Rabu, 08 Juli 2009

Iman Dan Tujuan Hidup Muslim




“Dua yang paling utama: iman kepada Allah dan berguna bagi kaum muslimin. Dua yang paling buruk: menyekutukan Allah dan membahayakan kaum muslimin.” (Rasulullah Saw)

Iman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya merupakan esensi Islam dan landasan bagi totalitas kehidupan manusia. Ia adalah pengakuan dan penyaksian akan keesaan Allah Swt sebagai prinsip tertinggi dari seluruh ciptaan, semua wujud, dan kehidupan.

Dengan iman dan tauhid tata kehidupan dibersihkan dari berbagai jenis keraguan yang menyangkut trandensi Tuhan dan keesaan-Nya; yang menyangkut tujuan hidup dan identitas peradaban; dan yang menyangkut seluruh nilai-nilai kehidupan.

Tingkat dan ketinggian keimanan dan ketauhidan seseorang tergantung kepada tingkat ma'rifat, keyakinan, dan kesaksiannya bahwa "tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya".

Refleksi otentiknya wujud dalam penghambaan yang tulus hanya kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya yang melebihi kecintaannya kepada siapapun selain-Nya. Dalam diri hamba-Nya yang sejati bertahta kultur spiritual-ideologis yang memberikan panduan bagi amal shalih, amal yang dimotivasi oleh kesadaran penghambaan yang tulus yang ditujukan semata-mata kepada Allah demi meraih ridha-Nya dan dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum-hukum Allah yang tertuang dalam wahyu dan sunnatullah.

Terbebas dari rasa takut dan gundah adalah implikasi psikologis beriman dan beramal shalih. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS, al-Baqarah [2]: 277).

Sedangkan implikasi sosialnya adalah kehidupan yang baik yang kebaikannya dapat menembus segala dimensi, ruang, dan waktu. "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS, al-Nahl [16]: 97)

Sedangkan syirik (menyekutukan Allah) dan segala derifasinya merupakan refleksi dari kekacauan paradigma dan persepsi tentang Tuhan dan alam. Kekacauan persepsi tentang dua realitas yang sama sekali mutlak berbeda dalam wujud atau eksistensinya: Tuhan dan bukan Tuhan, Khalik dan makhluk.

Syirik suatu konsep yang coba menyatukan atau menyamakan, memasukan, dan bahkan mengacaukan dua realitas yang mutlak berbeda itu. Maka secara obyektif syirik diartikan menuhankan sesuatu yang bukan Allah, dan secara subyektif diartikan memberikan kekuasaan-kekuasaan (otoritas) dan kualitas-kualitas setengah tuhan kepada benda, para pendeta, atau para pemimpin sekuler untuk mengatur segala urusan.

Dalam Islam, pengetahuan dan tindakan syirik diyakini sebagai bentuk kezhaliman terbesar yang implikasi buruknya sangat luas. Secara psikologis syirik hanya membiakkan kebimbangan, kegelisahan, dan tragedi kemanusiaan.

"Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim." (QS, Ali 'Imran [3]: 151).

Oleh sebab itu Imam Ghazali memandang syirik sebagai penyakit hati yang paling buruk. Implikasinya sangat serius bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik kehidupan di dunia sekarang ini lebih-lebih bagi kehidupan di akhiratnya nanti. "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS, Luqman [31]: 13).

Sedangkan kezhaliman itu adalah kegelapan yang akan meneggelamkan seluruh tatanan yang berakibat membiaknya kerusakan, anarkhisme, dan kekacauan.

Sepanjang sejarah manusia kezhaliman terbukti menyeret seluruh kehidupan manusia ke dalam lorong-lorong kegelapan yang mengerikan. Fitnah dan kesengsaraan yang ditimbulkannya tidak hanya menimpa pelaku kezhaliman melainkan juga orang-orang yang tidak melakukannya.

"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS, al-Anfal [8]: 25). Maka "Jauhilah syirik karena syirik itu kegelapan yang berlapis-lapis di hari Kiamat." (HR, Bukahri).

Selasa, 14 April 2009

Pembagian Hukum Dalam Islam

PEMBAGIAN HUKUM SYARI’AH
A. HUKUM TAKLIFI Yaitu tuntutan Allah yang berkaitan degan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalknannya.
1.Wajib ( tebagi 4 )
1.wajib dari segi waktu ( muasa’ dan mudoyyak ) co. sholat dan kifarat
2.wajib dari segi perintah melaksanakan ( ain dan kifayah ) co. sholat pardu dan
mengurus jenazah
3.wajib dari segi ukuran ( muhaddad (terbatas atau sudah ditentukan kadarnya )dan ghoir muhaddad ) co. zakat, rakaat solat,,,,, tolong menolong, sodaqoh, dll
4.wajib muayyan ( tertentu ) dan Mukhayyar ( memilih ) co. solat, puasa,,,,kifarat

2.Mandub/ Sunnah/ Mustahab ( terbagi 3 )
1.sunnah muakadah (diutamakan). Co. shlata jamaah, azan, surat setelah alfatihah dll/
2.sunnah zaidah atau nafilah. Co. puasa senin kamis, sodaqoh, solat sunah dll.
3.sunnah mustahab, adab, atau fadlilah ( pelengkap ) co. perbuatan rasul yg manusiawi co. cara tidur, berpaiakaun dll.

3.Haram ( terbagi 2 )
1.haram lidzatihi ( semula, asal ). Co. zina, mencuri, dll.
2.Haram karena sesuatu yg baru( Lighoirihi / Aridi ). Co. jual beli dg penipuan,
menikah u/ menyakiti. dll
4.Makruh ( dibenci ) Co. sikat gigi waktu puasa, dll.
5.Mubah ( boleh mengerjakan atau meninggalkan ) Co. tidur dikasur, makan di piring, minum apaki gelas. dll


B.HUKUM WADH’I adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atausebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut..
1. Sebab ( sesuatu yg dijadikan indikasi adanya sesuatu yg lain yg menjadi akibat , sekalogus menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab.
Co. adanya perintah shalat sebagai sebab ( menyebabkan ) wajibnya wudlu. Qs almaidah : 6.
Adanya pencurian sebagai sebab kewajiban mempotong tanga ( QS Al MAidah : 38 )
Adanya pergeseran waktu sebagai sebab wajibnya shalat pardu. ( QS Al Isra : 78 )
Terlihatnya bulan pada awal bulan ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa pada awal bulan itu. ( QS 2: 185)
2. Syarat ( sesuatu yg ada atau tidak adanya hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya sesuatu itu.
Co. adanya hubungan suami istri menjadi syarat sahnya menjatuhkan thalaq.
Wudu menjadi syarat sahnya shalat.
3. Mani’ ( Penghalang ) sesuaatu yang dapat menyebabkan tidak adanya atau membatalkan sebab.
Co. seorang ahli waris terhalang mendapatkan waris karena beda agama.
Hukum qissos terhalang karena pembunuhnya adalah bapaknya.
4. Rukhshoh ( keringanan ) dan Azimah ( hukum semula yg tidak dukhusukan pd kondisi atau mukalaf ) terbagi 3

1. boleh meninggalkan kewajiban ketika ada uzur kesulitan dalam melaksanakannya.
Co. yg sakit atau dalam perjalanan ketika puasa ( QS 2: 184 ). Mengkosor sholat ( QS 4: 101 )
2.membenarkan sebagian akad yg menjadi pengecualian. Co. Karena menjadi kebutuhan manusia, salam ( akad jual beli yg belum ada barangnya dan hanya menyebutkan sifat dan ukurannya ) asalnya haram menjadi boleh. Sesuai hadits arasul saw.
3. . menghapus hukum yg telah ditetapkan karena akan menjadi beban umat muihammad saw. Co.
keharusan memotong yg terkena Nazis, menuneikan zakat ¼ harta, membunuh jiwa untuk bertobat dari maksiat, tidak boleh shalat kecuali di masjid. Dll.

5. Benar dan Batal ( suatu penilaian syara’ dari perbuatan mukalaaf jika sesuai sraya’ maka benar dan jika tidak sesuai syara’ maka batal )

Hukum taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan degan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Atau sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan mukallaf atau menuntut untuk berbuat atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalknannya.
1.Wajib
2.Mandub/ Sunnah/ Mustahab
3.Haram
4.Makruh
5.Mubah

Hukum Wad’I adalah perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atausebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut..
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’ ( Penghalang )
4. Rukhshoh dan Azimah
5. Benar dan Batal



2.Al Hakim ( yang menetapkan sumber hukum syara bg seluruh tindakan mukallaf adalah Allah SWT ) ( QS : 6 : 57 ) masalah : apa yang dipakai u/ mengetahu hukum Allah.

Ada 3 pendapat :
1. Madzhab As’ariyyah ( akal manusia bias mengetahui hukum Allah lewat mediaotor Rasul dan kitab Allah. ) tolak ukur baik dn buruk adlah hukum syara’ bukan akal.
2. Madzhab Mu’tazilah( akalmanusia mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa mediator Rasul dan kitab yg dibawanya. ) sebab setiap erbuatan mukallaf mengandung sifat dan akibat yg membuat akal mampu mengambil keputusan positif dan negatif
3. Madzhab Amturidiyyah. ( jalan tengah ) sepakat dg mu’tajilah bahwa perbuatan baik atau buruk itu termasuk sesuatu yg terjangjkau leh akal mengenai manfaat dan madaratnya, tetapi mereka berbeda dg mu’tajilah mengenai hukum Allah harus seuai dg akal. ) dan mereka sependapat dg As’ariyyah bahwa hukum allah tidak bias diketahui melainkan melalui RAsul dan kitabnya. Mereka juga berbeda pendapat dg as’ariyyah bahwa baik buruknya perbuatan itu bersifat syara’ bukan rasio.menurut mereka , bahwa masalah kebaikan itu bias dijangkau oleh akal, lantaran apa-apa yg ada pada kejelekan mengandung kemadaratan walaupun tidak diungkapkan dlam syara’

3. MAHKUM FIH ( Perbuatan Mukalaf ) yg dihubungkan dg hukum syara
QS Al Maidah : 1 ) ayat tersebut berhubungan dg perbuatan mukallaf yaitu memenuhi janji.hukumnya wajib.
QS 2 : 282 ) hukum sunnah untuk mencatat hutang piutang.
QS 2 : 267 ) Hukum makruh menginfakkan harta yg jelek-jelek.
QS 2 : 184 ) hukum Mubah bagi yg sakit atau perjalanan untuk buka waktu puasa.
Tuntutan syara thdp perbuatan mukallaf menjadi sa apabila memnuhi 3 syarat :
1.perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menuenikan tuntutan itu sesuai dg yg diperintahkan.
2.harus diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yg mempunyai wewenang menuntt hukum, atau dari orabng yg harus diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf.
3perbuatan yg dituntut adalah perbuatan yg mungkin dilakukan atau ada potensi bagi mukallaf untuk mengerjakan atau menolaknya.


4.MAHKUM ALAIH ( Mukalaf )

Dalam syara’ sahnya memberikan beban kepada mukallaf disyaratkan 2 hal :
1.sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklifi ( pembebanan ), yakni harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al Qur’an dan as sunnah, baik yg langsung mapun melalui perantara. Sebab orang yg tidak mampu memamhami dalil – dalil taklif tidak akan dapat mengikuti apa yg dibebankan kepadanya dan tidak memahami maksdunya.
Maka barang siapa yg telah mencapaitingkat dewasa tanpa menampakan sifat0-sifat yg merusak akalnya, berarti dia telah sempurna padanya kemampuan untuk diberi beban. Atas dasar itu orang gila dan anak-anak tidak bias memamahami apa yg dibebankan. Demikian pula orang yg tidur , lupa dan mabuk.

Rasul bersabda:
Diangkat pena itu ( tidak dicatat amal manusisa ) ari 3 orang : orang y tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia dewasa. Dan orang gila hingga ia berakal.
2.Mukallaf harus orang yang ahli dengan sessuatu yag dibebankannya. Penertian ahli secara etimologi ialah mempunyai kelayakan untuk menerima beban.
Menurut ulama ushul , Ahli ( layak ) itu terbagi 2 ( ahli wajib dan ahli melaksanakan ( ada )
1.Ahliyyatul wujub ( ahli wajib ) ialah kelayakan seseorang disebabkan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya. Dasar kelayakan ini adanya karakteristik tertentu yg diciptakan Allah swt kepada manusia dan menjadi spesifikasi diantara berbagai macam binatang.
2.Ahliyyatul ada’a ( ahli melaksanakan ) ialah kelayakan diberi beban sehingga seseorang dianggap pantas menurut syara’ baik ucapan maupun perbuatannya. Dimana apabila ia m,elaksakana shalat, puasa dan sebagainya maka menurut syara semuanya dianggap sah dan dapat menggugurkan kewajibannya. Demikian pula jika ia melakukian tindak pidana kepada orang lain, baik menyangkut jiwa, harta maupun kehrmatan , maka ia dapat diujatuhi hukuman sewsuai perbuatannya.
Jadi ahli ada’a ialah kemapuan mempertanggungjawabkan perbuatannnya dan kemampuan membedakan sesuatu dengan akalnya.

Berkenaan dengan MAHKUM ALAIH ( Mukalaf ), maka ada ‘Awaridhul Ahliyyah ( penghalang-penghalang keahliyyan )

Yaitu penghalang keahlian seseorang untuk melaksanakan kketentuan syar’I sehingga seoarang manusia tidak mengerjakan ketentuan atau mendapat keringanan.

