Selasa, 14 April 2009

Pembagian Hukum Dalam Islam

PEMBAGIAN HUKUM SYARI’AH
A. HUKUM TAKLIFI Yaitu tuntutan Allah yang berkaitan degan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalknannya.
1.Wajib ( tebagi 4 )
1.wajib dari segi waktu ( muasa’ dan mudoyyak ) co. sholat dan kifarat
2.wajib dari segi perintah melaksanakan ( ain dan kifayah ) co. sholat pardu dan
mengurus jenazah
3.wajib dari segi ukuran ( muhaddad (terbatas atau sudah ditentukan kadarnya )dan ghoir muhaddad ) co. zakat, rakaat solat,,,,, tolong menolong, sodaqoh, dll
4.wajib muayyan ( tertentu ) dan Mukhayyar ( memilih ) co. solat, puasa,,,,kifarat

2.Mandub/ Sunnah/ Mustahab ( terbagi 3 )
1.sunnah muakadah (diutamakan). Co. shlata jamaah, azan, surat setelah alfatihah dll/
2.sunnah zaidah atau nafilah. Co. puasa senin kamis, sodaqoh, solat sunah dll.
3.sunnah mustahab, adab, atau fadlilah ( pelengkap ) co. perbuatan rasul yg manusiawi co. cara tidur, berpaiakaun dll.

3.Haram ( terbagi 2 )
1.haram lidzatihi ( semula, asal ). Co. zina, mencuri, dll.
2.Haram karena sesuatu yg baru( Lighoirihi / Aridi ). Co. jual beli dg penipuan,
menikah u/ menyakiti. dll
4.Makruh ( dibenci ) Co. sikat gigi waktu puasa, dll.
5.Mubah ( boleh mengerjakan atau meninggalkan ) Co. tidur dikasur, makan di piring, minum apaki gelas. dll


B.HUKUM WADH’I adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atausebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut..
1. Sebab ( sesuatu yg dijadikan indikasi adanya sesuatu yg lain yg menjadi akibat , sekalogus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab.
Co. adanya perintah shalat sebagai sebab ( menyebabkan ) wajibnya wudlu. Qs almaidah : 6.
Adanya pencurian sebagai sebab kewajiban mempotong tanga ( QS Al MAidah : 38 )
Adanya pergeseran waktu sebagai sebab wajibnya shalat pardu. ( QS Al Isra : 78 )
Terlihatnya bulan pada awal bulan ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa pada awal bulan itu. ( QS 2: 185)
2. Syarat ( sesuatu yg ada atau tidak adanya hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya sesuatu itu.
Co. adanya hubungan suami istri menjadi syarat sahnya menjatuhkan thalaq.
Wudu menjadi syarat sahnya shalat.
3. Mani’ ( Penghalang ) sesuaatu yang dapat menyebabkan tidak adanya atau membatalkan sebab.
Co. seorang ahli waris terhalang mendapatkan waris karena beda agama.
Hukum qissos terhalang karena pembunuhnya adalah bapaknya.
4. Rukhshoh ( keringanan ) dan Azimah ( hukum semula yg tidak dukhusukan pd kondisi atau mukalaf ) terbagi 3

1. boleh meninggalkan kewajiban ketika ada uzur kesulitan dalam melaksanakannya.
Co. yg sakit atau dalam perjalanan ketika puasa ( QS 2: 184 ). Mengkosor sholat ( QS 4: 101 )
2.membenarkan sebagian akad yg menjadi pengecualian. Co. Karena menjadi kebutuhan manusia, salam ( akad jual beli yg belum ada barangnya dan hanya menyebutkan sifat dan ukurannya ) asalnya haram menjadi boleh. Sesuai hadits arasul saw.
3. . menghapus hukum yg telah ditetapkan karena akan menjadi beban umat muihammad saw. Co.
keharusan memotong yg terkena Nazis, menuneikan zakat ¼ harta, membunuh jiwa untuk bertobat dari maksiat, tidak boleh shalat kecuali di masjid. Dll.

5. Benar dan Batal ( suatu penilaian syara’ dari perbuatan mukalaaf jika sesuai sraya’ maka benar dan jika tidak sesuai syara’ maka batal )

Hukum taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan degan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalknannya.
1.Wajib
2.Mandub/ Sunnah/ Mustahab
3.Haram
4.Makruh
5.Mubah

Hukum Wad’I adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atausebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut..
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’ ( Penghalang )
4. Rukhshoh dan Azimah
5. Benar dan Batal



2.Al Hakim ( yang menetapkan sumber hukum syara bg seluruh tindakan mukallaf adalah Allah SWT ) ( QS : 6 : 57 ) masalah : apa yang dipakai u/ mengetahu hukum Allah.

Ada 3 pendapat :
1. Madzhab As’ariyyah ( akal manusia bias mengetahui hukum Allah lewat mediaotor Rasul dan kitab Allah. ) tolak ukur baik dn buruk adlah hukum syara’ bukan akal.
2. Madzhab Mu’tazilah( akalmanusia mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa mediator Rasul dan kitab yg dibawanya. ) sebab setiap erbuatan mukallaf mengandung sifat dan akibat yg membuat akal mampu mengambil keputusan positif dan negatif
3. Madzhab Amturidiyyah. ( jalan tengah ) sepakat dg mu’tajilah bahwa perbuatan baik atau buruk itu termasuk sesuatu yg terjangjkau leh akal mengenai manfaat dan madaratnya, tetapi mereka berbeda dg mu’tajilah mengenai hukum Allah harus seuai dg akal. ) dan mereka sependapat dg As’ariyyah bahwa hukum allah tidak bias diketahui melainkan melalui RAsul dan kitabnya. Mereka juga berbeda pendapat dg as’ariyyah bahwa baik buruknya perbuatan itu bersifat syara’ bukan rasio.menurut mereka , bahwa masalah kebaikan itu bias dijangkau oleh akal, lantaran apa-apa yg ada pada kejelekan mengandung kemadaratan walaupun tidak diungkapkan dlam syara’

3. MAHKUM FIH ( Perbuatan Mukalaf ) yg dihubungkan dg hukum syara
QS Al Maidah : 1 ) ayat tersebut berhubungan dg perbuatan mukallaf yaitu memenuhi janji.hukumnya wajib.
QS 2 : 282 ) hukum sunnah untuk mencatat hutang piutang.
QS 2 : 267 ) Hukum makruh menginfakkan harta yg jelek-jelek.
QS 2 : 184 ) hukum Mubah bagi yg sakit atau perjalanan untuk buka waktu puasa.
Tuntutan syara thdp perbuatan mukallaf menjadi sa apabila memnuhi 3 syarat :
1.perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menuenikan tuntutan itu sesuai dg yg diperintahkan.
2.harus diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yg mempunyai wewenang menuntt hukum, atau dari orabng yg harus diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf.
3perbuatan yg dituntut adalah perbuatan yg mungkin dilakukan atau ada potensi bagi mukallaf untuk mengerjakan atau menolaknya.


4.MAHKUM ALAIH ( Mukalaf )

Dalam syara’ sahnya memberikan beban kepada mukallaf disyaratkan 2 hal :
1.sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklifi ( pembebanan ), yakni harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al Qur’an dan as sunnah, baik yg langsung mapun melalui perantara. Sebab orang yg tidak mampu memamhami dalil – dalil taklif tidak akan dapat mengikuti apa yg dibebankan kepadanya dan tidak memahami maksdunya.
Maka barang siapa yg telah mencapaitingkat dewasa tanpa menampakan sifat0-sifat yg merusak akalnya, berarti dia telah sempurna padanya kemampuan untuk diberi beban. Atas dasar itu orang gila dan anak-anak tidak bias memamahami apa yg dibebankan. Demikian pula orang yg tidur , lupa dan mabuk.

Rasul bersabda:
Diangkat pena itu ( tidak dicatat amal manusisa ) ari 3 orang : orang y tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa. Dan orang gila hingga ia berakal.
2.Mukallaf harus orang yang ahli dengan sessuatu yag dibebankannya. Penertian ahli secara etimologi ialah mempunyai kelayakan untuk menerima beban.
Menurut ulama ushul , Ahli ( layak ) itu terbagi 2 ( ahli wajib dan ahli melaksanakan ( ada )
1.Ahliyyatul wujub ( ahli wajib ) ialah kelayakan seseorang disebabkan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya. Dasar kelayakan ini adanya karakteristik tertentu yg diciptakan Allah swt kepada manusia dan menjadi spesifikasi diantara berbagai macam binatang.
2.Ahliyyatul ada’a ( ahli melaksanakan ) ialah kelayakan diberi beban sehingga seseorang dianggap pantas menurut syara’ baik ucapan maupun perbuatannya. Dimana apabila ia m,elaksakana shalat, puasa dan sebagainya maka menurut syara semuanya dianggap sah dan dapat menggugurkan kewajibannya. Demikian pula jika ia melakukian tindak pidana kepada orang lain, baik menyangkut jiwa, harta maupun kehrmatan , maka ia dapat diujatuhi hukuman sewsuai perbuatannya.
Jadi ahli ada’a ialah kemapuan mempertanggungjawabkan perbuatannnya dan kemampuan membedakan sesuatu dengan akalnya.

Berkenaan dengan MAHKUM ALAIH ( Mukalaf ), maka ada ‘Awaridhul Ahliyyah ( penghalang-penghalang keahliyyan )

Yaitu penghalang keahlian seseorang untuk melaksanakan kketentuan syar’I sehingga seoarang manusia tidak mengerjakan ketentuan atau mendapat keringanan.

Penghalang – penghalang keahliyyan
1.penghalang yg dating dan menghalangi sama sekali ahliyyatul ada’a co. gila, tidur , pingsan dan hilang akal. Orang ini tidak sah perjanjinannya, pengelolaanya, dan tidak ada tuntutan apa yg ditinggalkan atau dikerjakannya.
2.penghalang yg dating yang tidak menghilangkan keahliah sama sekali, co sifat kurang akal, . orang yg kurang akalnya ini sebagian perjanjian dan pengelolaanya dapat dianggap sah , namun sebagian lainnya tidak sah, misalnya terjadi pada anak laki-laki remaja.
3.penghalang yng dating kepada manusia tetapi tidak mempengaruhi, mengurangi, menghilangkan keahlian. Akan tetapi mengubah sebagian hukum-hukumnya, karena ada anggapan dan keeuntungan yg mengehndaki perubahan ini misalnya ketidak tahuan dan lupa.

Sumber :
DR. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Gema Risalah Press. Jkt. cet. 2 . th 1997
Drs. HM . Suparta, Fiqih MA kurikulum 2004. kelas 3. Toha Putra


Pengantar Usul Fiqh

Pengantar Ushul Fiqh

“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)

Definisi Ushul Fiqh

Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.

Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya

Al-Ushul

Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)

Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti

  1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibanya shalat lima waktu adalah firman allah dan sunnah rasul.

    dalil, misalnya: para ulama mengatakan:

    أصل هذا الحكم من الكتاب آية كذا

    (Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).

  2. Qa’idah, yaitu suatu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad saw:”Buniyal islam ’ala khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul(fondasi atau dasar)”
  3. Rajih, yaitu yang terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:”Al-Ashlu fil kalaam al-haqiqah”. Artinya:”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
  4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
  5. Far’u, seperti perkataan ulama ushul:”Al-waladu far’un lilabi” artinya:”Anak adalah cabang dari ayah” Al-Ghazali,1:5

Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.

Al-Fiqh

الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له

Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.

Menurut istilah para ulama:

الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).

Penjelasan Definisi

الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا

Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.

Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.

Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.

Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.

Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).

Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.

Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).

Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang bersifat praktis.

Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu

Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:

معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد

(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).

Penjelasan Definisi

Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya.

Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.

Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan:

العلم بالقواعد الكلية التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية

(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).

Penjelasan Definisi

Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.

Contoh kaidah umum:

الأصل في الأمر للوجوب

(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 43:

((وآتوا الزكاة))

(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang sejenis.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.

Cakupan Ushul Fiqh

Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:

  1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
  2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
  3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
  4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
  5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.

Tujuan Ushul Fiqh

غاية أو ثمرة علم الأصول: الوصول إلى معرفة الأحكام الشرعية بالاستنباط

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.

Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:

  1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
  2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
  3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
  4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.

Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:

الأمر يقتضي الفور

(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.

5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:

الأصل في الأمر للوجوب

(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah:

maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)

7. Akal, misalnya kaidah ushul:

إذا اختلف مجتهدان في حكم فأحدهما مخطئ

(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan.

Hukum Mempelajari Ushul Fiqh

Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:

Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)

Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”

Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh

Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.

Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.

Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.




Perang Keinginan

Manusia hidup dan digerakkan oleh keinginan. Waktu dan segala yang dimiliki manusia dikonsumsi dan dipergunakan untuk merealisasikan keinginan. Tetapi sebuah pertanyaan menghadang kenyataan aksiomatis ini; yaitu kenginan seperti apa dan keinginan siapa yang patut selalu diikuti?

Manusia dalam posisinya dengan keinginan terbagi menjadi beberapa golongan:

Pertama, manusia yang hanya mengikuti keinginan dirinya. Tidak ada yang penting baginya kecuali yang dia mau. Barangkali dia mengira bahwa dirinya merdeka. Merdeka menentukan segala yang dia mau. Merdeka juga berpikir apa saja yang dia bayangkan. Independensi memang penting untuk membentuk kepribadian. Tanpa independensi seorang manusia hanyalah angka satuan yang tidak terlalu penting di tengah milyaran manusia. Tetapi independensi ada batasnya. Manusia yang tidak mengenal batas dirinya cenderung egois dan egosentris. Lebih jauh bahkan al-Qur’an menyebut manusia seperti ini sebagai manusia yang menyembah hawa nafsunya. Allah berfirman di surat al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)

23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)

Rasulullah SAW juga menyebut orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang lemah.

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد

“Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi banyak berangan-angan atas (karunia) Allah.” (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Kedua, manusia yang tidak punya keinginan independen. Dia selalu didorong oleh pihak luar. Lingkungan, teman, orang tua, bahkan seterunya selalu menjadi pusat perhatiannya, dan selalu mendorongnya untuk bereaksi. Orang seperti ini tidak punya pendirian. Apa kata orang itulah katanya. Ke manapun angin berhembus ke sanalah dia berlayar. Orang seperti sangat dikecam Rasulullah, beliau berkata:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا. رواه الترمذي

“Janganlah kalian menjadi orang tidak berpendirian, yang mengatakan ‘jika orang-orang berbuat baik, kami juga berbuat baik, jika mereka berbuat zhalim, kami juga berbuat zhalim.’ Tetapi kuatkanlah pendirian kalian, jika orang-orang berbuat baik, berbuat baiklah, jika mereka berbuat zhalim, jangan kalian berbuat zhalim.” (HR at-Turmudzi)

Ketiga, manusia yang selalu berperang antara kemauan dirinya dan kemauan orang lain, dan juga kemauan Sang Pencipta. Dia selalu ingin mendapatkan penerimaan semua pihak tetapi tidak rela mengorbankan keinginan dan ambisi atau syahwatnya. Golongan seperti ini selalu diombang-ambingkan ketidakpastian tujuan. Peperangan sengit dan rumit terjadi dalam diri mereka. Yang mampu menemukan dirinya dalam naungan Allah akan selamat, tetapi yang terus tak mampu menemukan skala prioritas akan hidup dalam pederitaan batin dan gejolak pemikiran yang tak berakhir. Allah membuat perumpamaan terhadap orang seperti ini:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الزمر: 29

29.” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar: 29)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ. رواه ابن ماجه والحاكم وحسنه الألباني

“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.

Keempat, manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keridhoan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah “Katakanlah bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”

Tetapi beberapa tantangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Tantangan pertama adalah tantangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk suatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Betapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunah yang tidak prioritas dalam neraca Syariah. Betapa banyak kewajiban kolektif diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah personal yang porsinya bisa dibatasi. Betapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.

Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.

Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahwa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatalis atau yang dikenal dengan kaum Jabriyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka pahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.

Umar bin Khaththab pernah begitu gusar dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabah. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang putusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Iya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Allah mengecam orang-orang yang menggunakan takdir sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Allah berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

148. “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”(QS al-An’am: 148)

Iman kepada takdir adalah kebenaran yang wajib diyakini, tetapi hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjajah oleh masa lalu, tersiksa oleh penderitaan masa yang telah lewat, atau tertipu oleh sesuatu yang membuat kita terlena. Allah jelaskan dalam surat al-Hadid apa yang dimaksudkan dengan iman kepada takdir, Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

22. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23)

Iman kepada takdir membuat seorang muslim tidak tenggelam dalam penderitaan atau tertipu oleh kenikmatan, karena dia sadar bahwa itu semua sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Bijaksana dan semua yang Allah tetapkan selalu menyimpan hikmah dan kebijaksanaan. Singkat kata iman kepada takdir dapat menghindarkan sesorang dari pedihnya keputus-asaan dan tipuan kesombongan. Di sisi lain Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat untuk kebaikan dirinya. Rasulullah SAW bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان. رواه مسلم

“Bersunguh-sungguhlah meraih hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan melemah. Jika Sesuatu menimpamu janganlah engkau berkata, ‘jika dulu aku lakukan ini pasti terjadi begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, Allah sudah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Karena kata ‘kalau’ membuka perbuatan setan[1].” (HR Muslim)

Kesalahpahaman lain yang sering terjadi dalam beribadah juga adalah pemahaman bahwa ibadah hanyalah terbatas pada hal-hal ritual. Banyak umat Islam yang masih belum memahami universalitas Islam, bahwa perintah Allah juga mencakup segala kebaikan di berbagai aspek kehidupan. Dengan ringan tangan banyak muslim yang menginfakkan jutaan rupiah untuk pergi haji atau umrah. Tetapi jumlah seperti itu sulit didapatkan untuk membangun proyek-proyek yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Umat Islam sadar kalau sholat mereka batal kalau mereka berhadats, tetapi banyak tidak khawatir seluruh amalnya batal karena korupsi, kolusi dan menipu.

Kesalahpahaman yang juga banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dan beragama. Ada yang berwudhu tapi sambil membuang air dengan mubadzir, ada yang sibuk mengucapkan niat sampai tidak bisa mengikuti sholat dengan baik dan khusyu’, ada yang sibuk dengan memendekkan pakaian sampai lupa memperhatikan hati dan memperbaiki akhlak. Ada yang terlalu berlebihan dalam masalah-masalah aqidah sampai mengkafirkan sebagian besar umat Islam. Ada yang begitu membenci kekafiran tetapi lupa berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Begitu bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam agama sampai Rasulullah SAW memperingatkan:

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ. رواه النسائي وابن ماجه والبيهقي والطبراني في الكبير وابن حبان وابن خزيمة وصححه الألباني

“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani)

Begitu banyak kesalahan dalam beribadah terjadi karena ketidakpahaman terhadap Islam. Sebagian besar bersumber dari jauhnya umat Islam dari pemahaman yang baik terhadap Qur’an dan Sunnah. Jarak yang terjadi bervariasi, mulai dari yang tidak pernah membaca al-Qur’an sama sekali, sampai yang membaca tetapi tidak memahami maknanya. Ada yang memahami sebagian kecil lalu merasa cukup dan merasa sudah pandai, bahkan mengira bahwa Islam hanya terangkum dalam beberapa ayat dan hadits. Ada yang mengaku mengerti al-Qur’an dan meninggalkan Hadits. Ada juga yang serius dengan hadits Nabi SAW tapi justru meninggalkan al-Qur’an dengan tidak mentadabburi al-Qur’an dengan rutin.

Apakah itu semua karena memahami agama Islam sulit? Sama sekali tidak. Tetapi siapapun yang menghendaki suatu tempat tapi tidak melalui jalan yang sesuai pasti tidak akan sampai tujuan. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى يَبَسِ

“Kau harap selamat tapi tidak menempuh jalannya

Sesungguhnya bahtera tidak berlayar di atas daratan kering”

Tantangan kedua dalam ibadah adalah diri manusia itu sendiri. Dia berhadapan dengan hawa nafsunya yang sering menggodanya untuk meninggalkan perintah Allah. Dia akan berhadapan godaan dari luar, tetapi semua terkait dengan kekuatan tekad dan keteguhan pendirian hamba Allah tersebut.

Ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang jelas dilarang barangkali masalah menjadi jelas. Yang lebih rumit adalah ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang samar (syubhat), disini dua persoalan merajut satu sama lain sehingga memperumit tantangan. Yang lebih rumit lagi adalah ketika hawa nafsu mendapatkan pembenaran yang palsu. Ketika dalil-dalil syar’I yang mutasyabihat (yang samar) dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran.

Semua tantangan itu tidak mudah. Karena itu ibadah seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memohon pertolongan Allah. Oleh sebab itu poros al-Fatihah yang harus diulang-ulang seorang muslim adalah: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” (Kepada engkau kami menyembah, dan kepada engkau kami memohon pertolongan). Seorang muslim yang menyembah Allah tanpa memohon pertolongan dari-Nya, niscaya akan terjebak dan terjatuh dalam tantangan-tantangan yang sulit dalam perjalan hidup yang penuh dengan ujian.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.




Definisi Usul Fiqh




1. Pengertian Usul Fiqh

Usul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dintinjau dari segi etymologi fiqh bermakna pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan (Lusi Ma’luf: Munjid). Sebagaimana firman Allah surat An Nisa’ ayat 78:

Artinya: “Maka mengapa orang-orang itu (munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Juga sabda Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang yang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.

Sedamgkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etymologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut termilnologi lebih khusus dari etymologi. Figh menurut terminologi adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (detail).(Abu Zahrah: Usul Fiqh).

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh meliputi dua hal:
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ meneganai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu ia tidak membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan I’tiqad (keyakinan.
2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci pada setiap permasalahan. Misalnya bila dikatakan bahwa memakan harta benda orang lain secara tidak sah itu adalah haram, maka disebutkan pula dalilnya dari AL Qur’an yang berbunyi:

Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu denga yang lain secara bathil. (2:188).

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia sama ada halal. Haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian “ashl” (jamaknya ushul) menurut ethimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu (Luis Ma’luf: Kamus Munjid). Pengertian tersebut tidak jauh dari pengertian ushul secara terminologi yaitu dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh.
Untuk itu Ali Hasaballah dalam buku Ushul Al Tasri’ Al Islami mendefinisikan Ushul Fiqh adalah:

Artinya: Kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan amaliah (mukallaf) dari dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain kaidah-kaidah yang dijadikan metode untuk menggali hukum fiqh.
Sebagai contoh. Ushul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan wajib dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak maka ia akan mengemukakan firman Allah SWT di dalam surat Rum 31, Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :

Artinya: Dirikan Shalat
Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya, dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.
Dari contoh diatas jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh ahli fiqh di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syara’, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasrkan kualitasnya. Dalil Al Qur’an harus didahulukan dari pada qiyas serta dalil-dalil yang tidak berdasr kepada Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.

2. Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh dan fungsi Ushul Fiqh.

Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika) dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbatkan (menggali) hukum.

Disamping itu fungsi Ushul Fiqh itu sendiri adalah untuk membedakan istimbath yang benar atau salah yang dilakukan oleh fuqaha’.

3. Objek Pembahasan Ushul Fiqh

Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek ushul fiqh mengenai metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua disiplin ilmu tersebut sama –sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.

Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
1. Hukum Syar’i
Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu (….) atau dengan kata lain memberi nilai terhadap sesuatu. (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah:

Artinya: Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.

Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
1. Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah. Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
3. Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
4. Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.

2. Hakim (Pembuat Hukum)
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:

Artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57).
3. Mahkum Fih (objek hukum)
Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah: objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya. Objek hukum yang menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf. Ia tidak membahas hukum wadh’i (perkondisian ) yang berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.

4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)
Mahkum alaih adalah subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif. Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.

4. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh.

Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih duluan dibukukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu adanya metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode ini tidak lain adalah ushul fiqh.
Pada masa rasul penggalian hukum langsung dilakukan oleh Rasul, yang mana Allah langsung memutuskan perkara-perkara yang timbul melalui wahyu. Penggalian hukum fiqh baru mulai setelah wafatnya Rasulullah SAW disaat timbulnya berbagai masalah yang tidak pernah terjadi pada masa Rasul. Para sahabat yang tergolong fuqaha seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tentunya di dalam berijtihad ini mereka mempunyai metode, dasar dan batasan dalam mengambil satu keputusan. Seperti Keputusan umar bin khattab tidak memebrikan hak zakat kepada mu’allaf. Ali bin abi Thalib menambah had (hukuman campuk) bagi yang meminum khamar dari 40 kali pada masa rasullah menjadi 80 kali. Dari perbuatan sahabat tersebut menunjukkan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan hukum. Ini menunjukkan ijtihad para sahabat itu mempunyai kaedah yang sekarang dikenal dengan ushul, walaupun pada waktu itu ilmu ini belum dikenal.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syarak semakin luas seiring dengan makin banyaknya permasalahan yang timbul. Karena banyaknya masalah yang timbul dan penyelesaian yang ditempuh para ulama sangan berfariasi, Ali Hasaballah mengambarkan kedahsyatan yang berlaku saat itu adalah “ pada satu daerah, ada satu perbuatan yang ditetapkan haram melakukannya, akan tetapi pada daerah lain dibolehkan”. Hal seperti menimbulkan kecauan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Dikarenakan tidak adanya parameter tertentu dalam mengistimbathkan hukum. Para ulama mengisthimbatkan hukum atas parameter masing-masing.
Akhirnya pada priode berikutnya, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum ini semakin banyak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan petunjuk tertentu dalam berijtihad. Seperti Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al Qur’an, hadist dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa yang diperselisihkan, dia bebas memilihnya. Manakala Imam Malik menjadikan amal ahlul madinah sebagai landasan hukum. Kedua imam ini telah menggariskan cara dan metode mereka dalam mengistimbathkan hukum tapi mereka belum menyebutnya dengan usul fiqh.
Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, yang bermaksud mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Mulailah ia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh dan petunjuk-petunjuk ilmu fiqh. Kitab ushul fiqh pertama sekali dikeluarkan adalah “al Risalah”. Inilah kitab pertama yang khusus berbicara tentang ushul fiqh dengan membahas berbagai metode istimbath hukum.
Dan dikemudian hari pengikut mazhab membuat metode ushul masing-masing mengikut imam Mazhabnya sendiri. Setiap kaedah selalu lahir/timbul lebih akhir dari pada materi.