Kamis, 02 April 2009

Antara Golput dan Memilih?


Sebagaian masyarakat begitu muak melihat gaya hidup anggota DPR. Karenanya, sebagian bahkan berfikir tidak memilih. Tapi apa efeknya?

Pemilu 2009 ini mungkin dilema bagi orang-orang muslim yang terpelajar, kritis dan bukan caleg. Memillih atau tidak memilih. Diskusi ramai baik di kantor-kantor, masjid atau internet tentang pemilu ini. Suara mengajak golput pun mengemuka baik oleh beberapa aktivis gerakan Islam, seperti HTI, Anshorut Tauhid maupun beberapa kelompok sekuler yang frustasi terhadap sistem demokrasi di Indonesia .
Pemilu yang ketiga paska tumbangnya Orde Baru ini, memang menjadikan banyak orang semakin kritis. Rakyat melihat bagaimana sehari-hari polah tingkah wakil yang dipilihnya selama lima tahun atau sepuluh tahun itu. Bagaimana kepedulian wakil rakyat partai-partai Islam itu kepada orang-orang miskin, kepada kader-kader dakwah yang melarat, gagasan-gagasan pembangunan yang Islami dan keseriusan perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam di daerah dan nasional dalam Undang-undang dan lain-lain.
Kita memahami adanya sekelompok orang yang menginginkan golput dalam pemilu ini. ”Pemilu ini seperti judi,”kata Ridwan Saidi. Maksudnya banyaknya caleg yang mengeluarkan uang milyaran dan berharap uang akan balik modal ketika ia menjabat, memang sekilas seperti judi. Tapi, mungkin orang lain bisa berpendapat seperti investasi dalam dagang.
Meutya Hafidz caleg dari Partai Golkar, dalam sebuah dialog di Metro TV sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan uang 300 juta dalam kampanyenya di Sumatra Utara. ”Mungkin nanti akan menghabiskan sampai 500 jutaan” tuturnya. Mantan wartawan yang pernah disandera mujahidin Irak ini menyatakan bahwa itu adalah biaya untuk spanduk, pamflet, jamuan makan untuk konstituen, tim yang membantunya dalam kampanye dan lain-lain. Ia menyatakan biaya yang ia keluarkan seharusnya sampai 1 milyar sampai kampanye selesai nanti.
Memang biaya pemilu nasional tahun ini luar biasa. Yaitu menurut KPU sebesar Rp. 47.941.202.175.793, hampir 48 trilyun. Dengan jumlah pemilih (DPT) sekitar 174 juta orang. Bila dijumlahkan antara pengeluaran yang dibelanjakan oleh para caleg dan anggaran dari KPU mungkin jumlahnya lebih dari 60 trilyun.
Sistem Pemilu
Memang kalau kita amati, sistem pemilu ini luar biasa borosnya. Bagi orang-orang yang telah mengikuti beberapa pemilu, kemungkinan besar akan jengkel dengan banyaknya spanduk, pamflet, billboard, bendera yang dipajang hampir di tiap gang, atau jalan-jalan di kota. Bila kita melihat ’model demokrasi’ yang diterapkan di Malaysia atau di negara-negara maju, nampaknya tidak norak seperti yang terjadi di Indonesia.
Pemborosan ini, makin bertambah bila model pemilihan bupati/walikota atau gubernur tidak diubah. Kabarnya di pemerintahan atau DPR sendiri kini sedang diupayakan untuk penghapusan pemilihan langsung kepala daerah itu.
Terhadap pemborosan negara ini, kita teringat nasehat Sultan Muhammad al Fatih, pembebas Konstantinopel Turki kepada anaknya (dan juga kepada para pemimpin-pemimpin negara) : ” Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”
Memang bila para calon anggota DPR mengeluarkan ratusan juta atau milyaran dalam kampanye, mungkin kita akan sulit mengharapkan anggota DPR itu tidak memboroskan uang negara. Perhitungan modal atau investasi 1 milyar misalnya, maka anggota DPR mungkin akan berhitung bila gaji mereka di senayan 50 juta sebulan ditambah uang sidang dan lain-lain 60 juta misalnya (bulan-bulan tertentu bisa 75-100 juta), maka dalam waktu tidak lebih dari 17 bulan uang akan balik modal. Maka 43 bulan berikutnya adalah tinggal memanen untung. (Tentu ada pengecualian bagi calon wakil-wakil rakyat yang melarat atau yang mengeluarkan dana hanya puluhan juta).
Padahal, harusnya partai-partai Islam, PKS, PBB, PPP dan lain-lain bila ingin mengadakan perubahan secara fundamental di negeri ini, maka caleg-caleg itu harusnya minta penurunan gaji, bukan kenaikan gaji. Gaji 25 juta dengan ritme kerja DPR Pusat yang kerjanya rombongan itu (lain dengan menteri yang pekerjaannya individual), tentu sudah cukup memadai. Seorang wakil rakyat, apalagi dari partai Islam, harusnya memberikan teladan tidak memboroskan uang negara. Tapi sulit kita mengharap mereka akan minta dan berjuang untuk penurunan gaji, karena perhitungan modal kampanye yang telah mereka keluarkan. Apalagi bila caleg itu tidak bisa mengekang nafsu memmiliki harta itu yang memang tidak ada habisnya. Orang yang kaya biasanya ingin terus bertambah-tambah kekayaannya.
Kenapa gaji DPR perlu diturunkan? Karena DPR adalah wakil rakyat yakni yang mewakili suara rakyat. Ketika gaji DPR besar, maka Gaji Menteri, Presiden atau Pejabat Negara lain ingin lebih besar pula. Karena yang membuat UU untuk penggajian adalah DPR, maka merekalah yang harusnya memberi teladan terlebih dahulu. Mereka seharusnya mikir bahwa di tengah-tengah mereka rakyat miskin masih berjumlah hampir 40 juta orang dengan penghasilan di bawah 200 ribu per bulan. Maka kadangkala timbul pertanyaan di benak gaji wakil rakyat 50 juta sebulan itu halal, haram atau syubhat? (Ingat harta itu adalah harta rakyat. Ibaratnya DPR atau pegawai pemerintah itu seperti amil yang harus mengalokasikan gaji untuk harta yang dkumpulkan amil itu sekedarnya. Bukan menjadi amil kemudian menumpuk-numpuk kekayaan dari harta rakyat itu. Barangkali perkecualian bagi anggota-anggota DPR yang bersedekah separo gajinya atau lebih).
Tidak Memilih?
Melihat gaji, kinerja dan gaya hidup sebagian besar anggota DPR, kita mungkin muak. Mengaku wakil rakyat, tapi seringkali ia hanya mewakili dirinya sendiri atau partainya dan dalam kerja sehari-harinya tidak serius memikirkan rakyat. Bila dalam masa kampanye menyerukan agar berbondong-bondong masyarakat miskin atau kader-kader hadir atau mendukungnya, seringkali setelah terpilih, dan rakyat miskin itu butuh bantuan, kebanyakan penyakit ”pelit bin medit (Jawa, red)” menghinggapi (cerita banyaknya kader-kader yang miskin butuh bantuan tidak dipedulikan anggota DPR itu sangat banyak). Lupa otaknya terhadap kader-kader yang naik motor berpanas-panasan, bensin beli sendiri, bahkan kadang-kadang harus merelakan cuti kantor atau tidak mendapatkan uang hari itu karena mendukung caleg atau partai itu.
Akhirnya dengan model gaya hidup anggota DPR itu, banyak orang berfikir nggak ada gunanya untuk milih. Kelakuan partai sekuler dan partai Islam ternyata sama saja.
Kita memahami cara berfikir orang-orang golput ini. Tapi pertanyaannya ’dengan tidak memilih itu’ apakah pemilu gagal? Apakah keadaan akan berubah lebih baik? Pertanyaan itu yang harus kita jawab.
Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski kebanyakan wakil rakyat adalah ’brengsek’, tapi masih ada beberapa orang yang baik. Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain. ”Bila kita tidak memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik itu (caleg-caleg partai Islam), jadi hilang,”kata politisi Islam, Hartono Mardjono dan Hussein Umar almarhum. Suara partai sekuler/kristen jadi tambah, karena mereka tidak menganjurkan golput. Bila kita memilih ada kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh warganya memilih. Arti memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah pemilihan dengan orang non Muslim.
Maka penulis ingat ketika Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi tidak menganjurkan golput di tahun 70, 80 atau 90 an, meski saat itu yang naik ke panggung politik adalah para politisi Islam kelas dua. Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin politisi Islam kelas satu, dilarang berpolitik saat itu dan akhirnya membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Para tokoh itu melihat perubahan masyarakat, bukanlah berpangkal dari politik, perubahan masyarakat dari pendidikan dan dakwah. Politik hanyalah membantu perubahan itu dan ia bukan titik sebab atau sentral perubahan.
Begitulah, keadaan ini kita jalani. Karena kita memang ditakdirkan hidup di Indonesia yang lagi euforia terhadap kebebasan. Kita tidak hidup di Arab Saudi yang tidak ada pemilu. Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini agar lebih baik dan lebih Islami. Dan dalam sunnatullah perubahan sosial, perubahan masyarakat itu terjadi bertahap. Tidak ada perubahan di dunia ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi.
Apalagi dan alhamdulillah kita di Indonesia ini, para tokoh-tokoh Islam pendahulu kita telah memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi landasan negara. Meski kemudian yang disahkan adalah UUD 45 setelah proklamasi 1945, tapi dalam Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Menurut tokoh Masyumi Mohammad Roem, Piagam Jakarta itu lebih tinggi dari UUD 45. Karena jiwa lebih tinggi dari fisik. Artinya perjuangan penegakan syariat Islam di negeri ini, mempunyai landasan yang kuat di negeri ini. Tergantung saat ini bagaimana para ahli hukum Islam dan kita semua masyarakat Islam, baik yang berjuang dalam sistem maupun luar sistem bersama-sama mengaplikasikan syariat Islam ini menjadi Undang-undang yang ’applicable’.
Dan sunnatullah perjuangan adalah dimulai dari pemimpin. Baik pemimpin formal (anggota DPR, menteri, bupati/gubernur dll) maupun pemimpin informal (pemegang media massa, kiyai, ustadz, dosen, guru, aktivis gerakan dan lain-lain).
Bila pemimpin tidak memberikan teladan, maka rusaklah pengikut-pengikutnya. Biasanya kerusakan sebuah gerakan, partai atau organisasi, bahkan negara dimulai dari kerusakan pemimpin-pemimpinnya. Pepatah yang terkenal ”Ikan busuk dari kepalanya”. Dan kesederhanaan, tidak bermewah-mewah adalah ciri utama dari seorang pemimpin Islam.Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim. Jalan ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.” Maknanya : ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, Memimpin adalah menderita.”



Antara Golput dan Memilih?



Sebagaian masyarakat begitu muak melihat gaya hidup anggota DPR. Karenanya, sebagian bahkan berfikir tidak memilih. Tapi apa efeknya?

Pemilu 2009 ini mungkin dilema bagi orang-orang muslim yang terpelajar, kritis dan bukan caleg. Memillih atau tidak memilih. Diskusi ramai baik di kantor-kantor, masjid atau internet tentang pemilu ini. Suara mengajak golput pun mengemuka baik oleh beberapa aktivis gerakan Islam, seperti HTI, Anshorut Tauhid maupun beberapa kelompok sekuler yang frustasi terhadap sistem demokrasi di Indonesia .
Pemilu yang ketiga paska tumbangnya Orde Baru ini, memang menjadikan banyak orang semakin kritis. Rakyat melihat bagaimana sehari-hari polah tingkah wakil yang dipilihnya selama lima tahun atau sepuluh tahun itu. Bagaimana kepedulian wakil rakyat partai-partai Islam itu kepada orang-orang miskin, kepada kader-kader dakwah yang melarat, gagasan-gagasan pembangunan yang Islami dan keseriusan perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam di daerah dan nasional dalam Undang-undang dan lain-lain.
Kita memahami adanya sekelompok orang yang menginginkan golput dalam pemilu ini. ”Pemilu ini seperti judi,”kata Ridwan Saidi. Maksudnya banyaknya caleg yang mengeluarkan uang milyaran dan berharap uang akan balik modal ketika ia menjabat, memang sekilas seperti judi. Tapi, mungkin orang lain bisa berpendapat seperti investasi dalam dagang.
Meutya Hafidz caleg dari Partai Golkar, dalam sebuah dialog di Metro TV sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan uang 300 juta dalam kampanyenya di Sumatra Utara. ”Mungkin nanti akan menghabiskan sampai 500 jutaan” tuturnya. Mantan wartawan yang pernah disandera mujahidin Irak ini menyatakan bahwa itu adalah biaya untuk spanduk, pamflet, jamuan makan untuk konstituen, tim yang membantunya dalam kampanye dan lain-lain. Ia menyatakan biaya yang ia keluarkan seharusnya sampai 1 milyar sampai kampanye selesai nanti.
Memang biaya pemilu nasional tahun ini luar biasa. Yaitu menurut KPU sebesar Rp. 47.941.202.175.793, hampir 48 trilyun. Dengan jumlah pemilih (DPT) sekitar 174 juta orang. Bila dijumlahkan antara pengeluaran yang dibelanjakan oleh para caleg dan anggaran dari KPU mungkin jumlahnya lebih dari 60 trilyun.
Sistem Pemilu
Memang kalau kita amati, sistem pemilu ini luar biasa borosnya. Bagi orang-orang yang telah mengikuti beberapa pemilu, kemungkinan besar akan jengkel dengan banyaknya spanduk, pamflet, billboard, bendera yang dipajang hampir di tiap gang, atau jalan-jalan di kota. Bila kita melihat ’model demokrasi’ yang diterapkan di Malaysia atau di negara-negara maju, nampaknya tidak norak seperti yang terjadi di Indonesia.
Pemborosan ini, makin bertambah bila model pemilihan bupati/walikota atau gubernur tidak diubah. Kabarnya di pemerintahan atau DPR sendiri kini sedang diupayakan untuk penghapusan pemilihan langsung kepala daerah itu.
Terhadap pemborosan negara ini, kita teringat nasehat Sultan Muhammad al Fatih, pembebas Konstantinopel Turki kepada anaknya (dan juga kepada para pemimpin-pemimpin negara) : ” Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”
Memang bila para calon anggota DPR mengeluarkan ratusan juta atau milyaran dalam kampanye, mungkin kita akan sulit mengharapkan anggota DPR itu tidak memboroskan uang negara. Perhitungan modal atau investasi 1 milyar misalnya, maka anggota DPR mungkin akan berhitung bila gaji mereka di senayan 50 juta sebulan ditambah uang sidang dan lain-lain 60 juta misalnya (bulan-bulan tertentu bisa 75-100 juta), maka dalam waktu tidak lebih dari 17 bulan uang akan balik modal. Maka 43 bulan berikutnya adalah tinggal memanen untung. (Tentu ada pengecualian bagi calon wakil-wakil rakyat yang melarat atau yang mengeluarkan dana hanya puluhan juta).
Padahal, harusnya partai-partai Islam, PKS, PBB, PPP dan lain-lain bila ingin mengadakan perubahan secara fundamental di negeri ini, maka caleg-caleg itu harusnya minta penurunan gaji, bukan kenaikan gaji. Gaji 25 juta dengan ritme kerja DPR Pusat yang kerjanya rombongan itu (lain dengan menteri yang pekerjaannya individual), tentu sudah cukup memadai. Seorang wakil rakyat, apalagi dari partai Islam, harusnya memberikan teladan tidak memboroskan uang negara. Tapi sulit kita mengharap mereka akan minta dan berjuang untuk penurunan gaji, karena perhitungan modal kampanye yang telah mereka keluarkan. Apalagi bila caleg itu tidak bisa mengekang nafsu memmiliki harta itu yang memang tidak ada habisnya. Orang yang kaya biasanya ingin terus bertambah-tambah kekayaannya.
Kenapa gaji DPR perlu diturunkan? Karena DPR adalah wakil rakyat yakni yang mewakili suara rakyat. Ketika gaji DPR besar, maka Gaji Menteri, Presiden atau Pejabat Negara lain ingin lebih besar pula. Karena yang membuat UU untuk penggajian adalah DPR, maka merekalah yang harusnya memberi teladan terlebih dahulu. Mereka seharusnya mikir bahwa di tengah-tengah mereka rakyat miskin masih berjumlah hampir 40 juta orang dengan penghasilan di bawah 200 ribu per bulan. Maka kadangkala timbul pertanyaan di benak gaji wakil rakyat 50 juta sebulan itu halal, haram atau syubhat? (Ingat harta itu adalah harta rakyat. Ibaratnya DPR atau pegawai pemerintah itu seperti amil yang harus mengalokasikan gaji untuk harta yang dkumpulkan amil itu sekedarnya. Bukan menjadi amil kemudian menumpuk-numpuk kekayaan dari harta rakyat itu. Barangkali perkecualian bagi anggota-anggota DPR yang bersedekah separo gajinya atau lebih).
Tidak Memilih?
Melihat gaji, kinerja dan gaya hidup sebagian besar anggota DPR, kita mungkin muak. Mengaku wakil rakyat, tapi seringkali ia hanya mewakili dirinya sendiri atau partainya dan dalam kerja sehari-harinya tidak serius memikirkan rakyat. Bila dalam masa kampanye menyerukan agar berbondong-bondong masyarakat miskin atau kader-kader hadir atau mendukungnya, seringkali setelah terpilih, dan rakyat miskin itu butuh bantuan, kebanyakan penyakit ”pelit bin medit (Jawa, red)” menghinggapi (cerita banyaknya kader-kader yang miskin butuh bantuan tidak dipedulikan anggota DPR itu sangat banyak). Lupa otaknya terhadap kader-kader yang naik motor berpanas-panasan, bensin beli sendiri, bahkan kadang-kadang harus merelakan cuti kantor atau tidak mendapatkan uang hari itu karena mendukung caleg atau partai itu.
Akhirnya dengan model gaya hidup anggota DPR itu, banyak orang berfikir nggak ada gunanya untuk milih. Kelakuan partai sekuler dan partai Islam ternyata sama saja.
Kita memahami cara berfikir orang-orang golput ini. Tapi pertanyaannya ’dengan tidak memilih itu’ apakah pemilu gagal? Apakah keadaan akan berubah lebih baik? Pertanyaan itu yang harus kita jawab.
Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski kebanyakan wakil rakyat adalah ’brengsek’, tapi masih ada beberapa orang yang baik. Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain. ”Bila kita tidak memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik itu (caleg-caleg partai Islam), jadi hilang,”kata politisi Islam, Hartono Mardjono dan Hussein Umar almarhum. Suara partai sekuler/kristen jadi tambah, karena mereka tidak menganjurkan golput. Bila kita memilih ada kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh warganya memilih. Arti memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah pemilihan dengan orang non Muslim.
Maka penulis ingat ketika Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi tidak menganjurkan golput di tahun 70, 80 atau 90 an, meski saat itu yang naik ke panggung politik adalah para politisi Islam kelas dua. Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin politisi Islam kelas satu, dilarang berpolitik saat itu dan akhirnya membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Para tokoh itu melihat perubahan masyarakat, bukanlah berpangkal dari politik, perubahan masyarakat dari pendidikan dan dakwah. Politik hanyalah membantu perubahan itu dan ia bukan titik sebab atau sentral perubahan.
Begitulah, keadaan ini kita jalani. Karena kita memang ditakdirkan hidup di Indonesia yang lagi euforia terhadap kebebasan. Kita tidak hidup di Arab Saudi yang tidak ada pemilu. Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini agar lebih baik dan lebih Islami. Dan dalam sunnatullah perubahan sosial, perubahan masyarakat itu terjadi bertahap. Tidak ada perubahan di dunia ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi.
Apalagi dan alhamdulillah kita di Indonesia ini, para tokoh-tokoh Islam pendahulu kita telah memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi landasan negara. Meski kemudian yang disahkan adalah UUD 45 setelah proklamasi 1945, tapi dalam Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Menurut tokoh Masyumi Mohammad Roem, Piagam Jakarta itu lebih tinggi dari UUD 45. Karena jiwa lebih tinggi dari fisik. Artinya perjuangan penegakan syariat Islam di negeri ini, mempunyai landasan yang kuat di negeri ini. Tergantung saat ini bagaimana para ahli hukum Islam dan kita semua masyarakat Islam, baik yang berjuang dalam sistem maupun luar sistem bersama-sama mengaplikasikan syariat Islam ini menjadi Undang-undang yang ’applicable’.
Dan sunnatullah perjuangan adalah dimulai dari pemimpin. Baik pemimpin formal (anggota DPR, menteri, bupati/gubernur dll) maupun pemimpin informal (pemegang media massa, kiyai, ustadz, dosen, guru, aktivis gerakan dan lain-lain).
Bila pemimpin tidak memberikan teladan, maka rusaklah pengikut-pengikutnya. Biasanya kerusakan sebuah gerakan, partai atau organisasi, bahkan negara dimulai dari kerusakan pemimpin-pemimpinnya. Pepatah yang terkenal ”Ikan busuk dari kepalanya”. Dan kesederhanaan, tidak bermewah-mewah adalah ciri utama dari seorang pemimpin Islam.
Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim. Jalan ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.” Maknanya : ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, Memimpin adalah menderita.”

Antara Golput dan Memilih?



Sebagaian masyarakat begitu muak melihat gaya hidup anggota DPR. Karenanya, sebagian bahkan berfikir tidak memilih. Tapi apa efeknya?

Pemilu 2009 ini mungkin dilema bagi orang-orang muslim yang terpelajar, kritis dan bukan caleg. Memillih atau tidak memilih. Diskusi ramai baik di kantor-kantor, masjid atau internet tentang pemilu ini. Suara mengajak golput pun mengemuka baik oleh beberapa aktivis gerakan Islam, seperti HTI, Anshorut Tauhid maupun beberapa kelompok sekuler yang frustasi terhadap sistem demokrasi di Indonesia .
Pemilu yang ketiga paska tumbangnya Orde Baru ini, memang menjadikan banyak orang semakin kritis. Rakyat melihat bagaimana sehari-hari polah tingkah wakil yang dipilihnya selama lima tahun atau sepuluh tahun itu. Bagaimana kepedulian wakil rakyat partai-partai Islam itu kepada orang-orang miskin, kepada kader-kader dakwah yang melarat, gagasan-gagasan pembangunan yang Islami dan keseriusan perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam di daerah dan nasional dalam Undang-undang dan lain-lain.
Kita memahami adanya sekelompok orang yang menginginkan golput dalam pemilu ini. ”Pemilu ini seperti judi,”kata Ridwan Saidi. Maksudnya banyaknya caleg yang mengeluarkan uang milyaran dan berharap uang akan balik modal ketika ia menjabat, memang sekilas seperti judi. Tapi, mungkin orang lain bisa berpendapat seperti investasi dalam dagang.
Meutya Hafidz caleg dari Partai Golkar, dalam sebuah dialog di Metro TV sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan uang 300 juta dalam kampanyenya di Sumatra Utara. ”Mungkin nanti akan menghabiskan sampai 500 jutaan” tuturnya. Mantan wartawan yang pernah disandera mujahidin Irak ini menyatakan bahwa itu adalah biaya untuk spanduk, pamflet, jamuan makan untuk konstituen, tim yang membantunya dalam kampanye dan lain-lain. Ia menyatakan biaya yang ia keluarkan seharusnya sampai 1 milyar sampai kampanye selesai nanti.
Memang biaya pemilu nasional tahun ini luar biasa. Yaitu menurut KPU sebesar Rp. 47.941.202.175.793, hampir 48 trilyun. Dengan jumlah pemilih (DPT) sekitar 174 juta orang. Bila dijumlahkan antara pengeluaran yang dibelanjakan oleh para caleg dan anggaran dari KPU mungkin jumlahnya lebih dari 60 trilyun.
Sistem Pemilu
Memang kalau kita amati, sistem pemilu ini luar biasa borosnya. Bagi orang-orang yang telah mengikuti beberapa pemilu, kemungkinan besar akan jengkel dengan banyaknya spanduk, pamflet, billboard, bendera yang dipajang hampir di tiap gang, atau jalan-jalan di kota. Bila kita melihat ’model demokrasi’ yang diterapkan di Malaysia atau di negara-negara maju, nampaknya tidak norak seperti yang terjadi di Indonesia.
Pemborosan ini, makin bertambah bila model pemilihan bupati/walikota atau gubernur tidak diubah. Kabarnya di pemerintahan atau DPR sendiri kini sedang diupayakan untuk penghapusan pemilihan langsung kepala daerah itu.
Terhadap pemborosan negara ini, kita teringat nasehat Sultan Muhammad al Fatih, pembebas Konstantinopel Turki kepada anaknya (dan juga kepada para pemimpin-pemimpin negara) : ” Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”
Memang bila para calon anggota DPR mengeluarkan ratusan juta atau milyaran dalam kampanye, mungkin kita akan sulit mengharapkan anggota DPR itu tidak memboroskan uang negara. Perhitungan modal atau investasi 1 milyar misalnya, maka anggota DPR mungkin akan berhitung bila gaji mereka di senayan 50 juta sebulan ditambah uang sidang dan lain-lain 60 juta misalnya (bulan-bulan tertentu bisa 75-100 juta), maka dalam waktu tidak lebih dari 17 bulan uang akan balik modal. Maka 43 bulan berikutnya adalah tinggal memanen untung. (Tentu ada pengecualian bagi calon wakil-wakil rakyat yang melarat atau yang mengeluarkan dana hanya puluhan juta).
Padahal, harusnya partai-partai Islam, PKS, PBB, PPP dan lain-lain bila ingin mengadakan perubahan secara fundamental di negeri ini, maka caleg-caleg itu harusnya minta penurunan gaji, bukan kenaikan gaji. Gaji 25 juta dengan ritme kerja DPR Pusat yang kerjanya rombongan itu (lain dengan menteri yang pekerjaannya individual), tentu sudah cukup memadai. Seorang wakil rakyat, apalagi dari partai Islam, harusnya memberikan teladan tidak memboroskan uang negara. Tapi sulit kita mengharap mereka akan minta dan berjuang untuk penurunan gaji, karena perhitungan modal kampanye yang telah mereka keluarkan. Apalagi bila caleg itu tidak bisa mengekang nafsu memmiliki harta itu yang memang tidak ada habisnya. Orang yang kaya biasanya ingin terus bertambah-tambah kekayaannya.
Kenapa gaji DPR perlu diturunkan? Karena DPR adalah wakil rakyat yakni yang mewakili suara rakyat. Ketika gaji DPR besar, maka Gaji Menteri, Presiden atau Pejabat Negara lain ingin lebih besar pula. Karena yang membuat UU untuk penggajian adalah DPR, maka merekalah yang harusnya memberi teladan terlebih dahulu. Mereka seharusnya mikir bahwa di tengah-tengah mereka rakyat miskin masih berjumlah hampir 40 juta orang dengan penghasilan di bawah 200 ribu per bulan. Maka kadangkala timbul pertanyaan di benak gaji wakil rakyat 50 juta sebulan itu halal, haram atau syubhat? (Ingat harta itu adalah harta rakyat. Ibaratnya DPR atau pegawai pemerintah itu seperti amil yang harus mengalokasikan gaji untuk harta yang dkumpulkan amil itu sekedarnya. Bukan menjadi amil kemudian menumpuk-numpuk kekayaan dari harta rakyat itu. Barangkali perkecualian bagi anggota-anggota DPR yang bersedekah separo gajinya atau lebih).
Tidak Memilih?
Melihat gaji, kinerja dan gaya hidup sebagian besar anggota DPR, kita mungkin muak. Mengaku wakil rakyat, tapi seringkali ia hanya mewakili dirinya sendiri atau partainya dan dalam kerja sehari-harinya tidak serius memikirkan rakyat. Bila dalam masa kampanye menyerukan agar berbondong-bondong masyarakat miskin atau kader-kader hadir atau mendukungnya, seringkali setelah terpilih, dan rakyat miskin itu butuh bantuan, kebanyakan penyakit ”pelit bin medit (Jawa, red)” menghinggapi (cerita banyaknya kader-kader yang miskin butuh bantuan tidak dipedulikan anggota DPR itu sangat banyak). Lupa otaknya terhadap kader-kader yang naik motor berpanas-panasan, bensin beli sendiri, bahkan kadang-kadang harus merelakan cuti kantor atau tidak mendapatkan uang hari itu karena mendukung caleg atau partai itu.
Akhirnya dengan model gaya hidup anggota DPR itu, banyak orang berfikir nggak ada gunanya untuk milih. Kelakuan partai sekuler dan partai Islam ternyata sama saja.
Kita memahami cara berfikir orang-orang golput ini. Tapi pertanyaannya ’dengan tidak memilih itu’ apakah pemilu gagal? Apakah keadaan akan berubah lebih baik? Pertanyaan itu yang harus kita jawab.
Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski kebanyakan wakil rakyat adalah ’brengsek’, tapi masih ada beberapa orang yang baik. Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain. ”Bila kita tidak memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik itu (caleg-caleg partai Islam), jadi hilang,”kata politisi Islam, Hartono Mardjono dan Hussein Umar almarhum. Suara partai sekuler/kristen jadi tambah, karena mereka tidak menganjurkan golput. Bila kita memilih ada kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh warganya memilih. Arti memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah pemilihan dengan orang non Muslim.
Maka penulis ingat ketika Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi tidak menganjurkan golput di tahun 70, 80 atau 90 an, meski saat itu yang naik ke panggung politik adalah para politisi Islam kelas dua. Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin politisi Islam kelas satu, dilarang berpolitik saat itu dan akhirnya membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Para tokoh itu melihat perubahan masyarakat, bukanlah berpangkal dari politik, perubahan masyarakat dari pendidikan dan dakwah. Politik hanyalah membantu perubahan itu dan ia bukan titik sebab atau sentral perubahan.
Begitulah, keadaan ini kita jalani. Karena kita memang ditakdirkan hidup di Indonesia yang lagi euforia terhadap kebebasan. Kita tidak hidup di Arab Saudi yang tidak ada pemilu. Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini agar lebih baik dan lebih Islami. Dan dalam sunnatullah perubahan sosial, perubahan masyarakat itu terjadi bertahap. Tidak ada perubahan di dunia ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi.
Apalagi dan alhamdulillah kita di Indonesia ini, para tokoh-tokoh Islam pendahulu kita telah memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi landasan negara. Meski kemudian yang disahkan adalah UUD 45 setelah proklamasi 1945, tapi dalam Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Menurut tokoh Masyumi Mohammad Roem, Piagam Jakarta itu lebih tinggi dari UUD 45. Karena jiwa lebih tinggi dari fisik. Artinya perjuangan penegakan syariat Islam di negeri ini, mempunyai landasan yang kuat di negeri ini. Tergantung saat ini bagaimana para ahli hukum Islam dan kita semua masyarakat Islam, baik yang berjuang dalam sistem maupun luar sistem bersama-sama mengaplikasikan syariat Islam ini menjadi Undang-undang yang ’applicable’.
Dan sunnatullah perjuangan adalah dimulai dari pemimpin. Baik pemimpin formal (anggota DPR, menteri, bupati/gubernur dll) maupun pemimpin informal (pemegang media massa, kiyai, ustadz, dosen, guru, aktivis gerakan dan lain-lain).
Bila pemimpin tidak memberikan teladan, maka rusaklah pengikut-pengikutnya. Biasanya kerusakan sebuah gerakan, partai atau organisasi, bahkan negara dimulai dari kerusakan pemimpin-pemimpinnya. Pepatah yang terkenal ”Ikan busuk dari kepalanya”. Dan kesederhanaan, tidak bermewah-mewah adalah ciri utama dari seorang pemimpin Islam.
Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim. Jalan ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.” Maknanya : ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, Memimpin adalah menderita.”

Antara Golput dan Memilih?



Sebagaian masyarakat begitu muak melihat gaya hidup anggota DPR. Karenanya, sebagian bahkan berfikir tidak memilih. Tapi apa efeknya?

Pemilu 2009 ini mungkin dilema bagi orang-orang muslim yang terpelajar, kritis dan bukan caleg. Memillih atau tidak memilih. Diskusi ramai baik di kantor-kantor, masjid atau internet tentang pemilu ini. Suara mengajak golput pun mengemuka baik oleh beberapa aktivis gerakan Islam, seperti HTI, Anshorut Tauhid maupun beberapa kelompok sekuler yang frustasi terhadap sistem demokrasi di Indonesia .
Pemilu yang ketiga paska tumbangnya Orde Baru ini, memang menjadikan banyak orang semakin kritis. Rakyat melihat bagaimana sehari-hari polah tingkah wakil yang dipilihnya selama lima tahun atau sepuluh tahun itu. Bagaimana kepedulian wakil rakyat partai-partai Islam itu kepada orang-orang miskin, kepada kader-kader dakwah yang melarat, gagasan-gagasan pembangunan yang Islami dan keseriusan perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam di daerah dan nasional dalam Undang-undang dan lain-lain.
Kita memahami adanya sekelompok orang yang menginginkan golput dalam pemilu ini. ”Pemilu ini seperti judi,”kata Ridwan Saidi. Maksudnya banyaknya caleg yang mengeluarkan uang milyaran dan berharap uang akan balik modal ketika ia menjabat, memang sekilas seperti judi. Tapi, mungkin orang lain bisa berpendapat seperti investasi dalam dagang.
Meutya Hafidz caleg dari Partai Golkar, dalam sebuah dialog di Metro TV sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan uang 300 juta dalam kampanyenya di Sumatra Utara. ”Mungkin nanti akan menghabiskan sampai 500 jutaan” tuturnya. Mantan wartawan yang pernah disandera mujahidin Irak ini menyatakan bahwa itu adalah biaya untuk spanduk, pamflet, jamuan makan untuk konstituen, tim yang membantunya dalam kampanye dan lain-lain. Ia menyatakan biaya yang ia keluarkan seharusnya sampai 1 milyar sampai kampanye selesai nanti.
Memang biaya pemilu nasional tahun ini luar biasa. Yaitu menurut KPU sebesar Rp. 47.941.202.175.793, hampir 48 trilyun. Dengan jumlah pemilih (DPT) sekitar 174 juta orang. Bila dijumlahkan antara pengeluaran yang dibelanjakan oleh para caleg dan anggaran dari KPU mungkin jumlahnya lebih dari 60 trilyun.
Sistem Pemilu
Memang kalau kita amati, sistem pemilu ini luar biasa borosnya. Bagi orang-orang yang telah mengikuti beberapa pemilu, kemungkinan besar akan jengkel dengan banyaknya spanduk, pamflet, billboard, bendera yang dipajang hampir di tiap gang, atau jalan-jalan di kota. Bila kita melihat ’model demokrasi’ yang diterapkan di Malaysia atau di negara-negara maju, nampaknya tidak norak seperti yang terjadi di Indonesia.
Pemborosan ini, makin bertambah bila model pemilihan bupati/walikota atau gubernur tidak diubah. Kabarnya di pemerintahan atau DPR sendiri kini sedang diupayakan untuk penghapusan pemilihan langsung kepala daerah itu.
Terhadap pemborosan negara ini, kita teringat nasehat Sultan Muhammad al Fatih, pembebas Konstantinopel Turki kepada anaknya (dan juga kepada para pemimpin-pemimpin negara) : ” Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran.”
Memang bila para calon anggota DPR mengeluarkan ratusan juta atau milyaran dalam kampanye, mungkin kita akan sulit mengharapkan anggota DPR itu tidak memboroskan uang negara. Perhitungan modal atau investasi 1 milyar misalnya, maka anggota DPR mungkin akan berhitung bila gaji mereka di senayan 50 juta sebulan ditambah uang sidang dan lain-lain 60 juta misalnya (bulan-bulan tertentu bisa 75-100 juta), maka dalam waktu tidak lebih dari 17 bulan uang akan balik modal. Maka 43 bulan berikutnya adalah tinggal memanen untung. (Tentu ada pengecualian bagi calon wakil-wakil rakyat yang melarat atau yang mengeluarkan dana hanya puluhan juta).
Padahal, harusnya partai-partai Islam, PKS, PBB, PPP dan lain-lain bila ingin mengadakan perubahan secara fundamental di negeri ini, maka caleg-caleg itu harusnya minta penurunan gaji, bukan kenaikan gaji. Gaji 25 juta dengan ritme kerja DPR Pusat yang kerjanya rombongan itu (lain dengan menteri yang pekerjaannya individual), tentu sudah cukup memadai. Seorang wakil rakyat, apalagi dari partai Islam, harusnya memberikan teladan tidak memboroskan uang negara. Tapi sulit kita mengharap mereka akan minta dan berjuang untuk penurunan gaji, karena perhitungan modal kampanye yang telah mereka keluarkan. Apalagi bila caleg itu tidak bisa mengekang nafsu memmiliki harta itu yang memang tidak ada habisnya. Orang yang kaya biasanya ingin terus bertambah-tambah kekayaannya.
Kenapa gaji DPR perlu diturunkan? Karena DPR adalah wakil rakyat yakni yang mewakili suara rakyat. Ketika gaji DPR besar, maka Gaji Menteri, Presiden atau Pejabat Negara lain ingin lebih besar pula. Karena yang membuat UU untuk penggajian adalah DPR, maka merekalah yang harusnya memberi teladan terlebih dahulu. Mereka seharusnya mikir bahwa di tengah-tengah mereka rakyat miskin masih berjumlah hampir 40 juta orang dengan penghasilan di bawah 200 ribu per bulan. Maka kadangkala timbul pertanyaan di benak gaji wakil rakyat 50 juta sebulan itu halal, haram atau syubhat? (Ingat harta itu adalah harta rakyat. Ibaratnya DPR atau pegawai pemerintah itu seperti amil yang harus mengalokasikan gaji untuk harta yang dkumpulkan amil itu sekedarnya. Bukan menjadi amil kemudian menumpuk-numpuk kekayaan dari harta rakyat itu. Barangkali perkecualian bagi anggota-anggota DPR yang bersedekah separo gajinya atau lebih).
Tidak Memilih?
Melihat gaji, kinerja dan gaya hidup sebagian besar anggota DPR, kita mungkin muak. Mengaku wakil rakyat, tapi seringkali ia hanya mewakili dirinya sendiri atau partainya dan dalam kerja sehari-harinya tidak serius memikirkan rakyat. Bila dalam masa kampanye menyerukan agar berbondong-bondong masyarakat miskin atau kader-kader hadir atau mendukungnya, seringkali setelah terpilih, dan rakyat miskin itu butuh bantuan, kebanyakan penyakit ”pelit bin medit (Jawa, red)” menghinggapi (cerita banyaknya kader-kader yang miskin butuh bantuan tidak dipedulikan anggota DPR itu sangat banyak). Lupa otaknya terhadap kader-kader yang naik motor berpanas-panasan, bensin beli sendiri, bahkan kadang-kadang harus merelakan cuti kantor atau tidak mendapatkan uang hari itu karena mendukung caleg atau partai itu.
Akhirnya dengan model gaya hidup anggota DPR itu, banyak orang berfikir nggak ada gunanya untuk milih. Kelakuan partai sekuler dan partai Islam ternyata sama saja.
Kita memahami cara berfikir orang-orang golput ini. Tapi pertanyaannya ’dengan tidak memilih itu’ apakah pemilu gagal? Apakah keadaan akan berubah lebih baik? Pertanyaan itu yang harus kita jawab.
Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski kebanyakan wakil rakyat adalah ’brengsek’, tapi masih ada beberapa orang yang baik. Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain. ”Bila kita tidak memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik itu (caleg-caleg partai Islam), jadi hilang,”kata politisi Islam, Hartono Mardjono dan Hussein Umar almarhum. Suara partai sekuler/kristen jadi tambah, karena mereka tidak menganjurkan golput. Bila kita memilih ada kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh warganya memilih. Arti memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah pemilihan dengan orang non Muslim.
Maka penulis ingat ketika Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi tidak menganjurkan golput di tahun 70, 80 atau 90 an, meski saat itu yang naik ke panggung politik adalah para politisi Islam kelas dua. Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin politisi Islam kelas satu, dilarang berpolitik saat itu dan akhirnya membentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Para tokoh itu melihat perubahan masyarakat, bukanlah berpangkal dari politik, perubahan masyarakat dari pendidikan dan dakwah. Politik hanyalah membantu perubahan itu dan ia bukan titik sebab atau sentral perubahan.
Begitulah, keadaan ini kita jalani. Karena kita memang ditakdirkan hidup di Indonesia yang lagi euforia terhadap kebebasan. Kita tidak hidup di Arab Saudi yang tidak ada pemilu. Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini agar lebih baik dan lebih Islami. Dan dalam sunnatullah perubahan sosial, perubahan masyarakat itu terjadi bertahap. Tidak ada perubahan di dunia ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi.
Apalagi dan alhamdulillah kita di Indonesia ini, para tokoh-tokoh Islam pendahulu kita telah memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi landasan negara. Meski kemudian yang disahkan adalah UUD 45 setelah proklamasi 1945, tapi dalam Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45. Menurut tokoh Masyumi Mohammad Roem, Piagam Jakarta itu lebih tinggi dari UUD 45. Karena jiwa lebih tinggi dari fisik. Artinya perjuangan penegakan syariat Islam di negeri ini, mempunyai landasan yang kuat di negeri ini. Tergantung saat ini bagaimana para ahli hukum Islam dan kita semua masyarakat Islam, baik yang berjuang dalam sistem maupun luar sistem bersama-sama mengaplikasikan syariat Islam ini menjadi Undang-undang yang ’applicable’.
Dan sunnatullah perjuangan adalah dimulai dari pemimpin. Baik pemimpin formal (anggota DPR, menteri, bupati/gubernur dll) maupun pemimpin informal (pemegang media massa, kiyai, ustadz, dosen, guru, aktivis gerakan dan lain-lain).
Bila pemimpin tidak memberikan teladan, maka rusaklah pengikut-pengikutnya. Biasanya kerusakan sebuah gerakan, partai atau organisasi, bahkan negara dimulai dari kerusakan pemimpin-pemimpinnya. Pepatah yang terkenal ”Ikan busuk dari kepalanya”. Dan kesederhanaan, tidak bermewah-mewah adalah ciri utama dari seorang pemimpin Islam.
Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim. Jalan ke rumah Agus Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim berkomentar: ”Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan sepeda terbalik.” Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia ditunggangi sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim : ”Een leidersweg is een lijdensweg, Leiden is lijden.” Maknanya : ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, Memimpin adalah menderita.”

Senin, 30 Maret 2009

Para Sahabat Menghafal Hadist?



Selanjutnya, Dr. Harun Nasution menuduh bahwa hadits tidak dihafal pada masa sahabat. Ini adalah tuduhan yang aneh dan menggelikan. Tuduhan ini tidak pantas muncul dari seorang mahasiswa pemula, apalagi dari seorang profesor. Alasannya, dalam logika sederhana, jika tidak ditulis atau tidak dihafal, bagaimana sunnah bisa sampai dari sahabat kepada generasi berikutnya?

Terdapat banyak bukti bahwa para sahabat r.a. menghafal banyak hadits. Di sini, penulis mengutip beberapa pengakuan sahabat dan tabi’in yang menegaskan bahwa sebelum ditulis, hadits lebih dahulu dihafal. Dalam hal ini, keterangan mereka diposisikan untuk menjawab tuduhan Harun.

Para sahabat r.a. sepenuhnya sadar bahwa sunnah adalah bagian tidak terpisahkan dari agama Allah. Seperti telah kami sebutkan, Al-Qur’an menyuruh taat kepada perintah Rasulullah saw. dan menjauhi larangannya, untuk meneladaninya, dan mengikuti sunnahnya. Bahkan, Rasulullah saw. mengancam orang yang meninggalkan dan mengabaikan sunnah dengan dalih bahwa Al-Qur’an sudah memadai.

Sejak awal Rasulullah saw. telah mengungkap adanya kelompok-kelompok tertentu yang bertujuan merobek-robek Islam dengan jalan memisahkan kitabullah dari sunnah. Mereka berasumsi bahwa yang wajib diikuti hanyalah Al-Qur’an dengan mengabaikan sunnah. Rasulullah saw. telah mengetahui kecenderungan ini sejak awal, sehingga beliau merasa perlu memperingatkan agar umatnya tidak terjebak.

Beliau saw. bersabda, “Nanti akan datang suatu masa saat seorang dari kalian sedang duduk di peraduannya, lalu diajukan kepadanya perintah dan laranganku, lalu ia berkata, ‘Aku tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang ada dalam kitab Allah saja’.” (Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz 1, hlm. 108. Ia mengatakan shahih berdasarkan kriteria Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Para sahabat itu telah merasakan peran penting sunnah sejak turunnya ayat Qur’an yang bersifat mujmal (umum, membutuhkan perincian), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Semua kewajiban ini tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan sunnah. Mereka tidak dapat memahaminya kecuali dengan kembali kepada Rasulullah saw. sebagai penerapan dari firman Allah SWT (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44).

Selain itu, beberapa ayat bersifat umum dan mutlak, dan para sahabat tidak tahu teknis pelaksanaannya. Mereka merujuk pada sunnah tentang pengecualian ayat yang bersifat umum atau pembatasan ayat yang bersifat mutlak. Di samping itu, seperti h alnya Al-Qur’an, sunnah juga menetapkan hukum secara independen karena tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

Oleh karena itu, para sahabat sangat membutuhkan sunnah. Kebutuhan ini mengharuskan mereka meriwayatkan, menjaga, menghafal, dan mewariskan hadits kepada generasi yang lahir sesudahnya. Mereka serius mengawal sunnah, sejak menerimanya dari Rasulullah saw. hingga menyampaikan kepada generasi berikutnya dengan cara yang shahih dan metode yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi dengan cara menambah atau menguranginya. (Rif’at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 26).

Oleh karena itu, tuduhan Harun yang menyatakan bahwa hadits tidak dihafal pada masa sahabat adalah tuduhan atau anggapan yang keliru. Ini bisa dilihat dari keterangan-keterangan sebagai beirkut.

Abu Nadhrah, seorang tabi’in, mengisahkan perbincangannya dengan Abu Sa’id. Ia minta Abu Sa’id menuliskan hadits-hadits Rasulullah saw. karena ia tidak mampu menghafal. Abu Sa’id menolak. Alasannya, hafalan adalah alat utama dalam menjaga sunnah Nabi dan jalan paling banyak digunakan para sahabat.

Abu Nadhrah berkata, “Saya berkata kepada Abu Sa’id, ‘Tolong tuliskan hadits karena kami tidak bisa menghafal.’ Abu Sa’id menjawab, ‘Kami tidak menulisnya untuk kalian dan kami tidak menjadikannya sebagai mushaf. Ia menceritakannya dan kami menghafalnya. Pesannya, ‘Hafalkanlah dari kami seperti kami menghafalnya dari Nabi’.” (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 36). Senada dengan hal itu, Abu Musa al-Asy’ari berpesan, “Hafalkanlah dari kami sebagaimana kami menghafal sebelumnya.” (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 40).

Terdapat banyak keterangan, khususnya tentang sahabat yang terkenal banyak menghafal hadits dan riwayat, seperti Abu Hurairah r.a. Said bin Abu Hasan berkata, “Tidak ada sahabat Nabi saw. yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. selain Abu Hurairah.” (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 41).

Pola kehidupan sahabat ini diwarisi oleh generasi tabi’in yang datang kemudian. Abu Sofyan menegaskan sikapnya untuk tidak menulis dan mengandalkan hafalan di luar kepala. Ia berkata, “Aku tidak menulis hadits dari Abu Hurairah, tetapi kami menghafalnya.” (Al-Khatib, Taqyid al-Ilm, hlm. 47).

Demikianlah, para tabi’in terlatih menghafal hadits dan tidak beralih pada penulisan, kecuali dalam beberapa situasi. Khalid al-Hadza’ (141 H) berkata, “Aku tidak menulis sesuatu kecuali sebuah hadits yang panjang. Jika aku telah menghafalnya, aku lalu menghapusnya.” (Ar-Ramahurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal Wa’i, tahqiq Dr. M. ‘Ajjaj al-Khathib, Dar al-Fikr, Dimasyq, cet. pertama, tahun 1391 H/1971 M, hlm. 59). Keterangan senada juga diriwayatkan dari ‘Ashim bin Dhamrah.

Imam Adz-Dzahabi meringkas karakteristik ilmiah geenerasi pertama: “Sesungguhnya ilmu sahabat dan tabi’in itu ada dalam hati mereka (dihafal di luar kepala, pen.). Ini adalah gudang penyimpanan ilmu mereka,” ungkap Adz-Dzahabi. (Dinukil dari Dr. Yusuf al-’Isy, dalam Taqyid al-Ilm, hlm. 6).

Abu Thalib al-Makki (381 H) menyebutkan, generasi pertama tabi’in tidak suka mencatat hadits. Mereka berkata, “Hafalkanlah seperti kami menghafal.” (Abu Thalib Muhammad bin ‘Athiyah al-Haritsi al-Makki (387 H) Qut al-Qulub Mathba’ah al-Anwar al-Muhammadiyah, Kairo, tahun 1405 H-1985 M, juz 1, hlm. 351).

Inilah sikap mereka dalam menjaga sunnah. Seperti digambarkan Ibnu Hajar, “Sekelompok sahabat dan tabi’in tidak suka penulisan hadits dan lebih suka bila orang meriwayatkan dari mereka dengan cara menghafal, seperti cara yang dulu mereka gunakan. Namun, ketika perhatian berkurang dan para ulama khawatir hilangnya hadits, mereka lalu menulisnya.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 1, hlm. 208).

Kalangan yang mengamati bangsa Arab masa jahiliah dan permulaan Islam tahu pasti bahwa mereka memiliki ingatan kuat. Mereka biasa pergi ke suuq al-adab (pasar sastra) dan membacakan syair dalam bentuk qashidah (kumpulan bait syair). Dengan sekali mendengar, mereka langsung menghafalnya.

Dengan kondisi ini, wajar jika Rasulullah saw. menjelaskan karakter umat ini lewat sanadnya, “Injil mereka ada dalam hati mereka. Mereka membacanya dengan lancar.” (Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani [430 H] Dalail an-Nubuwah, Maktabah an-Nahdhah, Baghdad, tahun 1983 M, hlm. 30-31). Maksudnya, “Seolah-olah lembaran-lembaran buku itu ada dalam hati mereka.” (Dr. Abdul al-Muhdi bin ‘Abdil Qadir bin ‘Abdul Hadi, As-Sunnah an-Nabawiyah: Makanatuha, ‘Awamil Baqa’iha, wa Tadwinuha, Daru al-I’tisham, Kairo, cet. pertama, tahun 1409 H, hlm. 73).

Qatadah berkata, “Ketika telingaku mendengar sesuatu, aku langsung menghafalnya.” Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “Bila melintas di kawasan Baqi’, aku terpaksa menutup telinga. Aku khawatir mendengar kata-kata tidak sopan. Demi Allah, aku tidak pernah melupakan apa yang kudengar.” (Ibnu ‘Abdil Barr, Jami’ Bayan al-’Ilm wa Fadhlihi, juz 1, hlm. 83). Di tempat lain Az-Zuhri berkata, “Aku tidak mengulang satu hadits pun. Aku tidak pernah ragu terhadap sebuah hadits kecuali satu hadits saja. Aku lalu bertanya kepada seorang sahabatku dan ia menyebutkan seperti yang kuhafalkan.” (Az-Zahabi, Tadzkirah al-Huffazh, juz 1, hlm. 111). Jumlah hadits yang dihafal Az-Zuhri, seperti disebutkan Abu Daud mencapai 2.200 hadits, setengahnya dalam bentuk musnad. Tadzkirah al-Huffazh, juz 1, hlm. 109).

Berbagai keterangan ini menjelaskan bahwa menghafal adalah cara utama dalam menjaga sunnah, baik pada periode sahabat maupun tabi’in. Cara lainnya adalah menulis, seperti yang juga diawali pada masa Nabi saw.

Bukti Perhatian Para Sahabat terhadap Sunnah

Berbagai bukti perhatian para sahabat terhadap sunnah dapat dirinci sebagai berikut.
1. Semangat yang tinggi dalam mendengar hadits. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis Rasulullah saw. untuk mendengarkan sabda dan menyaksikan seluruh perbuatannya. Jika sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan hingga tidak bisa hadir, mereka datang bergantian. Targetnya, agar orang yang hadir bisa menyampaikan kepada yang tidak hadir.

2. Mereka tidak pernah jenuh mendengar hadits dari Rasulullah saw. lebih dari satu kali. Bahkan, sebagian sahabat berpendapat bahwa seseorang tidak boleh meriwayatkan hadits kecuali telah mendengarnya lebih dari tiga kali.

Amir bin Abasah berkata, “Seandainya aku tidak mendengarnya dari Rasulullah saw. kecuali satu, dua, atau tiga kali, hingga tujuh kali, selamanya aku tidak akan menceritakannya. Namun, aku mendengarnya lebih dari jumlah itu.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 571. Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Islam ‘Amru bin ‘Absah, no. hadits 294). Senada dengan itu, Abu Umamah juga berkata, “Kalau aku tidak mendengar dari Nabi saw. kecuali hanya tujuh–Abu Said berkata, ‘kecuali tujuh kali’–aku tidak meriwayatkannya.” (Musnad Ahmad, juz 5, hlm. 264).

3. Mereka sangat berhati-hati dalam mendengar dan menghafal hadits. Hal ini dalam rangka menjaga kemurnian dan orisinalitas riwayatnya, tanpa distorsi dan penyimpangan sekecil apa pun. Seolah-olah mereka selalu menaruh di depan mata peringatan Rasulullah saw., “Siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (Al-Haitsami, Majma’ az-Zawa’id, juz 1, hlm. 143 dan rawi-rawinya shahih). Ini adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, seperti disebutkan Imam Suyuthi. (Jalal al-Din ‘Abd. al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi (849-911 H), Tahdzir al-Khawash min Akadzib al-Qushshos, Tahqiq Muhammad ash-Shabbagh, Al-Maktab al-Islami, Dimasyq, cet. 1, tahun 1392 H, hlm. 8-57).

Khawatir jatuh dalam berbuat dusta terhadap Rasulullah saw., membuat sahabat bersikap ekstra hati-hati dalam mendengar dan menerima hadits. Utsman bin Affan berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. kecuali keinginanku untuk menjadi sahabat yang paling berhati-hati meriwayatkan dari beliau. Aku bersaksi bahwa aku mendengar beliau bersabda, ‘Siapa yang mengatakan dariku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka’.” (Musnad Ahmad, juz 1, hlm. 65).

Ali r.a. juga mengungkapkan kekhawatirannya jika mendengar hadits secara tidaka semestinya, atau menghafalnya secara keliru sehingga salah dalam menyampaikan dan mengucapkan berita yang bersumber dari Rasulullah saw., “Soal berita dari Rasulullah, lebih baik aku dilemparkan dari langit daripada mengatakan apa yang tidak beliau katakan,” papar Ali bin Abi Thalib r.a. (Shahih Bukhari, juz 2 hlm. 531, Kitab Al-Manaqib, Bab ‘Alamat an-Nubuwwah, no. hadits 3611; Kitab Al-Istitabah, Bab Qatl al-Khawarij wa al-Mulhidin Bakda Iqamah al-Hujjah ‘alaihim, no. hadits 6930).

Kenyataannya, tidak semua sahabat mendengar sabda dan melihat perbuatan Nabi saw. karena sebagian mereka sibuk dengan urusan pribadi dan kemaslahatan umat, hingga tidak sempat menghadiri majelis Rasulullah saw. Akibatnya, mereka terpaksa mendengar melalui rekannya. Walau demikian, dalam kondisi ini, mereka tetap bersikap ketat bahkan terhadap rekan mereka sendiri. Fakta ini dijelaskan Al-Bara’ bin Azib, “Tidak semua hadits kami dengar dari Rasulullah saw. Orang yang menceritakan adalah para sahabat kami sementara kami sibuk memelihara unta. Sementara itu, para sahabat Nabi saw. meminta apa yang tidak langsung mereka dengar dari Rasulullah saw. lalu mereka dengar dari rekannya dan dari orang yang lebih hafal dari mereka. Mereka dikenal ketat terhadap orang yang mereka dengar.” (Al-Hakim, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, hlm. 14; Jalal al-Din as-Suyuthi, Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah, Tahqiq Muhibbudin al-Khatib, Al-Maktabah al-Salafiyah, Kairo, cet. pertama, tahun 141, hlm. 21).

Dalam beberapa kondisi, sikap hati-hati ini mengakibatkan para sahabat menyuruh rekannya sendiri bersumpah di hadapan mereka Ali bin Abi Thalib r.a. melakukan hal ini jika ia mendengarkan nya lewat perantara orang lain dan tidak langsung dari Rasulullah saw. (Al-Hakim, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits, hlm. 15; Ar-Rahamurmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil, hlm. 518).

Ini tidak berarti para sahabat mendustakan orang yang menyampaikan hadits pada mereka. Sama sekali tidak. Tidak ada satu pun bukti bahwa salah seorang sahabat r.a. meragukan kejujuran saudaranya, apalagi menuduhnya berdusta. Yang mereka khawatirkan adalah kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits, sehingga menyampaikan hadits dengan tidak semestinya.

Jika kita memahami sikap hati-hati dan perhatian para sahabat dalam menjaga sunnah, baik dalam hafalan dan periwayatan, kita dapat memahami beberapa sikap yang mereka ambil pada rekan dan saudara mereka sendiri. Misalnya, menyuruh bersumpah, meminta saksi, tawaqquf (berhenti dan tidak mengambil sikap) terhadap sebuah hadits, dan berbagai sikap keras lainnya dalam menerima riwayat. Hal ini didasari oleh beberapa hal sebagai berikut.
1. Rasa bertanggung jawab terhadap sunnah, agar diwariskan generasi berikutnya dengan benar. Hal ini tidak menunjukkan bahwa para sahabat meragukan kejujuran rekan-rekannya, apalagi menuduh mereka berdusta. Pasalnya, mereka adalah sebaik-baik umat yang diperuntukkan bagi manusia. Allah SWT sendiri telah memuji mereka di banyak tempat di dalam Al-Qur’an.

2. Perbedaan pendapat terjadi dalam memahami beberapa hadits dan simpulannya. Hal ini bisa terjadi jika makna sebuah hadits pernah dipraktikkan pada suatu masa dan setelah itu dihapus (naskh). Padahal, perawi hadits ini belum mendengar berita tentang penghapusan, sehingga ia masih terus mengamalkannya. Situasi lain adalah sifat tawaqquf (abstain) sebagian sahabat terhadap hadits yang belum mereka dengar, sampai mereka yakin bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw. Setelah y akin, mereka tidak ragu menerima dan mengamalkannya, bahkan menyesal karena tidak mendengarnya secara langsung. (Rir’af Fauzi, Al-Madkhal ila Tautsiq as-Sunnah, hlm. 36).

Dalam masalah ini, tidak sedikit peneliti kontemporer yang salah membuat konklusi. Mereka mengira sikap kritis sebagian sahabat dalam menerima beberapa hadits dilatari oleh keraguan mereka terhadap kejujuran dan integritas pembawa berita (perawi). Tampaknya, Harun Nasution berada dalam kelompok ini.

Bersambung …!

Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 59-69).

Awal Penetapan Sanad



Harun menuduh bahwa para sahabat menerima semua hadits sekalipun yang palsu, dan pada saat yang sama, menuduh mereka terlalu ketat dalam menerima hadits karena ragu terhadap integritas rawi. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. Kita lihat keterangan berikut ini untuk menilai sejauh mana kebenaran dari tuduhan Harun tersebut. Awal Penetapan Sanad

Generasi awal Islam, sejak masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka. Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu.

Pengaruhnya, para sahabat Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.

Pertama, membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat. Hadits yang selaras dengan hadits yang dihafal diterima dan yang bertentangan ditolak. Imem Muslim meriwayatkan dalam pengantar Shahih-nya dari Ibnu Abi Malikah, ia berkata, “Aku menulis permintaan pada Ibnu Abbas agar menuliskan untukku sebuah kitab dan menyembunyikannya dariku. Ia berkata, ‘Anak cerdas. Aku dimintanya untuk memilih beberapa masalah, lalu aku sembunyikan darinya’.” Ibnu Abi Malikah selanjutnya berkata, “Lalu Ibnu Abbas mencari dan mengumpulkan putusan hukum Ali dan menulisnya. Saat menemukan ada yang janggal dalam catatan itu, ia berkata, ‘Demi Allah, Ali tidak pernah memutuskan hal seperti itu, kecuali jika ia telah sesat’.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).

Kedua, menyelidiki kepribadian, integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang ulama tabi’in bernama Muhammad bin Sirin berkata, “Generasi awal umat ini tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman), mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami para perawi Anda.’ Kemudian mereka selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika ahlu al-bid’ah, haditsnya ditolak.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah, Bab Bayan anna al-Isnad min ad-Din).

Ketiga, mempertanyakan sanadnya, seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits, kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, awal pemalsuan hadits adalah akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sebagai respon terhadap situasi ini, lahir pula kritik terhadap matan dan isnad. Hal ini akhirnya tidak memberi kesempatan kepada pengikut bid’ah dan hawa nafsu untuk melempar tuduhan dan menjadikannya bagian dari agama dan syariat. (Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 44).

Dengan demikian, jelaslah bahwa para sahabat bersikap sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits, misalnya tindakan Umar yang meminta saksi jika hatinya ragu atau sikap Ali yang menyuruh sebagian rawi bersumpah.

Dalam situasi ini, kita tidak bisa membayangkan tuduhan Harun bahwa sahabat menerima setiap hadits, sekalipun maudhu’ (palsu), akibat kesibukan mereka mencari solusi berbagai masalah umat. Di sisi lain, tuduhan ini juga kontradiksi dengan tuduhan Harun lainnya yang menyebutkan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Ali r.a. tidak mudah menerima sebuah hadits. Mereka meminta bukti penguat sehingga para sahabat seolah-olah saling meragukan. Pemahaman dan cara berpikir Harun tampak rancu dalam hal ini.

Pada bagian lain, Harun menuduh bahwa pascawafatnya Nabi saw., khususnya pada abad ketiga, sulit membedakan hadits shahih dan palsu karena jumlah hadits yang begitu banyak. Tampaknya Harun beralasan dengan pernyataan Bukhari yang menyaring 600.000 hadits menjadi 3.000 hadits. Lalu, Harun menyimpulkan bahwa hadits yang ditinggalkan Bukhari tidak shahih.

Benarkan demikian? Tuduhan ini hanya akan muncul dari orang yang tidak mengetahui kerja keras para ahli hadits di dalam menyaring sunnah, baik sanad maupun matannya. Sebelumnya telah dijelaskan perhatian ulama dalam menjaga sunnah sejak masa Rasulullah saw. Mereka mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling penting adalah sebagai berikut.

Pertama, menjaga sanad (mata rantai rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga kelompok bid’ah dan batil dapat membuat-buat hadits. (Dr. Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, hlm. 139).

Dalam hal ini, komentar Abdullah bin Mubarok menjadi sangat tepat, “Sanad termasuk bagian dari agama, tanpa sanad setiap orang dapat mengatakan apa saja yang ia inginkan.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 15, Al-Muqaddimah).

Sanad mulai ditetapkan sejak timbulnya pemalsuan hadits, yaitu setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. atau pada akhir pertengahan abad pertama Hijriah. Sehingga, para pengikut hawa nafsu dan bid’ah tidak punya kesempatan untuk menyerang sunnah.

Seorang ulama dari kalangan tabi’in yang bernama Mujahid menceritakan sikap hati-hati para ahli hadits. Begitu hati-hatinya sampai mereka tidak mau menerima hadits kecuali dari orang yang mereka kenal. Imam Muslim meriwayatkan dalam pengantar kitab Shahih-nya, dari Mujahid, bahwa Busyair al-Adawi datang kepada Ibnu Abbas r.a., lalu mulai menceritakan sebuah hadits. Ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda yang bunyinya begini dan begini.” Tetapi, Ibnu Abbas tidak memedulikan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya.

Busyair lalu berkata, “Hai Ibnu Abbas, mengapa Anda tidak mau mendengar hadits dariku? Aku menceritakan sebuah hadits dari Rasulullah saw. dan Anda tidak mau mendengarkan!” Ibnu Abbas r.a. menjawab, “Dulu, jika mendengar seseorang mengatakan Rasulullah saw. bersabda, pandangan kami segera mengarah padanya dan segera kami memasang telinga. Akan tetapi, setelah orang dilanda fitnah dan kahinaan, kami hanya menerima hadits dari orang yang kami kenal.” (Shahih Muslim, juz 1, hlm. 13, no. hadits 7).

Kedua, menyelidiki sejarah hidup rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini berkata, “Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kehidupan perawi adalah setengah ilmu.” Para ulama kemudian menyusun biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama yang jumlahnya banyak sekali. Anda akan mengetahui hal ini jika merujuk pada kitab Ar-Risalah al-Mustathrafah karya Syaikh al-Kitani. Contoh kitab lainnya adalah At-Tarikh oleh Yahya bin Ma’in, seorang pakar di bidang Jarh wa at-Ta’dil, At-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari, Jarh wa at-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi, dan lainnya.

Ketiga, melakukan kritik rawi. Para ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan, kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau teman mereka sendiri.

Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia berkata, “Tanyakan kepada orang lain tentang beliau.” Ketika orang tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, “Ini adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif).”

Tak satu pun ulama yang sungkan untuk menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun orang yang paling dekat dengan mereka. Waki’, guru Imam Syafi’i, selalu menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, “Anakku, Abdullah, adalah seorang pendusta.” (Abdullah bin Sulaiman, wafat tahun 316 H. Lihat Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz 9 hlm. 464).

Zaid bin Abi Unaisah (w. 124 H) berkata, “Janganlah kalian mengambil hadits dari saudaraku, yaitu Yahya.” Semakna dengan itu adalah komentar Adz-Dzahabi tentang anaknya yang bernama Abu Hurairah (w. 779 H), “Sesungguhnya ia dulu pernah menghafal Al-Qur’an, lalu ia sibuk hingga melupakannya.” (Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Muhammad as-Sakhawi (831-902 H), Al-I’lan bi at-Taubikh Liman Dzamma al-Tarkih, Tahqiq Frans Rosenthal, penerjemah Dr. Shaleh Ahmad al-’Ali, Mu’asasah ar-Risalah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1407, hlm. 112-113; Muqaddimah Shahih Muslim, juz 1, hlm. 27; Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 83; Dr. ‘Abd al-Muhdi, As-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 89).

Keempat, kritik matan dan makna hadits. Kritik yang dilakukan para ahli hadits tidak hanya terbatas pada sanad, seperti anggapan sebagian orang. Kritik juga meluas pada matan dan makna hadits. Hal ini sudah dimulai sejak masa sahabat dan tumbuh berkembang pada era berikutnya.

Kelima, ilmu jarh wa at-ta’dil. Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.

Dengan ilmu ini, kaum salaf (terdahulu ) dan khalaf (belakangan) berhasil menyingkap berbagai illat (penyakit) dalam setiap hadits yang diriwayatkan. Di antara orang-orang yang dikaruniai kemampuan dalam bidang ini adalah Asy-Sya’bi, Al-A’masi, Ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya bin Sa’id al-Qatthan, Abdur Rahman bin Mahdi, Abu al-Walid ath-Thayalisi, Yahya bin Ma’in, dan lainnya. Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, set. Pertama, tahun 1404 H, hlm. 100).

Keenam, penulisan kitab tentang hadits maudhu’ (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas, para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak. Sebagai contoh, Imam Ishaq bin Rahawaih menghafal 4.000 hadits palsu. (Al-Khatib, Tarkih Baghdad, juz 6, hlm. 352).

Para ulama menulis banyak kitab tentang hadits palsu, terpisah dari kitab tentang rawi yang lemah dan tercela. Mereka menjelaskan profil orang-orang yang biasa berdusta dan memalsukan hadits. Mereka menyingkap pribadi para pemalsu hadists dan menyertakan hadits-hadits palsu yang diriwayatkannya agar orang lain waspada.

Sebagai contoh adalah kitab Adh-Dhu’afa oleh Imam Bukhari, Adh-Dhu’afa oleh Imam Nasa’i, Adh-Dhu’afa oleh Imam Al-’Uqaili, dan Adh-Dhu’afa wa al-Matruukiin oleh Ibnu Hibban. Sebagian ulama juga menulis buku-buku khusus tentang orang-orang yang biasa memalsukan hadits, seperti kitab Al-Kasyf al-Hadits ‘Amman Rumiya bi Wadh’ al-Hadits oleh Hafidz Burhanuddin al-Halabi. (Muqaddimah Syaikh ‘Abdul Wahhab dalam kitab Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah, hlm. (ha) dan (ya).

Para pakar hadits mengidentifikasi hadits palsu dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui hadits palsu, di antaranya sebagai berikut.
1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia memalsukan hadits, atau indikasi lain yang setingkat dengan pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur’an pada setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru belum pernah datang ke sana.

2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.

3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi pribadi rawi.

4. Indikasi yang berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan, seperti yang bertentangan dengan akal sehat dan tidak bisa ditafsirkan, bertentangan dengan makna Al-Qur’an yang qath’i, atau hadits mutawatir atau ijma’ (kesepakatan) yang sifatnya qath’i (punya kebenaran dan makna pasti). (Ali bin Muhammad bin ‘Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudhu’ah. Tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif dan ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 5-8).

5. Kerancuan susunan bahasa hadits dari segi bahasa. Dalam masalah ini, Ibnu Daqiq al-Id berkomentar, “Banyak ulama yang menghukum palsu sebuah hadits karena faktor-faktor yang berkaitan dengan matan dan susunan bahasa hadits. Karena seringnya bergumul dengan hadits, mereka akhirnya memiliki kepekaan dan kemampuan membedakan redaksi Nabi dan bukan.” (Ali bin Muhammad bin ‘Araq al-Kinani (907-963 H), Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar al-Syani’ah al-Maudhu’ah. Tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif dan ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, Daru al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. Pertama, tahun 1399 H, juz 1, hlm. 6).

Di sini tampak kesungguhan para ulama di dalam mengawal sunnah dari kebohongan dan pemalsuan, sehingga para pembenci, perusak, dan pendengki sunnah tidak mampu mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip yang diletakkan para ulama membuat tiap ulama dan penuntut ilmu dapat membedakan antara hadits shahih dan maudhu’ (palsu). Mereka bisa mengetahui rawi yang jujur dan berbohong, yang benar dan yang salah, yang cermat dan ceroboh.

Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin Al-Mubarak tentang kekhawatiran terhadap sunnah dari ulah kaum pendusta dan perusak, “Bagaimana dengan hadits-hadits palsu itu?” Ibnul Mubarak menjawab, “Para pakar telah menguasainya.” Allah SWT berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami juga yang menjaganya.” (Al-Hijr: 9).

Bersambung …!

Sumber: Diadaptasi dari Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Bandung: Syaamil, 2006), hlm. 77-85