Penghalang – penghalang keahliyyan
1.penghalang yg dating dan menghalangi sama sekali ahliyyatul ada’a co. gila, tidur , pingsan dan hilang akal. Orang ini tidak sah perjanjinannya, pengelolaanya, dan tidak ada tuntutan apa yg ditinggalkan atau dikerjakannya.
2.penghalang yg dating yang tidak menghilangkan keahliah sama sekali, co sifat kurang akal, . orang yg kurang akalnya ini sebagian perjanjian dan pengelolaanya dapat dianggap sah , namun sebagian lainnya tidak sah, misalnya terjadi pada anak laki-laki remaja.
3.penghalang yng dating kepada manusia tetapi tidak mempengaruhi, mengurangi, menghilangkan keahlian. Akan tetapi mengubah sebagian hukum-hukumnya, karena ada anggapan dan keeuntungan yg mengehndaki perubahan ini misalnya ketidak tahuan dan lupa.

Sumber :
DR. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Gema Risalah Press. Jkt. cet. 2 . th 1997
Drs. HM . Suparta, Fiqih MA kurikulum 2004. kelas 3. Toha Putra


Pengantar Usul Fiqh

Pengantar Ushul Fiqh

“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)

Definisi Ushul Fiqh

Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.

Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya

Al-Ushul

Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)

Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti

  1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl dari wajibanya shalat lima waktu adalah firman allah dan sunnah rasul.

    dalil, misalnya: para ulama mengatakan:

    أصل هذا الحكم من الكتاب آية كذا

    (Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).

  2. Qa’idah, yaitu suatu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad saw:”Buniyal islam ’ala khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul(fondasi atau dasar)”
  3. Rajih, yaitu yang terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:”Al-Ashlu fil kalaam al-haqiqah”. Artinya:”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
  4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
  5. Far’u, seperti perkataan ulama ushul:”Al-waladu far’un lilabi” artinya:”Anak adalah cabang dari ayah” Al-Ghazali,1:5

Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.

Al-Fiqh

الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له

Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.

Menurut istilah para ulama:

الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).

Penjelasan Definisi

الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا

Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.

Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.

Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.

Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.

Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).

Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.

Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).

Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang bersifat praktis.

Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu

Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:

معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد

(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).

Penjelasan Definisi

Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya.

Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.

Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan:

العلم بالقواعد الكلية التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية

(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).

Penjelasan Definisi

Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.

Contoh kaidah umum:

الأصل في الأمر للوجوب

(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 43:

((وآتوا الزكاة))

(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang sejenis.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.

Cakupan Ushul Fiqh

Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:

  1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
  2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
  3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
  4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
  5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.

Tujuan Ushul Fiqh

غاية أو ثمرة علم الأصول: الوصول إلى معرفة الأحكام الشرعية بالاستنباط

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.

Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:

  1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
  2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
  3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
  4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.

Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:

الأمر يقتضي الفور

(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.

5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:

الأصل في الأمر للوجوب

(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah:

maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)

7. Akal, misalnya kaidah ushul:

إذا اختلف مجتهدان في حكم فأحدهما مخطئ

(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan.

Hukum Mempelajari Ushul Fiqh

Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:

Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)

Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”

Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh

Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.

Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.

Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.




Perang Keinginan

Manusia hidup dan digerakkan oleh keinginan. Waktu dan segala yang dimiliki manusia dikonsumsi dan dipergunakan untuk merealisasikan keinginan. Tetapi sebuah pertanyaan menghadang kenyataan aksiomatis ini; yaitu kenginan seperti apa dan keinginan siapa yang patut selalu diikuti?

Manusia dalam posisinya dengan keinginan terbagi menjadi beberapa golongan:

Pertama, manusia yang hanya mengikuti keinginan dirinya. Tidak ada yang penting baginya kecuali yang dia mau. Barangkali dia mengira bahwa dirinya merdeka. Merdeka menentukan segala yang dia mau. Merdeka juga berpikir apa saja yang dia bayangkan. Independensi memang penting untuk membentuk kepribadian. Tanpa independensi seorang manusia hanyalah angka satuan yang tidak terlalu penting di tengah milyaran manusia. Tetapi independensi ada batasnya. Manusia yang tidak mengenal batas dirinya cenderung egois dan egosentris. Lebih jauh bahkan al-Qur’an menyebut manusia seperti ini sebagai manusia yang menyembah hawa nafsunya. Allah berfirman di surat al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)

23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)

Rasulullah SAW juga menyebut orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang lemah.

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد

“Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi banyak berangan-angan atas (karunia) Allah.” (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Kedua, manusia yang tidak punya keinginan independen. Dia selalu didorong oleh pihak luar. Lingkungan, teman, orang tua, bahkan seterunya selalu menjadi pusat perhatiannya, dan selalu mendorongnya untuk bereaksi. Orang seperti ini tidak punya pendirian. Apa kata orang itulah katanya. Ke manapun angin berhembus ke sanalah dia berlayar. Orang seperti sangat dikecam Rasulullah, beliau berkata:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا. رواه الترمذي

“Janganlah kalian menjadi orang tidak berpendirian, yang mengatakan ‘jika orang-orang berbuat baik, kami juga berbuat baik, jika mereka berbuat zhalim, kami juga berbuat zhalim.’ Tetapi kuatkanlah pendirian kalian, jika orang-orang berbuat baik, berbuat baiklah, jika mereka berbuat zhalim, jangan kalian berbuat zhalim.” (HR at-Turmudzi)

Ketiga, manusia yang selalu berperang antara kemauan dirinya dan kemauan orang lain, dan juga kemauan Sang Pencipta. Dia selalu ingin mendapatkan penerimaan semua pihak tetapi tidak rela mengorbankan keinginan dan ambisi atau syahwatnya. Golongan seperti ini selalu diombang-ambingkan ketidakpastian tujuan. Peperangan sengit dan rumit terjadi dalam diri mereka. Yang mampu menemukan dirinya dalam naungan Allah akan selamat, tetapi yang terus tak mampu menemukan skala prioritas akan hidup dalam pederitaan batin dan gejolak pemikiran yang tak berakhir. Allah membuat perumpamaan terhadap orang seperti ini:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الزمر: 29

29.” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar: 29)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ. رواه ابن ماجه والحاكم وحسنه الألباني

“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.

Keempat, manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keridhoan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah “Katakanlah bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”

Tetapi beberapa tantangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Tantangan pertama adalah tantangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk suatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Betapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunah yang tidak prioritas dalam neraca Syariah. Betapa banyak kewajiban kolektif diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah personal yang porsinya bisa dibatasi. Betapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.

Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.

Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahwa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatalis atau yang dikenal dengan kaum Jabriyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka pahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.

Umar bin Khaththab pernah begitu gusar dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabah. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang putusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Iya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Allah mengecam orang-orang yang menggunakan takdir sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Allah berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

148. “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”(QS al-An’am: 148)

Iman kepada takdir adalah kebenaran yang wajib diyakini, tetapi hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjajah oleh masa lalu, tersiksa oleh penderitaan masa yang telah lewat, atau tertipu oleh sesuatu yang membuat kita terlena. Allah jelaskan dalam surat al-Hadid apa yang dimaksudkan dengan iman kepada takdir, Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

22. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23)

Iman kepada takdir membuat seorang muslim tidak tenggelam dalam penderitaan atau tertipu oleh kenikmatan, karena dia sadar bahwa itu semua sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Bijaksana dan semua yang Allah tetapkan selalu menyimpan hikmah dan kebijaksanaan. Singkat kata iman kepada takdir dapat menghindarkan sesorang dari pedihnya keputus-asaan dan tipuan kesombongan. Di sisi lain Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat untuk kebaikan dirinya. Rasulullah SAW bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان. رواه مسلم

“Bersunguh-sungguhlah meraih hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan melemah. Jika Sesuatu menimpamu janganlah engkau berkata, ‘jika dulu aku lakukan ini pasti terjadi begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, Allah sudah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Karena kata ‘kalau’ membuka perbuatan setan[1].” (HR Muslim)

Kesalahpahaman lain yang sering terjadi dalam beribadah juga adalah pemahaman bahwa ibadah hanyalah terbatas pada hal-hal ritual. Banyak umat Islam yang masih belum memahami universalitas Islam, bahwa perintah Allah juga mencakup segala kebaikan di berbagai aspek kehidupan. Dengan ringan tangan banyak muslim yang menginfakkan jutaan rupiah untuk pergi haji atau umrah. Tetapi jumlah seperti itu sulit didapatkan untuk membangun proyek-proyek yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Umat Islam sadar kalau sholat mereka batal kalau mereka berhadats, tetapi banyak tidak khawatir seluruh amalnya batal karena korupsi, kolusi dan menipu.

Kesalahpahaman yang juga banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dan beragama. Ada yang berwudhu tapi sambil membuang air dengan mubadzir, ada yang sibuk mengucapkan niat sampai tidak bisa mengikuti sholat dengan baik dan khusyu’, ada yang sibuk dengan memendekkan pakaian sampai lupa memperhatikan hati dan memperbaiki akhlak. Ada yang terlalu berlebihan dalam masalah-masalah aqidah sampai mengkafirkan sebagian besar umat Islam. Ada yang begitu membenci kekafiran tetapi lupa berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Begitu bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam agama sampai Rasulullah SAW memperingatkan:

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ. رواه النسائي وابن ماجه والبيهقي والطبراني في الكبير وابن حبان وابن خزيمة وصححه الألباني

“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani)

Begitu banyak kesalahan dalam beribadah terjadi karena ketidakpahaman terhadap Islam. Sebagian besar bersumber dari jauhnya umat Islam dari pemahaman yang baik terhadap Qur’an dan Sunnah. Jarak yang terjadi bervariasi, mulai dari yang tidak pernah membaca al-Qur’an sama sekali, sampai yang membaca tetapi tidak memahami maknanya. Ada yang memahami sebagian kecil lalu merasa cukup dan merasa sudah pandai, bahkan mengira bahwa Islam hanya terangkum dalam beberapa ayat dan hadits. Ada yang mengaku mengerti al-Qur’an dan meninggalkan Hadits. Ada juga yang serius dengan hadits Nabi SAW tapi justru meninggalkan al-Qur’an dengan tidak mentadabburi al-Qur’an dengan rutin.

Apakah itu semua karena memahami agama Islam sulit? Sama sekali tidak. Tetapi siapapun yang menghendaki suatu tempat tapi tidak melalui jalan yang sesuai pasti tidak akan sampai tujuan. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى يَبَسِ

“Kau harap selamat tapi tidak menempuh jalannya

Sesungguhnya bahtera tidak berlayar di atas daratan kering”

Tantangan kedua dalam ibadah adalah diri manusia itu sendiri. Dia berhadapan dengan hawa nafsunya yang sering menggodanya untuk meninggalkan perintah Allah. Dia akan berhadapan godaan dari luar, tetapi semua terkait dengan kekuatan tekad dan keteguhan pendirian hamba Allah tersebut.

Ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang jelas dilarang barangkali masalah menjadi jelas. Yang lebih rumit adalah ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang samar (syubhat), disini dua persoalan merajut satu sama lain sehingga memperumit tantangan. Yang lebih rumit lagi adalah ketika hawa nafsu mendapatkan pembenaran yang palsu. Ketika dalil-dalil syar’I yang mutasyabihat (yang samar) dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran.

Semua tantangan itu tidak mudah. Karena itu ibadah seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memohon pertolongan Allah. Oleh sebab itu poros al-Fatihah yang harus diulang-ulang seorang muslim adalah: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” (Kepada engkau kami menyembah, dan kepada engkau kami memohon pertolongan). Seorang muslim yang menyembah Allah tanpa memohon pertolongan dari-Nya, niscaya akan terjebak dan terjatuh dalam tantangan-tantangan yang sulit dalam perjalan hidup yang penuh dengan ujian.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.




Definisi Usul Fiqh




1. Pengertian Usul Fiqh

Usul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Dintinjau dari segi etymologi fiqh bermakna pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan (Lusi Ma’luf: Munjid). Sebagaimana firman Allah surat An Nisa’ ayat 78:

Artinya: “Maka mengapa orang-orang itu (munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Juga sabda Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang yang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.

Sedamgkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etymologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut termilnologi lebih khusus dari etymologi. Figh menurut terminologi adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (detail).(Abu Zahrah: Usul Fiqh).

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh meliputi dua hal:
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ meneganai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu ia tidak membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan I’tiqad (keyakinan.
2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci pada setiap permasalahan. Misalnya bila dikatakan bahwa memakan harta benda orang lain secara tidak sah itu adalah haram, maka disebutkan pula dalilnya dari AL Qur’an yang berbunyi:

Artinya: Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu denga yang lain secara bathil. (2:188).

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia sama ada halal. Haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian “ashl” (jamaknya ushul) menurut ethimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu (Luis Ma’luf: Kamus Munjid). Pengertian tersebut tidak jauh dari pengertian ushul secara terminologi yaitu dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh.
Untuk itu Ali Hasaballah dalam buku Ushul Al Tasri’ Al Islami mendefinisikan Ushul Fiqh adalah:

Artinya: Kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan amaliah (mukallaf) dari dalil-dalil yang terperinci. Dengan kata lain kaidah-kaidah yang dijadikan metode untuk menggali hukum fiqh.
Sebagai contoh. Ushul fiqh menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan wajib dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak maka ia akan mengemukakan firman Allah SWT di dalam surat Rum 31, Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :

Artinya: Dirikan Shalat
Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya, dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.
Dari contoh diatas jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh ahli fiqh di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syara’, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasrkan kualitasnya. Dalil Al Qur’an harus didahulukan dari pada qiyas serta dalil-dalil yang tidak berdasr kepada Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.

2. Hubungan Ushul Fiqh dengan Fiqh dan fungsi Ushul Fiqh.

Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika) dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbatkan (menggali) hukum.

Disamping itu fungsi Ushul Fiqh itu sendiri adalah untuk membedakan istimbath yang benar atau salah yang dilakukan oleh fuqaha’.

3. Objek Pembahasan Ushul Fiqh

Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek ushul fiqh mengenai metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua disiplin ilmu tersebut sama –sama membahas dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut.
Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad.

Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
1. Hukum Syar’i
Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu (….) atau dengan kata lain memberi nilai terhadap sesuatu. (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.
Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah:

Artinya: Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.

Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
1. Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah. Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
3. Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
4. Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.

2. Hakim (Pembuat Hukum)
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:

Artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57).
3. Mahkum Fih (objek hukum)
Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah: objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya. Objek hukum yang menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf. Ia tidak membahas hukum wadh’i (perkondisian ) yang berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.

4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)
Mahkum alaih adalah subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif. Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka mahkum alaih berbicara mengenai orangnya, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.

4. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh.

Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih duluan dibukukan lebih dahulu daripada ilmu ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu adanya metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan metode ini tidak lain adalah ushul fiqh.
Pada masa rasul penggalian hukum langsung dilakukan oleh Rasul, yang mana Allah langsung memutuskan perkara-perkara yang timbul melalui wahyu. Penggalian hukum fiqh baru mulai setelah wafatnya Rasulullah SAW disaat timbulnya berbagai masalah yang tidak pernah terjadi pada masa Rasul. Para sahabat yang tergolong fuqaha seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Tentunya di dalam berijtihad ini mereka mempunyai metode, dasar dan batasan dalam mengambil satu keputusan. Seperti Keputusan umar bin khattab tidak memebrikan hak zakat kepada mu’allaf. Ali bin abi Thalib menambah had (hukuman campuk) bagi yang meminum khamar dari 40 kali pada masa rasullah menjadi 80 kali. Dari perbuatan sahabat tersebut menunjukkan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan hukum. Ini menunjukkan ijtihad para sahabat itu mempunyai kaedah yang sekarang dikenal dengan ushul, walaupun pada waktu itu ilmu ini belum dikenal.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syarak semakin luas seiring dengan makin banyaknya permasalahan yang timbul. Karena banyaknya masalah yang timbul dan penyelesaian yang ditempuh para ulama sangan berfariasi, Ali Hasaballah mengambarkan kedahsyatan yang berlaku saat itu adalah “ pada satu daerah, ada satu perbuatan yang ditetapkan haram melakukannya, akan tetapi pada daerah lain dibolehkan”. Hal seperti menimbulkan kecauan yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat muslim. Dikarenakan tidak adanya parameter tertentu dalam mengistimbathkan hukum. Para ulama mengisthimbatkan hukum atas parameter masing-masing.
Akhirnya pada priode berikutnya, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum ini semakin banyak dan mereka membuat kaidah-kaidah dan petunjuk tertentu dalam berijtihad. Seperti Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al Qur’an, hadist dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang fatwa yang diperselisihkan, dia bebas memilihnya. Manakala Imam Malik menjadikan amal ahlul madinah sebagai landasan hukum. Kedua imam ini telah menggariskan cara dan metode mereka dalam mengistimbathkan hukum tapi mereka belum menyebutnya dengan usul fiqh.
Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, yang bermaksud mengkodifikasikan (membukukan) ilmu ushul fiqh. Mulailah ia menyusun metode-metode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh dan petunjuk-petunjuk ilmu fiqh. Kitab ushul fiqh pertama sekali dikeluarkan adalah “al Risalah”. Inilah kitab pertama yang khusus berbicara tentang ushul fiqh dengan membahas berbagai metode istimbath hukum.
Dan dikemudian hari pengikut mazhab membuat metode ushul masing-masing mengikut imam Mazhabnya sendiri. Setiap kaedah selalu lahir/timbul lebih akhir dari pada materi.


Senin, 06 April 2009

Pandangan Hidup Islam Sebagai Framework Study Islam


Ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi
1) Pendahuluan
Islam adalah nama agama yang lahir dari sebab turunnya wahyu ilahi kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian difahami dan disebarkan oleh akal dan intuisi manusia. Islam kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban baru dengan struktur konseptualnya yang kokoh dan universal. Perkembangan Islam keluar dari jazirah Arab merentasi berbagai suku bangsa di dunia dengan tanpa mengalami perubahan pada prinsip-prinsip dasarnya adalah diantara bukti bahwa Islam adalah agama untuk seluruh ummat manusia. Prinsip-prinsip dasar Islam yang telah turun sempurna itulah sebenarnya yang menjadi titik tolak perkembangan peradaban Islam dikemudian hari. Artinya Islam yang turun membekali manusia seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah kepadanya dan pada saat yang sama juga mengajarkan pandangan-pandangan (view) fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, iman, ilmu, amal, akhlak dan lain sebagainya. Dengan bekal seperti itu Islam kemudian merupakan agama (din) dan sekaligus peradaban (madaniyyah) nyang memiliki bangunan konsep (conceptual structure) yang disebut pandangan hidup (worldview). Pandangan hidup (worldview) memiliki peran sebagai cara pandang terhadap segala sesuatu dan secara epistemologis dapat berfungsi sebagai framework dalam mengkaji segala sesuatu. Dalam kaitannya dengan poin yang terakhir makalah ini akan mengupas pandangan hidup Islam sebagai sebuah konsep dan framework kajian Islam. Hal ini penting dilakukan sebab Islam telah dipahami dengan menggunakan pandangan hidup dan framework Barat seperti yang telah dilakukan oleh orientalis [1] ataupun Islamolog-Islamolog yang memilik cara pandang sendiri terhadap Islam.
[1] Kajian Edward Said terhadap orientalisme menghasilkan tiga kesimpulan bahwa 1) kajian orientalis tentang Islam lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient); 2) bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam; 3) bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” dalam The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, hal. 5.
2) Pengertian
Untuk memahami teori tentang pandangan hidup yang pertama-tama perlu dijelaskan adalah definisi atau pengertian pandangan hidup itu. Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis yang ber visi keduniaan. Namun terdapat agama dan peradaban yang memiliki spectrum pandangan yang lebih luas dari sekedar visi keduniaan maka makna pandangan hidup dalam konteks Islam diperluas. Karena dalam kosa kata bahasa Inggeris tidak terdapat istilah yang tepat untuk mengekspresikan visi yang lebih luas dari sekedar realitas keduniaan selain dari kata-kata worldview, maka cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspressi bahasa Inggeris) untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan dan keakheratan dengan menambah kata sifat “Islam”. Namun dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara umum tanpa melihat bangsa atau agama maka beberapa definisi tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya spektrumnya dapat dikemukanan disini. Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.” [1] Hampir serupa dengan Smart, Thomas F Wall mengemukakan bahwa worldview adalah sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence).[2] Lebih luas dari kedua definisi diatas Prof.Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview.[3]
Ketiga definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas dan menyeluruh. Sebagai contoh akan disampaikan definisi worldview Islam oleh beberapa tokoh ulama zaman modern. Dalam tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic Vision), Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Islamic Principle), Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil wujËd (Islamic Worldview). Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral. Artinya agama dan peradaban lain juga mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview dll. Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata worldview, Vision atau Mabda’ maka makna etimologis dan terminologis menjadi berubah.
Manurut al-Mauwdudi, yang dimaksud Islami Nazariyat (worldview) pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.[4] Shaykh Atif al-Zayn mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman kepada hakekat wujud Allah, kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai Din yang diturunkan melalu Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.[5] Sayyid Qutb mengartikan al-tasawwur al-Islami, sebagai akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.[6] Bagi Naquib al-Attas worldview Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).[7]
Definisi diatas menunjukkan dua makna yang saling melengkapi. Pertama, yang disampaikan al-Mawdudi dan Atif al-Zain, menekankan bahwa cara pandang Muslim terhadap segala sesuatu dimulai dari keimanan pada Tuhan yang direfleksikan dalam keseluruhan aktifitas kehidupan. Sedangkan kedua, yang disampaikan Syed M.N. al-Attas dan Sayyid Qutb, menekankan bahwa Islam telah mengandung gambaran dan cara pandang terhadap realitas (wujud). Bahkan al-Attas, seperti yang tertuang dalam karya-karyanya, melihat padangan hidup Islam secara metafisis dan epistemologis sehingga dapat menjadi basis bagi framework mengkaji segala sesuatu.
Dalam studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, [8] tapi dalam Islam pandangan hidup merujuk kepada makna realitas yang lebih luas, oleh sebab itu terma yang diperkenalkan al-Attas adalah ru’yat al-Islam li al-wujud “pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang wujud.[9] Oleh sebab itu ia menjelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup Islam itu,
….bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”.[10]
Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.[11] Ini berarti bahwa pandangan hidup Islam merupakan seperangkat konsep dasar (basic concept) yang berguna untuk melihat berbagai obyek kajian. Adapun konsep-konsep dasar itu dapat digambarkan dalam elemen pandangan hidup yang juga merupakan struktur konsep dibawah ini.
3) Pandangan Hidup sebagai Bangunan Konsep
Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup itu saling terkait erat dan merupakan kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan konsep yang terdapat dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Bangunan konsep itu terbentuk dalam alam pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a gradual manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental framework).[12] Secara epistemologis proses berfikir ini sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a priori dan a posteriori.[13] Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Maka dari itu pandangan hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan.[14] Konsep-konsep yang terakumulasi itu sudah tentu melalui proses dan mekanisme mengetahui yang menerima dan menolak pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari struktur worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan hidup. Orang bisa saja mengetahui faham sekularisme, misalnya, tapi ia tidak mesti menerima faham itu dan menjadi sekuler.
Jika struktur konsep yang masuk kedalam pikiran seseorang itu dilacak secara alami maka maka akan kita bahwa konsep yang pertama kali masuk dalam pikiran seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya konsep hubungan antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kasus Islam bisa bertambah menjadi arti hidup dunia dan akherat), cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya.[15] Sesudah konsep hidup dan kehidupan berkembang dalam pikiran seseorang maka secara alami pula konsep mengenai dunia dimana manusia hidup akan terbentuk. Pandangan dan konsep mengenai dunia di sekitarnya ini akan melahirkan konsep ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan konsep yang lebih canggih lagi yaitu konsep nilai dan moralitas.Dari kombinasi itu semua konsep yang tidak kalah pentingnya adalah konsep tentang diri manusia itu sendiri.
Meskipun pengetahuan yang diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun ketika ia terstruktur dalam pikiran manusia dalam bentuk konsep-konsep ia dapat diindetifikasi. Professor Alparslan mengkategorikan struktur pandangan hidup menjadi lima bidang konsep:
1) Struktur konsep tentang kehidupan,
2) Struktur konsep tentang dunia,
3) Struktur konsep tentang manusia,
4) Struktur konsep tentang nilai dan
5) strutktur konsep tentang pengetahuan.[16]
Proses akumulasi struktur konsep diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan, atau bahkan mungkin dalam beberapa aspek simultan, tapi yang penting kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan konsep. Kesatuan konsep ini berfungsi sebagai kerangka umum (general scheme) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, dan bahkan mendominasi cara berfikir kita. Maka dalam pengertian ini pandangan hidup merupakan framework berfikir. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan produk dari struktur konsep diatas.
Bagi seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep Tuhan akan masuk kedalam pandangan hidupnya.[17] Bagi al-Attas elemen pandangan hidup Islam adalah seluruh konsep yang terdapat dalam Islam. Diantara yang paling utama adalah Konsep tentang hakekat Tuhan, Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an), Konsep tentang penciptaan, Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia, Konsep tentang ilmu, Konsep tentang agama, Konsep tentang kebebasan, Konsep tentang nilai dan kebajikan, Konsep tentang kebahagiaan,[18] dsb. Disini konsep menurut al-Attas sangat penting dalam pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Konsep-konsep itu bagi al-Attas merupakan sistim metafisika yang dapat berguna untuk melihat realitas dan kebenaran. Sebab menurutnya sistim metafisika yang terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.[19] Dengan konsep seperti ini dapat dikatakan bahwa pandangan hidup adalah merupakan sebuah framework untuk mengkaji sesuatu.
4) Pandangan Hidup Islam sebagai Asas Epistemologi
Karena pandangan hidup telah menjadi konsep-konsep yang terstruktur dalam pikiran seseorang maka ia akan mempengaruhi proses berfikir seseorang atau dapat digambarkan sebagai vicious circle (lingkaran setan), dimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Kepercayaan terhadap pengetahuan tentang Tuhan, misalnya, membuat pengetahuan non-empiris menjadi mungkin (possible). Sebaliknya ingkar terhadap pengetahuan tentang Tuhan dapat berakibat pada menafikan pengetahuan non-empiris (metafisis). Demikian pula dalam masalah moralitas. Dalam kajian Thomas F Wall kaitan konsep dalam worldview dan moralitas sangat jelas, ia menyatakan:
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher reality – the supernatural world. ..if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.[20]
Arti bebasnya, kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa disana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya, kita harus percaya bahwa ilmu dapat lebih dari apa yang dapat diamati [empiris, pen] dan disana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni alam supernatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan dan alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percayai tentang arti hidup, hakekat diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.
Kutipan diatas menjelaskan adanya kaitan antara worldview dengan realitas, ilmu dan moralitas. Secara konseptual hubungan pandangan hidup dengan epistemologi melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi, kosmologi dan aksiologi.
Prinsip ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis tentang wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud Tuhan sebagai realitas tertinggi dalam Islam adalah sentral. Dalam Islam realitas alam fisik yang nampak (sensible world) dipandang sebagai realitas relatif yang berhubungan dan bergantung pada realitas metafisis yang absolut. Struktur ontologi yang dalam terminologi Islam dikategorikan menjadi Élam al-mulk dan Élam al-shahÉdah, menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidaklah sekedar persoalan indera dan akal yang analitis yang bidang operasionalnya dalam sains modern dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang tertinggi, sebab hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya realitas alam yang nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam sains Islam, pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan prediktif) tentang realitas alam berada dibawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan apresiatif tentang makna kedua alam itu.[21] (inna fi khalqi al-samawat) (QS….). Ini berarti bahwa bertambahnya ilmu tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu tentang alam transenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.
Prinsip kosmologis artinya adalah visi tentang struktur, proses dan fungsi realitas fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan al-Qur’an yang tidak diciptakan. Sebab keduanya mempunyai sistem ÉyÉt yang integral yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Alam semesta ini adalah kitab yang tak tertulis sedangkan al-Qur’an adalah kitab yang tertulis. Dalam hal ini al-Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari ayat-ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada manusia dan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek Realitas ini agar dapat memahami hakekatnya yang tertinggi”.[22] Karena susunan dan sistim kebendaan pada alam ciptaan adalah analog dengan susunan dan sistim kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia empiris harus diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu kesatuan organis yang merefleksikan al-Qur’an itu sendiri.[23]
Karena struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikan itu maka realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Ini berbeda dari pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran yang dibentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artificial. [24]
Pendekatan integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara ayat-ayat kawniyyah dengan ayat-ayat qauliyyah, inilah sejatinya framework epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan hidup Islam terkait secara konseptual dengan epistemologi. Untuk lebih detailnya ilustrasi berikut ini menunjukkan peran pandangan hidup terhadap cara pandang seseorang terhadap realitas alam nyata. Contoh yang paling sederhana adalah pandangan seorang pengamat peristiwa alam. Orang pertama mengatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang terjadi”; orang kedua menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan saya menyebutnya seperti apa yang saya lihat”; orang ketiga menyatakan “Saya melihat gunung dan melihat letusan dari dalamnya, dan semua itu bukan apa-apa kecuali setelah saya menyebutnya”. Masing-masing cara pandang diatas menunjukkan pandangan tentang bagaimana kita mengetahui.
Di Barat cara pandang orang pertama disebut dengan cara pandangan realisme; yang kedua dinamakan anti-realisme dan yang ketiga dinamai realisme kritis. Penjelasannya adalah sbb: Realisme berdalih bahwa pemahaman terhadap cosmos adalah langsung dan akurat serta tidak dipengaruhi oleh presupposisi dari worldview ataupun pengaruh-pengaruh subyektif lainnya. Pandangan ini berdasarkan pada empat premis dasar 1) realitas obyektif dan independen itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan bebas dari pengamat 3) manusia yang mengetahui memiliki kemampuan kognitif untuk memahami realitas yang tetap ini tanpa dibebani oleh tradisi atau kecenderungan personal 4) kebenaran dan pengetahuan tentang alam adalah ditemukan dan pasti, dan tidak diciptakan dan relatif. Ringkasnya, bagi seorang realis menolak masuknya (interposition) apapun dari pikiran kedalam diri pengamat dan obyek yang diamati.
Sedangkan anti-realisme adalah pandangan yang memisahkan secara radikal apa yang ada disana dan berbagai pandangan tentang itu. Disini worldview mendominasi dan sistim kepercayaan tidak ada kaitannya dengan realitas, danbahkan realitas dianggap tidak ada. Pandangan ini dapat dicirikan menjadi empat 1) meski mengakui bahwa dunia yang nampak ini mungkin saja ada, ciri-ciri obyektifnya tetap saja kabur 2) pengetahuan manusia memilik kelemahan dalam memahami alam seperti apa adanya 3) apa yang dianggap realitas adalah sesuatu yang dibentuk secara linguistik, produk akal manusia yang idealistis dan 4) konsekuensinya, kebenaran dan pengetahuan tentang alam, tidak ditemukan (dicovered) dan pasti, tapi diciptakan (invented) dan relatif.
Adapun realisme kritis (critical realism) menerima realitas obyektif dan kemungkinan diperoleh ilmu yang dapat dipercaya tentangnya, bahkan juga mengakui adanya presupposisi yang menyertai manusia ketika mereka mengetahui sesuatu yang mendorong pembahasan kritis tentang esensi pengetahuan seseorang tentang itu. Proposisi aliran ini ada empat 1) realitas obyektif dan endependen itu ada 2) ciri-ciri realitas ini adalah tetap dan independen dari pengamat 3) seseorang yang tahu, memiliki kemampuan kognitif yang dapat dipercaya untuk mengetahui realitas yang tetap ini, namun pengaruh presupposisi dan pandangan hidup serta tradisi individu menjadi prasyarat dan merelatifkan proses mengetahui itu dan 4) karena itu kebenaran dan pengetahuan tentang alam, sebagiannya ditemukan dan pasti dan sebagian yang lain diciptakan dan relatif.[25]
Metode mengetahui dalam tradisi intelektual Barat seperti yang dipaparkan diatas dan juga metode-metode lain seperti metode rasional, empiris, dan kombinasi antara realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai asas-asas kognitif mempunyai kesamaan dengan tradisi keilmuan Islam. Namun kesamaan dengan realisme kritis dan juga metode-metode lain hanya dalam aspek-aspek eksternalnya saja. Keduanya menggunakan medium yang sama untuk mengetahui, seperti panca indera eksternal yakni indera raba, bau, rasa, lihat dan dengar, dan panca indera internal seperti indera umum, representasi, estimasi, retensi, rekoleksi dan imaginasi. Keduanya sama-sama bersandar pada akal sebagai alat dan sumber pengetahuan. Selain itu realisme kritis menggunakan pandangan hidup (worldview) untuk mengetahui sesuatu dan tidak bisa menerima realisme karena menafikan kaitan antara worldview dengan realitas dan juga berseberangan dengan anti-realisme yang melepaskan pandangan hidup dan kepercayaan dari realitas. Realisme kritis menggabungkan obyektifisme dan subyektifisme, mengakui alam nyata dan juga realitas manusia yang ingin mengetahui alam. Tidak sepenuhnya percaya pada kemampuan kognitif manusia, tapi mengakui apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Perbedaannya akan nampak pada prinsip epistemologi yang dilatar belakangi oleh pandangan hidup. Jika realisme kritis mencoba menengahi cara pandang realisme dan anti-realisme, cara pandang dalam pandangan hidup Islam telah bersifat tawhÊdi (integral), tidak dichotomis, tidak membedakan antara obyektif-subyektif, tekstual-kontektual, historis-normatif, dsb. prinsip epistemologi tentang kesatuan subyektif-obyektif dalam Islam, misalnya, berdasarkan pada konsep manusia dalam Islam bahwa jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan dunia imaginasi. Artinya ketika seorang subyek yang memiliki pandangan hidup Islam akan melihat obyek sesuai dengan prinsip-prinsip ontologi dan kosmologi dalam Islam dan akan memahami obyek itu dengan cara pandangnya sebagai seorang Muslim. Cara pandang yang dichotomis dalam cara berfikir Barat tidak dapat diterima dalam epistemologi Islam karena ia memisahkan dua hal yang saling berhubungan yang mengakibatkan timbulnya paham-paham ekstrim seperti materialisme dan idealisme atau metodologi-metodologi yang sama ekstrimnya seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme dan lain-lain.
Perbedaan prinsip epistemologis lainnya menurut Prof. Naquib al-Attas adalah dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran Tertinggi. Penerimaan ini, yang sudah tentu disertai pada keimana pada Tuhan, mempengaruhi cara pandang Muslim terhadap benda-benda ciptaan dan Penciptanya. Cara pandang inilah yang memberi kita asas bagi framework metafisis yang dapat menjelaskan filsafat sains sebagai sistim yang integral yang menggambarkan realitas dan kebenaran. Hal ini berarti bahwa dalam Islam ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan selain melalu media panca indera dan akal yang sehat, ia diperoleh dari berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan dari juga diperoleh dari intuisi.[26] Dengan kata lain epistemologi dalam Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi.[27]
Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu al-Qur’an sebagai kitab tertulis, dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir.[28] Seperti halnya kitab al-Qur’an, alam semesta ini juga mempunyai ayat-ayat yang jelas dan pasti (muhkamÉt) dan ada pula ayat-ayat yang mutasyabihÉt (ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang jelas dan pasti dipergunakan metode tafsir, sedangkan untuk memahami ayat-ayat yang ambigu digunakan metode ta’wil. Dalam pandangan al-Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih memerlukan ta’wil agar makna lebih umum dan lebih tinggi dapat diperoleh.
Jika metode ini ditrapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual, maka pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode tafsir itu dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan metode ta’wil. Jadi ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir dan tidak pernah berlawanan, sebab ta’wil harus didasarkan pada tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi ta’wil, jika tafsir terhadap suatu obyek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula. Penggunaan metode ini menurut al-Attas berkaitan dengan konsep realitas dalam Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari realitas yang artinya terbukti dengan sendirinya (self evident) oleh adanya pengelaman langsung indera hingga makna-makna yang abstrak yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat diindera kecuali dengan intuisi. Dalam hal ini al-Attas menyatakan:
… disana ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh intelek; dan mereka yang memiliki ilmu yang dalalm menerima itu semua apa adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah pandangan yang benar: artinya disana ada batasan-batasan dalam makna sesuatu dan tempat sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan kepentingannya.[29]
Islam mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat rasionalisme sekuler dan empirisisme filsafat dan sains modern yang merupakan produk pandangan hidup Barat tidak bisa dianggap sama dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi oleh konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan sebagainya.
Meskipun pengaruh pandangan hidup terhadap epistemologi sangat besar, namun pengaruhnya terhadap setiap disiplin ilmu berbeda-beda. David K Naugle dalam karyanya Worldview, History of Concept menyatakan:
..the epistemic implication of the worldview vary per discipline. Worldview seem to be least influential (which is not to say noninfluential) in the so-called exact and formal sciences, but are much more telling in the the humanities, the social science, and the fine arts.[30]
Artinya, implikasi epitemologis dari pandangan hidup berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Pandangan hidup nampak kurang berpengaruh (tidak untuk mengatakan tidak berpengaruh) dalam apa yang disebut ilmu eksak dan formal, tapi lebih banyak berpengaruh pada ilmu humniora, ilmu sosial dan seni halus. David juga menjelaskan impak asumsi-asumsi pandangan hidup nampak lebih berkurang dalam praktek ilmu Kimia dibanding ilmu sejarah, misalnya, dan bahkan lebih kurang lagi dalam bidang mathematika dibanding filsafat. Kecuali jika pembahasan menyangkut filsafat kimia atau matematika, karena yang dibahas bukan soal prakek ilmu ini tapi mengenai prinsip-prinsip utamanya atau filosofinya. Dalam kasus ini peran pandangan hidup sangat penting. Jika pandangan hidup tidak banyak berpengaruh terhadap sains keras (hard science) maka unsur realisme meningkat dan diskusi kritis mengenainya berkurang secara proporsional. Ketidak sepakatan diantara para praktisi bidang sains keras ini juga kurang meskipun mereka berbeda pandangan hidup.
5) Worldview Islam basis Peradaban
Jika pandangan hidup dibahas dalam konteks pembentukan peradaban, maka ia harus dikaitkan dengan tradisi keilmuan. Meskipun pandangan hidup Islam lahir dan berkembang menjadi sebuah peradaban, namun ia tidak didahuli oleh masyarakat ilmiyah (scientific society). Artinya pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat yang mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah. Konsep keilmuan dalam Islam tidak terdapat dalam masyarakat ketika Islam datang, tapi terdapat dalam wahyu yang dijelaskan oleh Nabi. Konsep-konsep dalam wahyu itu baru berupa konsep-konsep seminal yang hanya mempengaruhi kondisi berfikir (mental environment). Pandangan hidup Islam mulai disebarkan ketengah masyarakat oleh Nabi di Makkah melalui penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan dan menyebarkannya kemasyarakat. Pandangan hidup yang lahir dengan cara ini disebut ‘quasi-scientific worldview’ sedangkan pandangan hidup yang lahir oleh adanya masyarakat ilmiyah dinamakan scientific worldview.[31] Yang terakhir adalah pandangan hidup Barat yang dilahirkan oleh scientific society. Oleh sebab itu pandangan hidup yang menguasai masyarakat Barat modern adalah pandangan hidup ilmiyah (scientific worldview).
Jadi pandangan hidup Islam lahir dari pancaran konsep-konsep fundamental yang terdapat dalam wahyu. Proses turunnya wahyu sendiri dari sejak di Makkah hingga Madinah ternyata menyimpan kronologi pembentukan ide dan pandangan masyarakat Muslim pada waktu itu. Kronologi dari sejak turunnya wahyu hingga terbentuknya tradisi intelektual dan peradaban Islam dapat dibagi menjadi tiga periode penting: periode pertama, dimulai dari periode Makkah disaat turunnya wahyu dan peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu itu. Periode ini penting karena hampir 75 % wahyu turun di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an). Karena itu dengan merujuk kepada konsep-konsep yang terdapat dalam wahyu maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam.
Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan lain-lain.[32] Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena sepertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah membentuk struktur konsep tentang dunia (world-structure) baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup Islam. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[33] Terminologinya mungkin sama tapi maknanya telah dirubah (di islamkan). Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum inda AllÉh atqÉkum).
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya.[34] Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqÊdah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.
Periode kedua adalah periode ketika masyarakat mulai menyadari bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta’wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.[35]
Sejarah membuktikan bahwa masyarakat ilmuwan dalam bentuk kelompok belajar yang disebut AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah,[36] merupakan masyarakat yang berupaya untuk memahami wahyu. Sebab disitu kandungan wahyu dan hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. [37] Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam Islam.[38] Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, ‘Abd AllÉh ibn Mas’Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong pengkajian terhadap ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh didukung oleh tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu.
Framework yang dipakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang di derivasi dari kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: ‘ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma’, qiyas, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, ta’wil, ‘alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil, haqiqah, ‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.
Dari keseluruhan istilah teknis tersebut istilah ‘ilm, yang berulang kali disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an,[39] adalah istilah sentral yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu pengetahuan wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian yang lebih luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat sentral adalah istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122) menggambarkan kegiatan pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman al-Qur’an dan hadith, yang keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan Fiqh berkaitan erat sekali.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699), Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma’bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn ‘Abd al-’Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja’far al-Sadiq (d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (d.182/799), al-Shafi’i (204/819) dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa meskipun wahyu telah dijelaskan oleh Nabi, namun disana masih terdapat beberapa masalah[40] yang terbuka untuk difahami secara rasional yang dalam tradisi Islam disebut ra’y.[41] Jadi Fiqh (tafqquh) pada periode ini, bukan dalam pengertian hukum adalah kegiatan ilmiah untuk memahami ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dari sumber wahyu. Dalam kegiatan ini ummat Islam telah memiliki metode tersendiri dalam memahami wahyu baik dengan memahami makna ayat demi ayat, membandingkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat dengan dengan ra’y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh sudah dapat dikatakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi yang dibahas maka Fiqh, pada periode awal Islam dapat dianggap sebagai induk dari segala ilmu dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang lain. Lahirnya disilplin ilmu-ilmu Fiqih, kalam, hadith, tafsir, faraidh, falak, dlsb, membuktikan wujudnya tradisi ilmiah dalam Islam.
Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawÉbit) dan dinamis (mutaghayyirÉt), pasti (muÍkamÉt) dan samar-samar (mutashÉbih), yang asasi (uÎËl) dan yang tidak (furË‘). Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting didalamnya. Tak diragukan lagi jika tradisi intelektual dalam peradaban Islam dapat hidup dan berkembang secara progressif. Jadi peradaban Islam itu bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap wahyu yang kemudian berkembang menjadi tradisi intelektual yang melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam dan akhirnya menjadi peradaban yang kokoh. Disitu pandangan hidup atau worldview dan epistemologi sama-sama bekerja.
Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas.
Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka. [42] Pandangan hidup Barat terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian synthesis. Cara pandang mereka terhadap dunia juga berubah dari god-centered, kemudian god-world centered, berubah lagi menjadi world-centered dan kini menjadi man-centred. Perubahan-perubahan ini tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama dan tradisi intelektual Barat.
6) Worldview Sebagai framework Studi Filsafat Islam
Sejalan dengan pemaparan bahwa worldview adalah basis epistemologi dan peradaban Islam maka dapat disimpulkan bahwa worldview Islam dapat digunakan sebagai framework kajian berbagai disiplin ilmu dalam Islam. Seperti dijelaskan diatas bahwa pandangan hidup Islam yang diproyeksikan oleh al-Qur’an dengan konsep-konsep seminalnya telah menghasilkan komunitas ilmuwan. Komunitas ini kemudian melahirkan struktur konsep keilmuan yang diikuti oleh lahirnya berbagai disiplin ilmu. Dalam framework seperti ini maka jelas disiplin cabang-cabang dalam Islam termasuk filsafat Islam adalah produk dari pandangan hidup dan peradaban Islam.
Namun perlu digaris bawahi bahwa makna filsafat Islam kini tidak dapat lagi difahami sebagai filsafat Muslim peripatetik yang mengadapsi aliran Aristotelian-neo-platoisme. Sebab istilah filsafat itu sendiri dari sejak zaman kuno, pertengahan dan modern telah mengalami perbuahan makna dari konsepsi rasionalis, kritis dan akhirnya konsepsi positifis. Kini filsafat dalam Islam dapat difahami dari konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam yang diproyeksikan oleh al-Qur’an. Konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dsb. adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan kebenaran. Oleh sebab itu terma yang sesuai dengan itu adalah hikmah.[43] Jika konsep-konsep asasi dalam filsafat Islam berasal dari al-Qur’an maka asal usul filsafat harus ditelusuri dari dalam pandangan hidup Islam. Dan oleh sebab itu kajian filsafat Islam memiliki frameworknya sendiri. Namun, karena filsafat Islam tidak dikaji dari pandangan hidup Islam, maka framework yang dihasilkan tidak sejalan dengan makna filsafat Islam sendiri. Dalam sebuah buku filsafat Islam Henry Corbin menyatakan:
Filsafat Arab mulai dari al-Kindi, [orang bisa saja menambahkan : melalui penterjemahan karya-karya Yunani] mencapai puncaknya dengan al-Farabi dan Ibn Sina, mengalami serangan yang mengejutkan dari kritik al-Ghazzali dan melakukan upaya heroik untuk bangkit kembali lagi dengan [lahirnya] Ibn Rushd. Itulah.[44]
Framework seperti ini sangat umum dikalangan para orientalis dan banyak diikuti oleh cendekiawan Muslim dan menjadi kurikulum di perguruan tinggi Islam. [45] Dalam buku-buku pedoman Kurikulum Perguruan Tinggi Islam Indonesai pengkajian filsafat berangkat dari asumsi bahwa filsafat Islam adalah filsafat peripatetik dan filosof Muslim pertama adalah al-Kindi. Framework ini jelas mereduksi filsafat Islam hanya sebatas filsafat Muslim Aristotelianisme.
a) Framework orientalis
Pada umumnya para orientalis, dengan beberapa pengecualian,[46] sependapat bahwa geneologi filsafat dalam Islam harus dilacak dari Yunani, sebab menurut mereka filsafat tidak ada akarnya dalam tradisi intelektual Islam. Peter menyimpulkan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal dari Yunani (the stepsisters borne by the same mother).[47] Ueberweg dalam History of Philosophy juga menegaskan The whole philosophy of the Arabians was only a form of Aristotelianisme, tempered more or less with Neo-Platonic conceptions.[48] Dengan argumentasi lain De Boer, orientalis periode awal, dengan tegas menyatakan bahwa “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Filsafat dalam Islam hanyalah eklektisism yang terkait dengan hasil terjemahan karya Yunani, dan karena itu kajian kesejarahannya lebih merupakan assimilasi dari pada originasi.[49] Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam dimulai dengan pemaparan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur dengan porsi yang berlebihan. Jika De Boer mengasumsikan ketiadaaan metode dan sistim filsafat dalam Islam, maka Gustave E von Grunebaum menyinggung ketiadaan pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi dalam Islam, ia menulis begini:
Hellenisme memberikan bentuk pemikiran yang rasional kepada peradaban Muslim….bahkan dalam beberapa kasus menyediakan seperangkat konsep-konsep, dan pada banyak kasus menyuguhkan prinsip-prinsip klassifikasi. [50]
Tidak hanya filsafat, ilmu tasawwuf dalam Islam sekalipun, tetap dia anggap berasal dari aspirasi Yunani, kalaupun tidak bisa disebut transmisi kata per kata. Bahkan sistimatika tasawwuf dalam Islam menurutnya merupakan kelanjutan dari mistikisme dalam Kristen. Kalaupun ada sumbangan Muslim, itu hanyalah hasil dari upaya wajar yang lebih menonjol faktor manusianya ketimbang Islamnya. Jadi, menurutnya konsep-konsep filsafat Yunani itu telah dimodifikasi oleh Muslim, tapi elemen-elemen Yunani masih tetap dipertahankan.[51] Kalau Gustave mementahkan prestasi Muslim dalam bidang Tasawwuf dan filsafat M.W.Watt dalam bidang filsafat dan ilmu Kalam. Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, menurutnya, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani.[52] Sejalan dengan Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook menganggap formula perdebatan dalam ilmu Kalam diambil dari Yunani atau dari teks Syriac.[53] Tapi, mereka umumnya tidak memberikan bukti yang kuat tentang bagaimana proses pengambilan dari Yunani itu berlangsung. Watt sendiri mengakui bagaimana MutakallimËn berhubungan dengan Yunani hanya merupakan asumsi yang mash perlu dibuktikan.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Tapi ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran yang masuk Islam, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Lebih tegas lagi ia menyatakan bahwa Muslim pada abad ke 7 M mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.[54]
Pernyataan bahwa seluruh filsafat Islam (the whole philosophy of the Arab) merupakan pernyataan yang tidak ilmiyah karena tidak disertai bukti-bukti yang kokoh. Pernyataan Edward bahwa filsafat Islam berasal dari Kritsten Syria dan Yahudi juga demikian, sebab penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya.[55] Anggapan itu juga bertentangan dengan temuan Peter, bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka.[56] Ini berarti, menurut teori worldview Alparslan, mereka tidak mampu menyerap pemikiran Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka.[57] Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih. Proses ini diakui oleh penulis Barat lain sebagai “appropriaing and developing” tradisi Yunani kedalam “Islamic cultural milieu”.[58] Marmura, dalam hal ini menyatakan:
Thus, the falÉsifah did not simply accept ideas they received through the translations. They criticized, selected, and rejected; they made distinction, refined and remolded concepts to formulate their own philosophies. But the conceptual building block, so to speak, of these philosophies remained Greek. [59]
Disini pengakuan Marmura benar dan tepat, yaitu bahwa cendekiawan Muslim bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reormulasi konsep. Pengakuan serupa juga dilakuan oleh Sabra. Dalam kajiannya tentang filsafat dan sains Islam menyatakan:
Philosophy, in Islamic consciousness, has always been the “foreign” science par excellence (to use a current word for the disciplines of knowledge “acquired by Islamic civilization from antiquity), and it has retained its Greek name in an Arabicized form up to our own day. …..but the Arabicized name falsafah, is also a sign of successful naturalization.[60]
Meskipun Sabra mengakui keberhasilan proses naturalisasi filsafat Yunani ke dalam Islam dan Marmura mengakui adanya proses seleksi dan modifikasinya yang dilakukan oleh cendekiawan Muslim, namun satu hal yang mereka pegang secara konsisten adalah bahwa filsafat itu ilmu asing dalam Islam dan unsur-unsur Yunani masih terdapat didalamnya.
Dari pandangan para orientalis mengenai asal usul filsafat dalam Islam diatas dapat ditangkap suatu indikasi bahwa dibalik menafikan asal usul filsafat Islam itu adalah pengingkaran adanya sistim, konsep dan pemikiran rasional dalam Islam. Pemikiran rasional hanya dimiliki oleh Yunani. Implikasi logisnya, Islam tidak memiliki konsep dan sistim pemikiran. Selain itu terdapat sikap ambivalen dalam cara berfikir mereka. Ilmu Kalam dalam Islam tidak dikategorikan kedalam filsafat, sebab ia berdasarkan pada teologi atau berangkat dari doktrin-doktrin keagamaan. Namun disisi lain mereka menganggap para teolog Kristen pada abad pertengahan sebagai filosof. Berdasarkan pemahaman tentang asal usul filsafat Islam yang demikian itu maka akibatnya nama filsafat Islam tetap dikaitkan dengan filsafat Yunani.
b) Nomenklatur Orientalis
Anggapan tentang asal usul diatas ternyata berkaitan dengan penamaan filsafat Islam. Karena filsafat Islam dianggap berasal seluruhnya dari Yunani, maka penamaan filsafat Islam berangkat dari istilah yang dipakai untuk merujuk kepada aktifitas pemikir Muslim yang berkaitan filsafat Yunani. Oleh Karen itu nama untuk filsafat Islam selalu merujuk kepada istilah falsafah, yaitu istilah Yunani Philo dan Sophia yang di Arabkan (Arabicized). Atas dasar itu maka Sabra menyimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu asing dalam Islam, meskipun ia mengakui bahwa filsafat Yunani telah mengalami proses naturalisasi sebelum ia menjadi bagian dari ilmu Islam.[61]
Para orientalis seperti Montgomery Watt, Majid Fakhry, George Hourani, George Anawati, Henry Corbin, Michael Marmura, dan lain-lain menggunakan istilah Islamic Philosophy (Filsafat Islam), tapi makna sebenarnya masih tetap merujuk kepada makna falsafah. Kata sifat Islam atau Islamic tidak mencerminkan substansi Islam dalam filsafat.
Fakhry menggunakan istilah filsafat Islam tapi juga setuju dengan istilah Filsafat Arab, sebab alasannya, filsafat dalam Islam merupakan produk dari proses intelektual yang kompleks yang melibatkan peran serta bangsa-bangsa Syria, Arab, Persia, Turki, Barbar dan lain-lain. Tapi karena unsur Arab lebih dominan maka akan lebih mudah disebut dengan Filsafat Arab.[62] Anehnya, penulis-penulis Arab sendiri tidak pernah menggunakan istilah al-Falsafah al-Arabiyyah. Penekanan pada elemen Arab atau Yunani, agaknya menunjukkan suatu kesengajaan untuk menyembunyikan elemen Islam dalam filsafat. T.J.De Boer, malah memberi judul bukunya The History of Philosophy in Islam, yang bisa diartikan sebagai “Sejarah Filsafat [Yunani] dalam Islam”. Dalam buku Vergilius Ferm berjudul A History of Philosophical Systems, bab ke 13 tentang filsafat Islam diberi judul The Arabic and Islamic Philosophy, tapi didalamnya lebih banyak menggunakan istilah Arab philosophy.
Dalam sebuah Kamus tentang Islam yang diterbitkan pada sekitar tahun 1920-an, filsafat Islam dimasukkan kedalam entri Muslim Philosophy, Arabic falsafah or ilmu al-Íikmah. Penamaan ini agak aneh, sebab falsafah disamakan dengan Íikmah. ×ikmah disitu diartikan sama dengan Aristotelianisme yang dicampur dengan Neo-Platonisme.[63]
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran dan adapsi (appropriating) elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi fakta yang juga tidak dapat diingkari adalah bahwa cendekiawan Muslim telah menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen asing itu kedalam millieu peradaban Islam.[64] Namun perlu dicatat bahwa cendekiawan Muslim tidak akan mampu menjelaskan, menafsirkan, mengadapsi elemen penting dalam filsafat Yunani dan memasukkannya kedalam peradaban Islam, kecuali dengan bekal konsep-konsep penting dalam pandangan hidup Islam (worldview) yang mereka miliki. Berbeda dari para pemikir Kristen yang tidak “berani” menggunakan pemikiran Yunani kecuali seteleh di modifikasi oleh pemikir Muslim. Albertus Magnus ( 1193-1280 M) misalnya menggunakan argumentasi tentang eksistensi Tuhan dari metafisika al-Farabi.
Dikalangan Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah dipakai sebagai sebutan yang diberikan kepada aktifitas ilmiyah pada sekitar abad ke 8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Namun, setelah proses, sebut saja, Islamisasi terjadi, nama falsafah difahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang lebih penting falsafah adalah ilmu tentang Wujud.[65] Ibn Taymiyyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-ÎaÍÊÍah. Definisi filsafat pun ia terima sebagai ilmu tentang Wujud. [66]
Ini berarti falsafah tidak lagi dipahami dalam kaitannya dengan pemikiran Yunani, tapi dipahami dalam arti luas dan bahkan dihubungkan dengan Íikmah. Istilah Íikmah disebut sekitar 20 kali dalam al-Qur’an itu sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri.[67]
Mungkin pernyataan Oliver Leaman bisa menggambarkan realitas ini. Ia manyatakan bahwa: “philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with (Greek) philosophy”. Menurutnya, filsafat Islam tumbuh dan berkembangan melalui prinsip-prinsip penalaran dibidang hukum. Assimilasi pemikiran asing menjadi suatu keharusan ketika terjadi ekspansi Islam yang begitu cepat, sehingga Muslim menguasai peradaban yang sangat canggih. Meskipun demikian, asimilasi tersebut dilakukan melalui proses Islamisasi.[68]
Artinya wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dsb. sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, ontologi dan cosmologi, dan masuk kedalam kategori filsafat ketimbang teologi per se.
Terdapat kerancuan nomenklatur dikalangan orientalis. Disatu sisi mereka ingin berpegang pada nama falsafah yang merupakan kata Yunani yang di Arabkan, namun disisi lain mereka menyamakan filsafat Islam dengan filsafat Muslim, filsafat Arab dan juga Íikmah. Padahal penamaan itu membawa implikasi sendiri. Yang nampak rancu adalah ketika falsafah disamakan dengan Íikmah dan kemudian mengartikannya sebagai warisan dari Yunani.
Meski para orientalis memakai berbagai nama unuk filsafat Islam, namun mereka tetap konsisten pada pendapat bahwa filsafat dalam Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Penamaan dan pengertian filsafat Islam yang sedemikian itu, pada akhirnya menghasilkan framework kajian terhadap materi filsafat Islam. Untuk itu sebaiknya kita bahas framework orientalis dalam mengkaji filsafat Islam.
c) Konsekeuensi Framework orientalis
Framework kajian filsafat Islam para orientalis sudah tentu mengikuti prinsip asal usul dan nomenklatur seperti yang telah dikemukakan diatas. Asal filsafat Islam, seperti dinyatakan oleh Watt tumbuh dari hasil dua gelombang Hellenisme, yaitu periode penterjemahan dan periode munculnya filosof Muslim Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan lainnya.[69] Menurut Majid Fakhry bahkan bukan hanya dari Yunani, tapi juga dari India dan Persia.[70] Bagi penulis Kisten, seperti Edward Jurji, misalanya asal muasal filsafat Islam dikaitkan dengan latar belakang komunitas Kristen. Karena itu kajian filsafat Islam, menurutnya harus dimulai dari kajian situasi peradaban di Timur Dekat (yakni kawasan Timur Tengah sekarang). Di kawasan itu kajian terhadap warisan Yunani kuno menjadi semakin inten karena tersebarnya agama Kristen saat itu. Jadi, menurut Edward, sejarah filsafat Arab (yakni filsafat Islam) berakar pada pengikut gereja Nestorian dan Jacobite.[71] Framework semacam ini sangat umum dijumpai dalam tulisan sejarah filsafat Islam.[72]
Sebagai konsekuensi dari framework yang mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani ataupun Kristen, adalah menganggap konsep-konsep dan sistim pemikiran dalam Islam sebagai berasal dari dan didominasi oleh pemikiran asing. Ini dapat juga dibaca dari pemikiran Alfred Gullimaune yang secara tegas menyarankan agar framework, skop dan materi Filsafat Arab ditelusuri dari bidang-bidang dimana Filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam.[73] Tidak dijelaskan bagaimana filsafat Yunani mendominasi sistim ummat Islam. Tidak dielaborasi pula sistim apa saja dalam Islam yang didominasi oleh filsafat Yunani.
Jika pun yang didominasi itu adalah sistim pemikiran Muslim peripatetik, juga tidak dapat sepenuhnya diterima. Sebab, para filosof Muslim peripatetik seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dsb juga telah merobah pemikiran Yunani agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Konsep-konsep Islam yang mendasar seperti konsep keesaan Tuhan (tawhid), konsep kehidupan dunia-akherat, konsep manusia, dsb meskipun bertentangan dengan konsep Yunani tetap dipertahankan. Jika konsep Yunani dominan dalam pemikiran Islam, maka Islam tidak dapat berkembang menjadi peradaban yang kuat dimasa itu. Karena tidak ada peradaban yang tumbuh dengan konsep peradaban lain, kecuali peradaban itu akan punah.
Selanjutnya, menggunakan framework seperti tersebut diatas juga membawa akibat pada penafian peran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dari pandangan O’Leary dalam karyanya Arabic Thought and Its Place in History.[74] Ia meletakkan pemikiran Arab hanya sebagai transmitter filsafat Yunani dari Hellenisme versi Syriac kedalam peradaban Barat Latin. Disini lagi-lagi, anggapan bahwa Muslim tidak mempunyai pemikiran rasional sangat menonjol. Tidak disadari bahwa proses mentrasmisikan suatu pemikiran memerlukan kerja rumit yang tidak hanya sebatas penterjemahan dan penjelasan. Ketika Muslim menterjemahkan teks-teks Yunani, didalam pikiran mereka telah terdapat pandangan hidup (worldview) yang teratur, rasional dan mampu menerima pemikiran dalam teks-teks yang diterjemahkan itu. Jika Muslim tidak mempunyai pemikiran rasional, mereka akan bersikap sama dengan para teolog Kristen yang tidak berani menterjemahkan Organon Aristotle, khawatir membahayakan keimanan mereka. Jika mereka mampu, tentu bangsa Syriac yang umumnya adalah penganut Kristen itu sudah maju mendahului ummat Islam dalam bidang filsafat dan sains. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Dari framework kajian diatas, sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Nampaknya frameworks kajian sejarah mereka berdasarkan pada hypotesis yang dijustifikasi dengan teori. Namun hypotesa dan teori boleh jadi tidak relevan dengan realitas alam pikiran Islam, meskipun secara kronologis boleh jadi benar. Mengapa hypotesa dan teori oritentalis tidak relevan, mungkin bisa dirujuk kepada kesimpulan Edward Said bahwa orientalisme adalah merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat sehingga menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. Selain itu meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa kepentingan, namun ia berfungsi untuk tujuan politik.[75]
Apa yang seringkali dilupakan oleh para orientalis adalah bahwa Islam adalah pandangan hidup (worldview) yang sangat menghargai penggunaan akal dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat tumbuh menjadi suatu peradaban yang maju dan terbuka untuk “meminjam” unsur-unsur asing tanpa kehilangan identitas dirinya.
d) Framework Pemikir Muslim
Sesungguhnya falsafah adalah cabang pengetahuan dalam khazanah intelektual Islam, namun falsafah tidak dapat disebut sebagai nama Filsafat Islam. Hal ini dapat dilihat ketika falsafah yang berasal dari Yunani masuk kedalam tradisi intelektual Islam para ulama yang umumnya fuqaha menolaknya, terutama ilmu mantiq (logika),[76] karena berkaitan dengan metafisika.[77] Ada pula ulama, seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi yang menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan. Yang lain lagi seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dsb. menerima falsafah dan memodifikasinya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam.
Namun penolakan dan penerimaan para cendekiawan Muslim diatas bukan hanya sekedar karena filsafat itu berasal dari ilmu asing, tapi lebih karena adanya beberapa prinsip dalam “filsafat” yang dianggap bertentangan dengan Islam. Ibn Taymiyyah yang termasuk diantara yang penolak keras “filsafat” ternyata juga menerima “filsafat”, tapi dengan prasyarat, yaitu asal berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Filsafat yang demikian itu ia sebut al-falsafah al-ØaÍÊÍah (filsafat yang betul) atau al-falsafah al-ÍaqÊqiyyah (Filsafat yang sebenarnya).[78] Imam Al-Ghazzali sendiri sebenarnya juga tidak menolak filsafat, tapi mengkritik prinsip-prinsip berfikir para filosof. Jadi para ulama menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsep-konsepnya yang tidak sejalan dengan konsep-konsep dalam Islam. Selain itu juga karena mereka percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dari konsep asing itu. Ini berarti bahwa para ulama menganggap bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Dari kritik al-Ghazzali terhadap falsafah dan penerimaan istilah Falsafah al-Sahihah Ibn Taymiyyah menunjukkan bahwa filsafat Islam bukanlah falsafah yang berasal dari Yunani. Maka dari itu mengaitkan asal usul filsafat Islam secara menyeluruh dengan filsafat Yunani akan membawa konskuensi logis bahwa kegiatan ilmiyah dalam Islam tidak ada sebelum periode penterjemahan karya-karya Yunani. Demikian pula memberi nama filsafat Islam dengan melulu merujuk kepada pengertian Yunani juga akan membawa akibat yang sama. Padahal jika kita cermati pemikiran Islam periode awal akan kita temukan tidak kalah dari pemikiran spekulatif Yunani pada periode awal di Ionia. Jika di Ionia pemikiran spekulatif mereka membahas masalah kejadian alam semesta dan asal usul segala sesuatu, ummat Islam bahkan membahas masalah-masalah Tuhan, alam semesta, moralitas, hari akhir dan lain-lain yang dalam filsafat Yunani termasuk dalam bidang metafisika.
Jadi framework yang mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani menurut C.A.Qadir jauh dari benar. Sumber aspirasi yang asli dan riel para pemikir Muslim, menurutnya, adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanya memberi stimulasi dan membuka jalan untuknya. Karena itu fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[79]
Pandangan serupa juga dapat ditemua dalam DirÉsÉt fÊ al-Falsafah al-IslÉmiyyah, karya ‘Abd al-LaÏÊf Muhammad. Menurutnya dalam Islam telah ada pemikiran filsafat yang disebut Íikmah dan ketika ummat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani mereka mengembangkannya, tapi masih tetap berangkat dari konsep Íikmah. Jadi, menurutnya, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani kedalam Islam, tapi ×ikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.[80]
Tanpa menafikan adanya hubungan antara filsafat Islam dan Yunani MM Sharif mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”.[81] Ini adalaah pernyataan yang cukup adil, artinya meskipun didalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani, tapi filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Barat sendiri yang juga mengandungi unsur Yunani, Islam dan Kristen, tetap saja disebut Filsafat Barat dan dikaji menurut framework Barat.
Dari sini kita dapat melihat suatu framework yang berbeda dari framework orietalis yaitu bahwa akar filsafat Islam bukanlah filafat Yunani, tapi adalah konsep-konsep kunci dari wahyu. M. Iqbal bahkan mengatakan bahwa spirit Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani.[82] Sementara Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya.[83] Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu kemudian diintegrasikan kedalam peradaban Islam, khususnya jika hal itu berkaitan dengan Íikmah dalam pengertian yang universal.[84] Jadi adalah salah jika berfilsafat dalam Islam itu berarti menganut paham skeptisisme, keraguan dan aktifitas manusia yang individualistis yang melawan Tuhan.[85]
Dengan prinsip asal usul seperti itu maka filsafat Islam dapat di definisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Maka dari itu nama filsafat Islam benar-benar merujuk kepada sumber Islam dan bukan sumber Yunani. MM. Sharif lebih suka menyebut Muslim Philosophy (filsafat Muslim) daripada Islamic Philosophy (Filsafat Islam). Karena itu buku sejarah filsafat Islam yang ia edit itu diberi judul A History of Muslim philosophy. Nama ini digunakan agar pemikiran filosof Muslim yang bertentangan dengan ajaran, kepercayaan dan konsep-konsep Islam tidak disebut sebagai filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap sebagai idealisme yang menjadi norma yang dapat digunakan untuk mengevaluasi filsafat Muslim. Jadi filsafat Islam adalah tujuan dan aspirasi masa depan.[86] Namun, sebenarnya menggunakan nama Filsafat Islam sebab hal itu justru menjunjukkan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang lahir pandangan hidup Islam.
Framework para pemikir Muslim diatas menunjukkan peran Islam yang dominan dibandingkan peran filsafat Yunani. Ini nampaknya sangat sesuai untuk digunakan dalam pengkajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam. Disini filsafat Islam tidak hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur’an, hadith dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat didalamnya. Oleh sebab itu framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahasan dari konsep al-Qur’an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik pengikut peripatetik maupun pengkritiknya), dan tasawwuf.
e) Framework Alternatif
Framework kajian filsafat Islam semestinya sejalan dengan pandangan para pemikir Muslim kontemporer seperti yang disebutkan diatas. Filsafat Islam dipahami sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam yang konsep-konsep dasarnya berakar pada al-Qur’an dan hadith yang kemudian ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama sehingga menggambarkan struktur konsep yang berbeda dari filsafat Yunani. Karena sumber pemikiran filsafat Islam adalah wahyu, maka kajian sejarah filsafat Islam dimulai dari konsep-konsep seminal (seminal concepts) dalam al-Qur’an dan dilanjutkan dengan kajian terhadap pemahaman, penafsiran, penjelasan dan pengembangan konsep-konsep tersebut oleh para pemikir Muslim.
Dalam kaitannya dengan disiplin filsafat Islam, aktifitas memahami, menafsirkan, menjelaskan dan mengembangkan konsep-konsep dalam al-Qur’an dapat digambarkan dalam bidang yang kemudian disebut kalam, falsafah dan hikmah.
1) Kalam, adalah istilah oleh kebanyakan ilmuwan diartikan sebagai ilmu yang mempertahankan asas-asas agama dan seringkali disebut teologi. Tapi sebenarnya kalam lebih luas daripada itu, sebab selain mendiskusikan isu teologis juga membahas problem-problem filsafat. Oleh sebab itu para orientalis memberi berbagai macam kepada kalam, seperti philosophical theology, Islamic theology, atau philosophy of kalam. Jika di Abad Pertengahan Barat menyebut teolog mereka sebagai filosof, maka umat Islam dapat pula menyebut para mutakallimun sebagai filosof.
2) Falsafah, nama ini adalah terjemahan murni dari Philosophia dan istilah ini dikaitkan dengan Muslim paripatetic (Mashsha’i). tokohnya yang terkenal adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Rushd, Ibn Tufayl and Ibn Bajah dsb. Tapi sebenarnya Muslim Paripatetics ini dalam pengertian Aristotle hanyalah teolog, sebab mereka hanya mengembangkan teologi Aristotle.
3) al-Hikmah, berarti ‘wisdom’, sedikit berkaitan dengan istilah ‘philosophy’, tapi lebih luas dari “philosophy”, sebab al-Hikmah tidak hanya bersumber pada akal manusia, tapi pada wahyu. Oleh sebab itu bidang kajian al-Hikmah lebih luas daripada filsafat.
Jika pembagian diatas kita terima, maka filsafat Islam bukan hanya terbatas pada falsafah dan pendekatan atau framework mempelajari filsafat Islam harus dirubah. Untuk merubah framework pengkajian filsafat Islam kita perlu menekankan dua hal: Pertama, definisi dan pengertian filsafat Islam; Kedua, proses lahirnya filsafat Islam
Pertama karena filsafat berbeda dari ilmu (sciences) maka materi kajian (subject matter) filsafat Islam lebih luas dari ilmu apapun dan karena itu definisi filsafat yang mencakup seluruh pemikiran filsafat tidak mudah. Untuk mengatasi kesulitan ini dan sebelum mendefinisikan filsafat, kita lihat tujuan utama para filosof dalam pemikiran mereka. Tujuan mendasar mereka ada dua: 1) Membangun sistim filsafat dan 2) mengevaluasi sistim atau mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sistim tersebut. Berdasarkan pada dua tujuan filosof tersebut maka jelaslah bahwa materi kajian (subject matter) filsafat adalah sistim.
Sebagai suatu sistim pengetahuan maka filsafat mempunyai cirri-ciri utama diantaranya tersusun secara logic (logically organized). Menggunakan metodologi khusus (methodological) dan menerapkan teori yang berdasarkan observasi, analisa, sintesa dan pengalaman (eksperimen). Jadi, arti filsafat bedasarkan pada pandangan ini adalah kajian tentang pembentukan (constructing), penilaian (evaluating) atau pembahasan (discussing) masalah yang berkaitan dengan sebuah sistim pemikiran dengan pendekatan ilmiyah yang tersusun, metodologis dan teoritis.
Kedua untuk menentukan framework filsafat Islam diperlukan gambaran tentang kemunculannya dan tokoh yang membawanya. Kelahiran dan perkembangan suatu pemikiran selalu dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan peradaban yang menaunginya. Sebab, perlu dicatat, ilmu tidak dapat berkembang tanpa latar belakang peradaban, dan ilmu dalam peradaban manapun tidak dapat berkembang tanpa adanya struktur konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) sebelumnya. Yang dimaksud dengan struktur konsep keilmuan adalah jalinan konsep-konsep yang memungkinkan adanya tradisi keilmuan, termasuk istilah-istilah keilmuan (scientific terminology) dalam berbagai bidang. Susunan konsep ini disebut dengan pandangan hidup (worldview). Dalam sejarah Islam kita temukan banyak sekali konsep-konsep penting, seperti ilm, hikmah, kalam, ra’y, ijtihad, sahih, khata’, sawab, batil dsb., yang kesemuanya itu disebut dengan struktur ilmu pengetahuan (knowledge structure).
Jika filsafat Islam dikaji dari konsep-konsep yang berasal dari peradaban Islam, maka filsafat Islam dan filsafat Yunani jelas berbeda. Yang pertama bersumber dari wahyu sedangkan yang kedua bersandar pada akal. Berdasarkan konsep pandangan hidup diatas maka Filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Qur’an dan Sunnah yang dalam perkembangan selanjutnya bersentuhan dengan konsep-konsep asing.
i). Tujuan Kajian Filsafat Islam
Tujuan Pengkajian Filsafat Islam adalah untuk memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami konsep-konsep penting dalam pemikiran filsafat Islam. Selain itu juga memberikan kecakapan kepada mahasiswa untuk merujuk konsep-konsep penting filsafat dari konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an dan Hadith, sehingga dengan begitu ia mampu menjelaskan konsep-konsep yang pernah ada dalam dalam khazanah intelektual Islam sesuai dengan situasi masa kini. Untuk menggambarkan framework ini maka kajian filsafat Islam merujuk kepada framework Sejarah Filsafat Islam diatas. Untuk tingkatan Sarjana S1, tidak seluruh materi diberikan dalam 1 semester, namun framework kajiannya tetap merujuk kepada framework Sejarah dibawah ini. Selain itu kajian teks diarahkan untuk mengkaji konsep-konsep penting yang terdapat dalam Madhhab-madhhab filsafat Islam, baik dari Kalam, falsafah maupun tasawwuf.
ii) Topik pembahasan disusun sbb:
I. Pengertian dan obyek kajian Filsafat Islam
II. Tradisi Pemikiran Spekulatif Periode Awal
A. Konsep-konsep penting dalam al-Qur’an (konsep teologi, ontologi, epistemologi, cosmology)
B. Kajian pemikiran tentang hikmah periode sahabat dan tabiin.
C. Awal Tradisi pendidikan Ashab al-Suffah
III. Konsep pandangan hidup Islam dan Sejarah kelahiran ilmu dalam Islam
A. Lahirnya disiplin ilmu dalam Islam Fiqih, Tafsir, Hadith, Sejarah, Nahwu dsb
B. Lahirnya pemikiran spekulatif ( Kharijiyah, Qadariyyah, Murji‘ah, Shiah)
IV. Munculnya pemikir spekulatif periode awal
A. Dari kalangan tradisionalis (Urwah ibn Zubyar, al-Zuhri, Ibn Ishaq)
B. Dari kalangan ulama dibidang hukum (Qadi Shurayh, Ja‘far al-Sadiq, Abu Hanifah, Malik Ibn Anas, Abu Yusuf)
C. Dari kalangan teolog (Hasan al-Basri, Wasil Ibn Ata’, Jahm Ibn Safwan, Ghyalan al-Dimashqi)
V. Kelahiran madhhab-madhhab Filsafat
A. Madhhab Sunni (al-Ash‘ari, al-Maturidi)
B. Madhhab Mashsha’un, Peripatetik Muslim ( al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina)
C. Madhhab Sufi (al-Muhasibi, Abu al-Qasim al-Junyad, al-Bistami)
D. Filosof Naturalis (Ibn al-Rawandi, Zakariyya al-Razi)
E. Madhhab Ikhwan al-Safa
VI. Perkembangan dan Reorientasi Pemikiran Filsafat
A. Kritik Madhhab Sunni terhadap Madhhab Mashsha’un (Kritik al-Ghazzali terhadap filsafat Ibn Sina)
B. Kritik Ibn Rushd terhadap filsafat al-Ghazzali
C. Kritik Fakhr al-Din al-Razi terhadap Ibn Sina
VII. Perkembangan Madhhab Sufi
A. Madhhab Wahdat al-Wujud Ibn Arabi
B. Madhhab Filsafat Illuminasi al-Suhrawardi
C. Madhhab Filsafat Wujudiyyah Mulla Sadra
VIII. Tren Pemikiran filsafat Islam Modern[87]
II. Kajian Teks Filsafat Islam
Topik Kajian:
Kajian teks ditujukan agar mahasiswa memahami konsep-konsep tertentu dalam teks-teks yang menjadi sumber pemikiran filsafat Islam dan teks-teks filsafat Islam, khususnya konsep-konsep dalam masalah Tuhan, alam, manusia, ilmu, etika dsb.
1. Kajian teks sumber filsafat Islam al-Qur’an, Hadith dan Qaul Sahabah
2. Kajian teks-teks dalam tradisi kalam
3. Kajian teks-teks filsafat Yunani (Plato dan Aristotle)
4. Kajian teks-teks dalam tradisi falsafah
5. Kajian teks-teks dalam tradisi tasawwuf
Mengingat bahwa filsafat Islam adalah kajian mengenai sistim pemikiran yang terdiri dari konsep-konsep, maka kemampuan bahasa Arab menjadi prasyarat bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini.
Mengkaji pemikiran filsafat manapun sebenarnya adalah mengkaji pandangan hidup dan suatu pandangan hidup adalah sistim pemikiran yang terdiri dari konsep-konsep penting suatu peradaban. Jika pandangan hidup adalah suatu bangunan pemikiran yang terdiri konsep-konsep, maka ketika suatu pandangan hidup dipahami secara filosofis ia menjadi sistim filsafat dan yang nampak bukan lagi pandangan hidup tapi adalah sistim filsafat tersebut. Oleh karena itu memahami filsafat Islam dari pandangan hidup Islam berarti memahaminya dengan pendekatan sistemik (systemic approach). Dengan pendekatan ini maka sebagai sebuah sistim, filsafat Islam dapat digunakan untuk memahami sistim-sitim filsafat lain seperti filsafat Barat dan bahkan dapat dipakai untuk mengkritik dan juga mengadapsi konsep-konsep asing kedalam millieu filsafat dan pemikiran Islam.
KesimpulanIslam adalah agama dan pandangan hidup yang mempunyai konsep-konsep kunci yang berasal dari dalam tradisinya sendiri dan berbeda secara diametris dari konsep-konsep dalam pandangan hidup lainnya. Jika konsep-konsep dalam pandangan hidup Islam itu dibingkai dalam susunan yang sistemik dan saling berkaitan antara satu dengan lainnya serta membentuk suatu keseluruhan yang integral, maka ia akan menjadi asas epistemologi dan bahkan dapat menjadi framework kajian berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam.
[1] Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles Sribner’s sons, New York, n.d. 1-2
[2] Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, 532.
[3] Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.
[4] Al-MawdËdÊ, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967) 14, 41.
[5] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm wa Idulujiyyat al-InsÉn, DÉr al- KitÉb al-LubnÉnÊ, Beirut, 1989, hal. 13.
[6] M.Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-TaÎawwur al-IslamÊ, DÉr al-ShurËq, tt. Hal. 41
[7] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, 2
[8] Ninian Smart, Worldview, 2
[9] Ia tidak diterjemahkan menjadi Nazrat al-Islam li al-kawn, karena nazar lebih bersifat observasi spekulatif dan al-kawn lebih merupakan pengalaman indrawi atau dunia nyata yang kasat mata. S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[10] S.M.N, al-Attas, Prolegomena, 1.
[11] Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur, ISTAC 1996, 29.
[12] Alparslan, “The Framework” 6. Cf. Alparslan, Islamic Science, 10.
[13] Pengetahuan a prioriadalah pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berfikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa observasi atau pengalaman khusus. A posteriori adalah pengetahuan yang tidak dapat diperoleh secara a priori.
[14] Alparslan, “The Framework”, 6-7.
[15] Thomas F Wall, Ninian Smart, al-Attas menyinggung konsep-konsep tentang kehidupan sebagai elemen pandangan hidup. Lihat, Thomas F Wall, Thinking.. , 16; Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9; S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[16] Alparslan, Islamic Science, 20-26.
[17] Dari enam elemen penting pandangan hidup Thomas Wall salah satunya adalah konsep Tuhan lainnya adalah 1) Ilmu, 2) Realitas, 3) Diri, 4) Etika, 5) Masyarakat, lihat Thomas F Wall, Thinking.. , 16; Sementara itu Smart dalam konteks agama-agama menyebut doktrin keagamaan sebagai salah satu pandangan hidup, selain itu adalah 1) Mitologi, 2) Etika, 3) Ritus, 4) Pengalaman dan Kemasyarakatan, lihat Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9,
[18]S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[19] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix.
[20] Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem p. 60
[21] Adi Setia, al-Attas’ Philosophy of Science, an extended outline, makalah diskusi Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS, Sabtu, 21 juni, 2003, Kuala Lumpur, Malaysia. Hal. 7.
[22] Al-Attas, Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, Kuala Lumpur, Ministry of Culture, 1986, hal. 460.
[23] Adi Setia, ibid, hal. 9
[24] Al-Attas menyebut pandangan ini sebagai “artificial coherence” karena ia tidak bersifat alami dalam konteks hakekat fitrah manusia, karena itu sifatnya selalu berubah dengan perubahan sosial.
[25] Lebih detail lihat Gerald Vision, Modern Anti-Realism and Manufactured Truth, International Library of Philosophy, ed. Ted Honderich (New York: Routledge, 1988).
[26] Intuisi, menurut al-Attas bukan hanya berarti pamahaman langsung oleh subyek yang mengetahui tentang dirinya, dalam kondisi sadar, tentang diri orang lain, tentang dunia luar, tentang kebenaran, nilai, rasional dan universal. Intuisi juga merupakan pemahaman, langsung tanpa perantara tentang kebenaran agama, tentang realitas dan wujud Tuhan, realitas eksistensi sebagai lawan dari realitas esensi, intuisi pada tingkat yang tertinggi adalah intuisi tentang wujud itu sendiri. Lihat al-Attas, Prolegomena, hal. 119
[27] al-Attas, A Commentary on the Hujat al-ØsiddÊq of NËr al-DÊn al-RÉnirÊ: being an exposition of the salient point of distinction between the position of the theologians, the philosophers, the Sufi dan the pseudo-Sufi on the ontological relationship between God and the world and related questions, Ministry of Education and Culture, Kuala Lumpur, 1986, 464-465.
[28] Al-Attas, The Concept of Education in Islam; A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1991, hal. 7 ff; Osman Bakar mendiskusikan konsep tafsir al-Attas ini dalam “The Question of Methodology in Islamic Science” dalam Tawhid and Science: Essay on the History and Philosophy of Islamic Science, (Penang dan Kuala Lumpur, Secretariat for Islamic Philosophy and Science, dan Kuala Lumpur: Nurin Enterprise, 1991; buku ini diterbitkan kembali sesuai dengan aslinya dengan judul The History and Philosophy of Islamic Science, (Cambridge, Islamic Text Society, 1999, 13-38.
[29] Al-Attas, Islamic Philosophy of Science, 31-32; lihat juga Prolegomena, 138
[30] David K Naugle, Worldview, History of Concept, William B Eerdmanss Publishing, Grand Rapid, Michigan / Cambridge, UK, 2002, hal. 328.
[31] Alparslan, Islamic Science, 19
[32] Alparslan, Islamic Science, 71-72.
[33] Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan menunjukkan sistim kata yang menjadi unsure pokok dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam. Contoh yang diberikan disini adalah kata Allah yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam sistim kata pada masa pra-Islam Allah tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral, Allah adalah tuhan dalam hirarki tuhan-tuhan yang lain. Penjelasan lebih detail lihat Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung, New Edition, Kuala Lumpur, Islamic Book Trust, 2002, 36-38.
[34] Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan di Makkah dan Madinah Lihat Abu Ammaar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the Qur’aan, Birmingham, al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999, 100-101.
[35]Alparslan, Islamic Science, 81
[36] Khalifah melaporkan catatan orang lain menyatakan bahwa Suffah didirikan antara 10, 17, atau 19 bulan sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Dalam SaÍih BukhÉri disebutkan pula bahwa ia didirikan 16 or 17 bulan setelah Hijrah. Lihat Khalifah ibn Khayyat (d.240 A.H) al-Tarikh, dengan komentar oleh Akram Diya’ al-’Umari (Najaf: al-Adab Press 1967, vol.1 / 321. Cf, al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il (d.256 A.H) al-Sahih, 9 Parts in 3 vols (Egypt: Muhammad Ali al-Subayh, n.d. see Kitab al-Salah Bab al-Tawajjuh Nahw al-Qiblah, 1/104.; lihat juga al-Hujwiri, Kashf al-Mahjub, 81.
[37] Tujuan utama AsÍÉb al-Øuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat bersama-sama, berzikir serta belajar menulis. Alumni, sebut saja begitu, dari sekolah masyarakat (learning society) ini juga menunjukkan kemampuan mereka dalam menghapal hadith-hadith Nabi. Jumlah peserta dalam komunitas keilmuan ini, menurut AbË Nuaym berbeda-beda dari waktu ke waktu, tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Materi yang dikaji memang masih sangat sederhana, tapi karena obyek kajiannya berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks ia merupakan benih-benih kajian pada periode selanjutnya. Lihat Abu Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha’ath, (d.275 A.H) al-Sunan, 2 vols. (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371) 2/237; and Ibn Majah, Muhammad Ibn Yazid (d.273), al-Sunan, dengan komentar dari Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1953, 2/70; lihat juga Abu Nu’aym, Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.) Hilyat al-Auliya’, 10 vols, Egypt:al-Sa’adah Press, 1357, 1/339, 341.
[38] AbË Nu’aym mencatat bahwa Sa’Êd ibn ‘Ubadah sendiri biasa memberikan akomodasi kepada 80 orang di rumahnya untuk tujuan belajar mengajar. Ibid, 1/341.
[39] Dalam al-Qur’an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata ‘ilm, tidak termasuk kata-kata derivatifnya, dari 91 ayat itu 67 daripadanya diwahyukan di Makkah dan sisanya, 24 ayat, di Madinah.
[40] ‘Abd al-HalÊm MahmËd menyebutkan bahwa ada dua hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an: Pertama, masalah yang berkaitan dengan zat Tuhan (dhat Allah), hakekat sifat Tuhan, hubungan antara esensi dan sifat, rahasiaNya tentang qadr dan problem-problem lain yang diluar jangkauan akal manusia. Kedua, masalah-masalah khusus yang berhubungan cabang-cabang (furË’) yang jumlahnya tidak terbatas. Al-Qur’an hanya menjelaskan asas umum shari’ah (al-usul al-‘amah li al-tashri’ ) dan beberapa hal yang khusus. See ‘Abd al-HalÊm MahmËd, al-TafkÊr al-Falsafi fi al-IslÉm, Dar al-Ma’arif, Cairo, n.d. hal.108-109.
[41] Bukti yang sering dirujuk untuk ini adalah Hadith tentang persetujuan Nabi terhadap Mu‘Édh bin Jabal untuk menggunakan ra’y dalam menyelesaikan masalah yang timbul dimasyarakat, jika al-Qur’an dan Hadith tidak menyebutkan penyelesaian masalah itu secara eksplisit. Musa, Yusuf, Usul al-Tashri’ al-Islami,Dar al-Ma’arif, Cairo, 1964, hal. 11.
[42] al-Attas, SMN, Prolegomena, lihat “Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., “Opening Address, The Worldview of Islam, an Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and Contemporary Contexts, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, 28-29.
[43] Alparslan Acikgence, A Concept of Philosophy in the Qur’anic Context, The American Journal of Islamic Social Sciences, 11: 2.
[44] Henry Corbin, Avicenna and the Visionary Recital, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Willard R Trask (Irving Texas: Spring Publication, Inc., 1980) hal. 13.
[45] Lihat misalnya materi kuliah Filsafat Islam dalam Topik Inti Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam 1988, Departemen Agama RI, Direktoreat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1988; Kurikulum Program Studi Barbasis Komtperensi Jurusan Aqidah Filsafat, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005; Kurikulum dan Silabi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Wilayah IV, 2004; Kurikulum dan Silabi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Wilayah IV, 2004; Kebijakan Akademik dan Kelembagaan Tentang Kurikuluml Berbasis Kompetensi, Perguruan Tinggi Agama Islam, Direktorat Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Perguruan TInggi Agama Islam, Departemen Agama, Jakarta, 2005.
[46] Oliver Leaman misalnya menyatakan bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Lihat Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1985, hal.5.
[47] Peter, F.E., Aristotle and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, New York University Press, (New York, 1968) hal. xxi-xxiii. Juga Richard Walzer, “Islamic Philosophy” dalam Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy, Oxford,: Bruno Cassirer, 1962, hal. 1-28. Lihat juga Gustave E.von Grunebaun, Islam and Medieval Hellenism: Social and Cultural Perspectives, Variorom Reprints, (London 1976), hal.25.
[48] Seperti dikutip oleh Thomas Patrick Hughes dalam, Dictionary of Islam, Being A Cylopaedia of the Doctrines, ritets, ceremonies and custom, together with the technical and theological terms, of the Muhammadan Religion, London W.H.Allen & Co, 1927, s.v. Philosophy Muslim, hal. 452.
[49] De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, Curzon Press, Richmond, U.K., 1994, pp. .28-29,309. The emphasize on translation see Myers, Eugene A., Arabic Thought and The Western World, Fredrick Ungar Publishing Co, New York, 1964, hal. 7-8.
[50] Gustave E. von Grunebaum, Islam and Medieval Hellenism: Social and Cultural Perspectives, di edit dan diberi Pendahuluan oleh Dunning S Wilson, diberi pengantar oleh Speros Vryonis, Jr. Variorum Reprints, London, 1976, hal. 25.
[51] Ibid
[52] Wat, M.W, Formative Period of Islam, University Press, Edinburgh, 1969, hal. 183.
[53] Lihat M.Cook, “The Origin of Kalam” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 43 (1980): 42-43.; lihat juga M.Abdul Haleem, “Early Kalam” dalam Seyyed Hossein Nasr et al, ed. History of Islamic Philosophy, Routledge, London, 1998, vol.I,72-73
[54] Lihat dalam Vergilius Ferm, A History of Philosophical System, Rider and Company New York, 1950, hal. 159-160
[55] The Harper Collins Dictionary of Religion, HarperSan Fransisco, 1986, 533
[56] Peter, F.E. Aristotle and The Arabs, hal. 57.
[57] Acikgenc, Alparsalan, Islamic Science Towards Definition, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, pp.14-15.
[58] The Harper Collins Dictionary, hal. 533
[59] Michael Marmura, dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Mircea Eliade, MacMillan Publishing Company, New York, Collier Macmillan Publisher, London, hal. 268, s.v. “Falsafah”
[60] Sabra, A.I., “Science and Philosophy in Medieval Islamic Theology”, dalam Zeitschrift fur Geschichte der Arabish –Islamichen Wissenschaften, 1995, hal.2.
[61] Ibid.
[62] Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, Columbia University Press, (New Tork, 1983), p.xv.
[63] Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, Being A Cyclopaedia of the Doctrines, rites, ceremonies and custom, together with the technical and theological terms, of the Muhammadan Religion, London W.H.Allen & Co, 1927, s.v. Philosophy Muslim, hal. 452.
[64] The Harper Collins Dictionary, hal. 533
[65] Al-Kindi, On First Philosophy, quoted by A.F.El-Ehwany in A History of Muslim Philosophy (Wiesbaden, 1963), vol.I. hal.42; Ibn SÊnÉ, UyËn al-×ikmah, Cairo, 1326 AH, hal.30.
[66] Ibn Taymiyyah, MinhÉj al-Sunnah, ed.R.SÉlim, Maktabah al-Khayyat, t.t. vol. I, p. 261. Wujud yang ia maksud disni adalah Tuhan, oleh karena itu filsafat baginya adalah ilmu tentang Tuhan.. Hanya saja Ibn Taymiyyah tidak sepakat dengan mereka dalam soal titik awal (starting point) pencarian tentang wujud. Bagi filosof ilmu tentang wujud maksudnya adalah ilmu tentang realitas sesuatu dan harus dicari melalui realitas tersebut. Ilmu tentang Tuhan harus dicari melalui ciptaannya. Namun bagi Ibn Taymiyyah pencarian tentang Wujud tidak bisa dilakukan melalui wujud yang diciptakan. Ilmu tentang Tuhan, menurutnya harus dicari melalui Tuhan (wahyu).
[67] Nasr, S.H.Philosophy Literature and Fine Art, King Abd Aziz University, (Jeddah) hal. 4. Tentang Íikmah lihat Encyclopedia of Islam, s.v; Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, Leiden, E.J.Brill, 1970, hal. 35-40. Lihat juga Carmela Baffioni, “Defining Íikmah”, Some preliminary Notes” Symposium Graeco-arabicum II, Archivum-Arabicum: 2, Amsterdam, 1989, hal. 1-9.
[68] Oliver Leaman, An Introduction, pp.5-6
[69] Watt, M.W, Islamic Philosophy and Theology, University of Edinburgh Press, Edinburgh, 1985, pp.33-64; 69-128.
[70] Fakhry, Majid, A History, p.viii-ix.
[71] Lihat dalam Vergilius Ferm, A History of Philosophical System, hal. 160; bandingkan Michael Marmura “Falsafa” dalam The Encyclopedia of Religion, 268
[72] Radhakrishnan, History of Philosophy, Eastern and Western, George Allan & Unwin Ltd. London, lihat “Islamic Philosophy”, Bab XXXII, hal.120-149.
[73] Alfred Gullimaune, “Philosophy and Theology” in The Legacy of Islam, Oxford University Press, 1948, p.239.
[74] O’Leary, De Lacy, Arabic Thought and Its Place in History, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1963.p.viii.
[75] Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” hal. 5.
[76] Diantara yang menolak logika adalah Hasan ibn Musa al-Nawbakhti (w.300 A.H./912). Ia adalah pemikir Muslim awal yang sezaman dengan Thabit ibn Qurrah (d.288 A.H/900). Bukunya Kitab al-Ara’ wa al-Diyanat menunjukkan kerancuan logika Aristotle. Yang menarik al-Nazzam (d.231 A.H/845) dan al-Jubba’i (d.303 A.H/915) tokoh Mu‘tazilah yang dianggap rationalis itu juga menolak filsafat Aristotle. Kritik terhadap filsafat Aristotle yang lain datang dari Abu Zakariyya al-Razii (d.313 A.H./925), dan Ibn Hazm al-Andalusi (d.456 A.H./1063), tapi al-Razii setuju dengan ide-ide Pythagoras. Selain itu Hibat Allah Ibn ‘Ali Abu al-Barakat al-Baghdadi (d.548 A.H/1155) pengarang buku Kitab al-Mu‘tabar fi al-Hikmah juga menentang filsafat Aristotle. Lihat M.M.Sharif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz Wiesbaden, 1966, pp. 804-805.
[77] Tokohnya yang terkenal dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah, lihat Ibn Taymiyyah al-Radd ala al-Mantiqiyyin, di edit oleh .R.’Ajam, vol.II, Dar al-Fikri al-Lubnani, Beirut, 1993. hal. 84-86..
[78] Ibn Taymiyyah, MinhÉj al-Sunnah, hal. 258.
[79] Qadir, C.A., Philosophy and Science in The Islamic World, Routledge, (London 1988) hal..28.
[80] ‘Abd al-LaÏÊf Muhammad, DirÉsÉt fÊ al-Falsafah al-IslÉmiyyah, Maktaba al-NahÌa, (Mesir 1978) hal. 4-5.
[81] M.M. Sharif, (Ed), A History of Muslim Philosophy, Low Price Publication, Delhi, vol., 1995, hal. 4.
[82] Qadir, Philosophy, hal.71
[83]Nasr,S.H. Science and civilization in Islam, Cambridge, Islamic Text Society, (1987), hal. 7.
[84]Nasr, S.H. Islamic Studies, Librairie Du Liban, Beirut, (1970) hal. 112.
[85] Ibid p.5
[86] M.Saeed Sheikh, Reorientation of Islamic philosophy, Pakistan Philosophical Congress, (Lahore, 1964). P.1; bandingkan Qadir, Philosophy. hal. 70
[87] Bandingkan Alparslan Acikgence, “The Framework for A History of Islamic Philosophy”, Journal al-Shajarah, ITAC, vol. I, no. I, 17-19; idem, A Concept of Philosophy in the Qur’anic Context, The American Journal of Islamic Social Sciences 11: 2, 155-182; idem, “Towards An Islamic Concept of Philosophy” Proceeding of the Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context. 1-5 August 1994, Kuala Lumpur: ISTAC 1996, 535-569.