Selasa, 17 Maret 2009

Mahalnya Memilih Pemimpin

Betapa mahalnya proses memilih pemimpin. Apakah memang sebesar dan semahal itu biaya yang harus kita keluarkan untuk memilih seorang pemimpin? Semua sumber daya kita terkuras untuk memilih seorang pemimpin, yang ternyata belum tentu juga kebaikannya untuk orang banyak. Dulu, kita memang beli kucing dalam karung. Hari ini, tidak lagi. Kita sudah tidak beli kucing dalam karung. Tapi sesungguhnya tak banyak yang berbeda. Kalau dulu kucingnya di dalam karung, sekarang kucingnya sudah di luar karung.

Lihat saja berapa banyak yang dikeluarkan rakyat untuk pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Komisi Pemilihan Umum Daerah mengaku mengeluarkan dana sekitar Rp 800 miliar. Ini belum lagi jumlah dana yang dikeluarkan oleh masing-masing peserta. Soekarwo dan Saifullah Yusuf konon menghabiskan dana Rp 1,3 triliun untuk kampanye dan segala macamnya. Angka yang dikeluarkan pasangan lawannya, entah berapa.

Sebentar lagi kita memilih wakil-wakil rakyat, para pemimpin yang terhormat. Jumlahnya sangat banyak, hampir 12.000 calon legislatif yang terdaftar. Ini belum lagi ditambah dengan 1.000 nama lebih calon anggota DPD. Biaya pemilihan umum yang dianggarkan hampir-hampir menyentuh angka Rp 7 triliun besarnya. Biaya akan semakin membesar jika kita tambahkan variabel kampanye setiap calon anggota.

Itu baru dari sisi material, dari sisi lain, secara immaterial terkuras habis-habisan. Ancaman konflik bermunculan, seperti dalam Pilkada Maluku Utara. Effort yang kita keluarkan juga sangat besar. Habis-habisan. Tenaga dan perhatian, terkuras lemas hanya untuk memilih pemimpin.

Pada pemilihan umum tahun 2004 lalu, pasangan Wiranto dan Shalahuddin Wahid melaporkan pengeluaran kampanye mereka sebesar Rp 86 miliar. Megawati dan Hasyim Muzadi, Rp 84 miliar. Amien Rais dan Siswono, Rp 16 miliar. Sedangkan Agum Gumelar dan Hamzah Haz sebesar Rp 16 miliar. Itu baru yang kalah. Artinya, berapa besar dana yang dikeluarkan oleh sang pemenang? Apakah cara seperti ini yang kita inginkan?

Padahal, menurut Imam al Ghazali faktor imamah atau masalah kepemimpinan adalah faktor terakhir dalam struktur kepentingan umat Islam. Jauh di atasnya, masalah tauhid dan agama menjadi masalah penting yang seharusnya mendapat perhatian umat Islam. Tapi hari ini, justru masalah paling terakhirlah yang menyita begitu banyak tenaga, sumber daya, harta dan perhatian kita. Tapi hasilnya tidak sepadan dengan daya upaya besar yang telah dikeluarkan. Kita memilih pemimpin yang hasilnya belum tentu bisa memimpin.

Saya teringat kisah tentang Muhammad al Fatih ketika masuk dan menaklukkan kota Konstantinopel, atau kini yang lebih kita kenal dengan sebutan Istanbul. Pertempuran selesai dan reda, pada hari Rabu saat itu. Setelah cukup beristirahat, Muhammad al Fatih mengumpulkan seluruh pasukannya di tanah lapang pada keesokan hari.

Hari Kamis, Muhammad al Fatih mengumpulkan pasukannya hanya untuk satu tujuan: memilih imam untuk shalat Jumat, besok hari. Seluruh pasukan berkumpul di tanah lapang, dan Muhammad al Fatih mulai mengajukan tiga pertanyaan.

Pertanyaan pertama, ”Barangsiapa sejak aqil baligh sampai hari ini, pernah meninggalkan shalat fardhu, meski sekali, silakan duduk!”

Ketika pertanyaan pertama diajukan, jawabannya sungguh luar biasa. Tak seorang pun dari pasukannya yang duduk. Artinya, tak seorang pun dari pasukannya pernah meninggalkan shalat fardhu. Duhai, betapa haibat-haibat kualitas keimanan pasukan Muhammad al Fatih ini. 

Pertanyaan kedua, ”Barangsiapa sejak aqil baligh sampai hari ini, pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib, meski sekali, silakan duduk!”

Ketika pertanyaan kedua diajukan, setengah dari pasukannya duduk. Artinya, secara jujur mereka mengakui bahwa setengah dari pasukan pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib. Itu pun sungguh luar biasa, menjaga shalat sunnah rawatib. Siapa yang pernah memikirkannya seserius ini.

Pertanyaan ketiga, ”Barangsiapa sejak aqil baligh sampai hari ini, pernah meninggalkan qiyamul lail, meski hanya semalam, silakan duduk!”

Ketika pertanyaan ketiga diajukan, semua pasukan terduduk dan hanya menyisakan Muhammad Fatih sendiri yang berdiri. Artinya, dari semua orang yang hadir, hampir semuanya pernah meninggalkan qiyamul lail dan hanya Muhammad al Fatih sendiri yang tak pernah meninggalkan.

Duhai, alangkah nikmatnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang tak pernah meninggalkan shalat malam. Dan sungguh, betapa murahnya jika kita memiliki metode pemilihan langsung seperti ini. Pertanyaanya kini adalah, masih adakah seorang pemimpin saat ini yang mampu berdiri sampai akhir pertanyaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar