Selasa, 24 Maret 2009

Pemimpin (Bukan) Saling Kritik



Akhir-akhir ini, para pemimipin kita kian jauh dari moral. Mereka terperangkap dalam perang propaganda. Kubu Yudhoyono mengklaim bahwa penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga tiga kali merupakan prestasi. Kubu Megawati membalasnya lewat iklan, itu bukan prestasi. Disebutkan, ”Rakyat Berhak Harga BBM Lebih Murah Lagi”. Iklan itu melengkapi pernyataan Megawati, rakyat diyoyo dan dibalas ”lebih baik bekerja ketimbang banyak bicara”.

Kedua kubu mengklaim, pernyataan lisan maupun iklan merupakan bentuk kritik. Padahal, jika dicermati, di sini tak terkandung unsur kritik yang dimaksud. Hakikat kritik bisa direnungkan dari pemikiran filsuf Driyarkara.

Driyarkara mengingatkan, yang dimaksud dengan kritik bukan tulisan, ucapan, atau perbuatan yang menjelek-jelekkan. Kritik adalah penilaian sehat berdasarkan alasan rasional tanpa sentimen dan sikap emosional. Yang menjadi obyek kritik adalah perbuatan manusia individu maupun manusia subyek kolektif.

Publik bisa menangkap, perang lisan maupun perang propaganda kedua pihak tak bisa menyembunyikan kandungan emosional. Siapa pun yang berbicara, dari mimik maupun gestur tubuh, menggambarkan emosi yang meletup-letup.

Alam demokrasi

Dalam alam demokrasi, kritik itu sesuatu yang lumrah. Rakyat bisa mengkritik pemimpinnya, sebaliknya rakyat bisa juga dikritik pemimpinnya. Bahkan, di jajaran pemimpin sendiri, sah saja untuk saling mengkritik. Entah itu pemimpin yang duduk di pemerintahan atau pemimpin politik yang ada di luar lingkaran kekuasaan. Apalagi oposisi, menyampaikan kritik merupakan ”kewajiban”. Saling lempar kritik menggambarkan keterbukaan demokrasi.

Para pemikir politik sering mengingatkan, di alam demokratis pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Atas tanggung jawab itu, rakyat wajib menilai, di antaranya mengadakan kritik. Inilah jalan menuju sebuah dialog, baik dialog vertikal (rakyat dan pemimpin) maupun dialog horizontal (antarpemimpin itu sendiri).

Ciri negara demokratis adalah adanya pemimpin dialogis, yakni mereka yang terbuka dan komunikatif. Dengan penuh kesabaran, pemimpin mau mendengar, bukan melulu menuntut didengar. Suara rakyat adalah inspirasi pemimpin sehingga tiap keputusan yang dibuat tetap menghormati peran warga negara. Suara oposisi layak dipertimbangkan, bukan dianggap hanya kesinisan pesaing yang kalah.

Driyarkara mengungkapkan, salah satu ciri pemimpin dialogis adalah terbuka terhadap kritik. Pemimpin dialogis selalu memperbaiki gaya kepemimpinannya berdasarkan kritik yang ada. Tujuan perbaikan itu adalah demi mendekatkan segala tindakannya dengan harapan rakyat.

”Language games”

Kritik mengikuti etika politik maupun tata krama berbahasa. Kritik yang ”manis” dikemas dalam language games. Istilah ini dikemukakan filsuf Ludwig Wittgenstein yang menyatakan, bahasa merupakan bagian dari kegiatan atau suatu bentuk kehidupan. Layaknya sebuah permainan, penggunaan bahasa mengikuti suatu aturan, di mana tak bisa sebebas-bebasnya tanpa aturan dimaksud.

Pada dasarnya, tak bisa dicampuradukkan antara penggunaan bahasa untuk kepentingan ilmiah dan kondisi santai. Bahasa untuk mengkritik tak bisa disamakan dengan bahasan kekesalan, apalagi sentimen. Kekacauan akan muncul jika diterapkan aturan permainan bahasa yang satu ke bentuk permainan lainnya. Dalam konteks ini, menjadi mustahil jika menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai konteks kehidupan manusia.

Etikus Franz Magnis-Suseno mengingatkan, dalam berpolitik dan berdemokrasi, tiap orang diyakini harus selalu berpegang teguh pada nilai moral dan etika (Kompas, 2/2). Ditegaskan Bernhard Sutor, etika politik sebenarnya tak melulu terkait dengan perilaku sang politikus. Etika politik memiliki tiga dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik. Atas dasar inilah etika politik berhubungan dengan praktik hukum, institusi sosial, hingga persoalan ekonomi.

Ketika politik mengikuti etika, niscaya segala kebaikan bisa diraih. Dalam dimensi tujuan terumuskan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai berdasarkan kebebasan serta keadilan. Kemudian, dalam dimensi aksi politik ini barulah peran pelaku menentukan sekali rasionalitas politik. Kata Sutor, rasionalitas politik itu mencakup kebijakan, keadilan, keberanian, dan penguasaan diri.

Dari paparan itu bisa diketahui bahwa para pemimpin politik mengabaikan etika dan kurang ”manis” dalam mengkritik. Inilah yang mengakibatkan para pemimpin menganggap saling mengkritik yang sesungguhnya bukan kritik. Apa yang dilakukan para pemimpin kita adalah mencampuradukkan bentuk language games. Maksud hati mau mengkritik, yang keluar adalah olok-olok. Kemudian tercampur aduk emosinya. Justru emosi ini yang membimbing seseorang untuk menyerang lawan lewat bahasa (teks maupun lisan).

Akibatnya, khalayak sering dikejutkan dengan pola kritik yang kurang santun, vulgar, dan terkesan memojokkan. Disayangkan, para pemimpin memberi contoh buruk dalam melempar kritik. Tak ada solusi di balik kritik, tetapi sarat emosi. Dan, ini mengabaikan dimensi aksi politik, di mana perlu ada penguasaan diri.

Silakan masyarakat menilai, layakkah mereka itu menjadi pemimpin? Masyarakat selayaknya memakai logika untuk menangkap fenomena menyedihkan itu. Jangan sampai terperangkap dalam proyek pencitraan mereka sehingga bisa lebih rasional memilih pemimpin bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar