dana menjadi lebih proporsional. Kampanye Obama yang baru berlalu memberi gambaran yang cukup baik. Sekitar 90 % dama kampanye Obama berasal dari masyarakat secara individual dengan ambang batas yang telah ditetapkan.


Dalam sebuah system dan etika politik dimana fungsi control, prosedur checks & balances serta aturan-aturan main sudah jelas diatur dalam peraturan maupun perundang-undangan, maka setiap pelanggaran yang terjadi akan langsung mendapat hukuman dari rakyat. Hal ini terlihat pada system politik di Amerika Serikat, saat Gubernur Illinois memperjualbelikan kursi senator yang ditinggalkan oleh Barrack Obama, langsung mendapat reaksi keras dari rakyat dan media serta tindakan impeachment oleh parlemen setempat.


Dalam masyarakat dengan system politik yang sudah tertata dengan baik (well designed), telah terbangun kesadaran dan budaya berpolitik dengan pemahaman yang memadai. System politik yang menjamin kepastian dan transparansi membuat masyarakat yakin bahwa setiap sumbangan yang mereka berikan digunakan semata-mata untuk menggerakkan mesin demokrasi, yang akan kembali dalam bentuk peningkatan kemaslahatan seluruh rakyat.


Di negara ini, uang beredar menjelang kampanye dan pemilu begitu besar, tanpa ada kejelasan tujuan penggunaan dan pencatatan sumber dana yang transparan. Menurut seorang narasumber di sebuah talkshow politik, hingga saat ini dana yang telah digelontorkan para kandidat maupun partai-partai politik yang akan bertarung di pemilu tahun 2009, hanya untuk biaya iklan saja sudah mendekati 2,1 trilyun rupiah. Bahkan dalam tingkat pilkadapun, jumlah uang yang dikucurkan untuk mendanai kampanye para kandidat bisa mencapai 1/5 dari pendapatan daerah tersebut selama setahun, sebagaimana terjadi pada pilkada di Jawa Timur baru lalu.


Sebagian besar dana kampanye di republik ini lebih sering ditujukan untuk sekedar membeli suara rakyat bagi proses pemenangan kandidat. Dana kampanye yang seharusnya ditujukan untuk menggerakkan mesin demokrasi justru hanya menjadi alat transaksi politik, dengan tujuan jangka pendek meraih kemenangan. Setiap donatur memberi sumbangan politik dalam kerangka kepentingan individual. Sehingga setiap sumbangan yang diberikan selalu dimaknai sebagai pengembalian secara personal, yang justru membunuh semangat dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, penerima sumbangan yang terpilih, hampir dipastikan terikat dan terbebani dengan kewajiban ‘’balas budi’’ berupa pengembalian sumbangan kepada pemberi sumbangan, baik dalam bentuk natura maupun privilege atas sejumlah usaha.


Kondisi dan kenyataan tidak siapnya system politik yang mendukung berjalannya proses demokrasi yang fair dan transparan inilah yang membuat para kandidat tidak memiliki etika dan jiwa besar dalam menghadapi hasil yang diperoleh. Sungguh disayangkan karena negara ini justru memerlukan para pemimpin yang berkharisma, yang ditunjukkan lewat etika yang beradab. Tampaknya hal ini terjadi karena hampir seluruh kandidat yang terjun dalam kancah percaturan politik hanyalah memiliki karakter politisi semata.


Seorang yang hanya memiliki karakter sebatas politisi umumnya hanya mempunyai target jangka pendek, sekedar pemenangan pemilu untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini membuat kandidat yang bertarung tidak pernah siap dengan program dan konsep yang kuat dan terinci dengan arah pencapaian yang jelas. Dan setiap pemimpin yang terpilih terbiasa hanya menelurkan program-program yang bersifat instant, yang tidak menyentuh dan memperbaiki akar permasalahan. Sangat jarang ada pemimpin yang menggelar program yang bersifat komprehensif dan terintegrasi dengan baik.


Bagi seorang Politisi, politik untuk kekuasaan adalah tujuan, tempatnya menggantunkan hidup. Tidak demikian dengan karakter seorang Negarawan. Bagi seorang Negarawan, politik hanyalah media untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu aktualisasi diri dan sumbangsih dan pengabdiannya untuk membesarkan bangsa dan negaranya, sehingga kekuasan bukanlah sesuatu tujuan utama yang dikejar. Seorang Politisi menggantungkan hidup dari politik, tapi seorang Negarawan akan merasa ‘hidup’nya berguna dengan berpolitik. Perbedaan karakter dan tujuan hidup itulah yang membedakan etika dan jiwa besar antara politisi dan negarawan. Tujuan jangka pendek membuat seorang Politisi tidak dapat menerima setiap bentuk kekalahan dengan legowo. Padahal dalam setiap pertarungan pasti akan menyisakan hasil kalah dan menang yang sudah seharusnya disadari sejak awal.


Etika dan Jiwa Besar sejatinya mencerminkan karakter seseorang. Sehingga karakter dan tujuan seorang kandidat semestinya sudah dapat diterka dari etika dan jiwa besarnya dalam berpolitik.


Sudah saatnya negara ini memilih seorang Negarawan yang dapat membawa perubahan, kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pemilu untuk memilih pemimpin bangsa telah di depan mata. Maka akankah kita masih terperdaya pada janji-janji mereka yang hanya berkarakter politisi semata?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar